2025
2025
Khotbah (3) Minggu IX Setelah Pentakosta - 10 Agustus 2025
Khotbah (3) Minggu IX Setelah Pentakosta – 10 Agustus 2025
IMAN DAN PERCAYA (Ibr. 11:1-3, 8-16)
Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1)
Firman Tuhan bagi kita pada Minggu X setelah Pentakosta ini diambil dari Ibr. 11:1-3, 8-16. Ayat 1-3 berbicara tentang iman. Ayat 8-16 menjelaskan tentang iman Abraham. Sebagai informasi, ayat 4-7 bercerita tentang iman beberapa hamba-Nya dalam PL: Habel yang diterima persembahannya, Henokh terangkat ke sorga, dan Nuh yang taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya.
Kekristenan berprinsip tentang tiga hal pokok; percaya bahwa Allah ada, dan Allah bekerja dalam hidupnya melalui Roh Kudus. Di antara kedua hal itu, percaya Yesus adalah Allah yang menjadi manusia dan mengakui sebagai Juruselamat pribadinya melalui penebusan dosa di kayu salib Golgota.
Hubungan Allah dan manusia menurut Derek Prince dalam bukunya Faith to Live By (Derek Prince Ministries, India, 1977), dilihat dari dua hal yang seolah-olah kontradiktif. Dari sudut Allah: Bagi Allah segala sesuatu mungkin (Mat. 19:26b); dan dari sudut manusia: Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya! (Mrk. 9:23b). Tetapi dari segi praktiknya, ini menjadi sejalan dan dapat diterima, yakni melalui iman, segala sesuatu yang mungkin bagi Allah sejajar dan menjadi mungkin bagi orang percaya. Artinya, iman-lah yang menjadi penghubung (channel) antara yang mungkin bagi Allah menjadi tersedia bagi manusia. Melalui iman, segala yang mungkin bagi Allah, menjadi sama, mungkin bagi manusia yang percaya. Dahsyat, kan?
Derek Prince juga menjelaskan, dari segi bahasa Yunani, percaya adalah pelaksanaan (exercising) iman, dan penghikmatan (exercising) iman adalah percaya. Dengan memahami hubungan tersebut, ayat 1 nas ini menjadi lebih mudah dimengerti: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." Segi prakteknya, selain Habel, Henokh dan Nuh, ayat 8-16 nas minggu ini menjelaskan tentang iman Abraham: ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui, dan menjadi kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah, dan tinggal berdiam di sana bersama keluarganya. Kemudian ia teguh dalam iman, melalui Sara istrinya, orang yang telah mati pucuk, terpancar keturunan besar, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya (ayat 11-12). Dan, puji Tuhan, semua terbukti!
Kita pun dalam perjalanan kehidupan di dunia saat ini, tidak terlepas dari adanya pengharapan dan pergumulan. Mari semua itu kita kembalikan kepada dua relasi tadi: percaya dan teguh dalam iman. Bagian kita adalah memberi dan berusaha dengan yang terbaik, dan selebihnya Allah yang mengambil bagian kuasa-Nya untuk memberi yang terbaik bagi kita. Dengan demikian, seperti ayat 13-14, “Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang yang mengakui, bahwa ...mereka rindu mencari tanah air.” Bagi kita yang rindu untuk lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi, tetaplah percaya dan teguh. "Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia" (ayat 6b). Terpujilah Dia.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Kabar dari Bukit, Minggu 3 Agustus 2025
Kabar dari Bukit
MENGHINDARI KESIA-SIAAN HIDUP (Pkh. 1:2,12-24, 18-23)
”Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, semua itu kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pkh. 1:14)
Dalam Alkitab ada dua jenis panggilan. Menurut Hudson T. Armerding dalam tulisannya "Pandangan Kristen tentang Pekerjaan", disebutkan yang pertama adalah panggilan Allah untuk kita menerima keselamatan dan pembenaran menjadi keluarga Allah (Rm. 8). Panggilan kedua untuk melakukan satu pekerjaan atau cara hidup tertentu, fokus melakukan kegiatan sebagai bagian keluarga Allah (1Kor. 7). Panggilan ini terdiri dari dua sisi, yakni dalam gereja sebagai anggota tubuh (1Kor. 12:4-6), dan dalam masyarakat sesuai misi mandat budaya (Kej. 1:28).
Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Pengkhotbah 1:2, 12-14, 18-23. Kedua nas ini mirip dengan pesan utama seperti ayat pembuka di atas, yakni segala perbuatan manusia adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Tapi, mengapa Raja Salomo berkata demikian? Ada tafsiran, Salomo saat mudanya menulis kitab Kidung Agung yang penuh gairah, saat usia dewasa serta awal berkuasa menulis kitab Amsal penuh hikmat, serta di masa tuanya menulis kitab Pengkhotbah ini.
Kita tahu pada masa akhir kekuasaannya, Raja Salomo menghadapi pecahnya Kerajaan Israel yang besar, warisan dari Daud ayahnya. Perpecahan itu tidak lepas dari hidup Salomo yang banyak memuaskan dirinya, adanya kekecewaan rakyat terhadap kenaikan pajak dan kerja paksa, kemerosotan rohani dan timbulnya penyembahan berhala. Semua ini jahat di mata Tuhan dengan hukuman kerajaan terpecah (1Raj. 11:6-11).
Salomo akhirnya menyadari, menyesal dan kecewa terhadap jalan yang ditempuhnya, menempatkan kesenangan dan materialisme sebagai jalan mencapai kebahagiaan. Semua kelimpahan yang diraihnya berupa kuasa, kekayaan, dan ketenaran menjadi sia-sia. Hidup yang terlepas dari Allah adalah kekosongan: "Kesia-siaan belaka! Kesia-siaan belaka! ..., segala sesuatu adalah sia-sia" (ay. 2). Mungkin sebuah sinisme penyesalan hidup. Tentunya Raja Salomo menuliskan nas ini bermaksud agar kita tidak mengulangi kesalahannya, menjalani hidup yang terlepas dari Allah.
Nas minggu ini tidak mengajak kita untuk apatis, membuat tidak bersemangat meraih yang terbaik. Alkitab mengajarkan untuk selalu bekerja keras dan rajin (Rm. 12:11; 2Tim. 2:6). Bahkan memberi yang terbaik seperti bekerja untuk Tuhan (Ef. 6:5; Kol. 3:23). Raja Salomo juga menyebutkan, "Harta orang kaya adalah kota yang kuat (Ams. 10:15). Kemudian dilanjutkan, "..., orang yang giat bekerja akan menjadi kaya," dengan mencontohkan semut yang rajin (Ams. 13:4b; 6:6-8).
Selain berkarya terbaik dalam kerja dan pelayanan kepada Tuhan, hal kedua, kita harus menyadari kemampuan manusia terbatas. Prinsip berserah, mutlak diperlukan. Hal ketiga, untuk tidak kecewa dan merasa sia-sia, ketahuilah hasil akhir tidak selalu seperti pengharapan. Semua ada di tangan Tuhan, meski upaya dan doa juga menjadi pertimbangan-Nya untuk membuatnya sesuai harapan, bahkan lebih. Keempat, dalam menjalani hidup, carilah terus hikmat dan rencana Tuhan atas pencapaian kita, baik keberhasilan maupun kegagalan. Jika gagal seolah menjaring angin, pasti ada jalan baru yang Tuhan buka sepanjang motivasinya baik.
Hal terakhir, memang karya kita tidak akan dibawa mati (ay. 15-16). Tapi perlu memperhatikan generasi penerus, agar tidak seperti yang dikeluhkan Salomo, penggantinya tidak seperti yang diharapkannya (ay. 18-21). Mari kita menghindari hidup yang sia-sia dengan terus melakukan yang terbaik dan tetap mengandalkan Tuhan Yesus.
Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (2) Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025
Khotbah (2) Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025
KASIH DAN AMARAH (Hos. 11:1-11)
“Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan” (Hos. 11:9b)
Salam dalam kasih Kristus.
Marah adalah salah satu sifat dasar manusia, bersifat universal dan bagian dari perasaan. Sebagai manusia, kesabaran memang ada batasnya. Kasih juga ada batasnya. Meski batas itu tidak sama bagi semua orang, sesuai pribadi masing-masing. Ledakan marah timbul bila tersambar sumbunya; ada yang pendek langsung bereaksi, tetapi ada yang sumbunya panjang, meledak setelah beberapa waktu bagaikan bom atom. Kejengkelan dan tumpukan kekecewaan yang dialami, bagaikan api dalam sekam, menjalar perlahan membentuk magma panas.
Kasih adalah salah satu sifat dasar Allah, selain sifat lainnya yakni, sebagai Pribadi dan Roh yang hidup. Kita tahu cerita Tuhan Yesus yang marah di Bait Allah, membalikkan meja-meja pedagang sehingga uang yang di atasnya berhamburan. Ia juga membuat cambuk dari tali, lalu mengusir semua binatang yang diperdagangkan (Yoh. 2:15-16). Tuhan Yesus juga marah saat mengutuk pohon ara yang tidak berbuah (Mrk. 11:12-14).
Beberapa minggu ini firman Tuhan disajikan kepada kita tentang amarah Tuhan, melalui nabi Amos dan juga nabi Hosea di pasal awal. Minggu ini juga kita kembali membaca tentang amarah Tuhan dari Hos. 11:1-11. Kekecewaan Allah terhadap bangsa Israel tampaknya mencapai puncak. Allah begitu mengasihi dan telah berbuat banyak hal kepada mereka, seperti membebaskan dari perbudakan di Mesir dan membimbing mereka hingga memberi makan (ay. 2-4). Tetapi bangsa Israel kemudian selingkuh, menyembah Baal dan patung-patung. Allah menilai bangsa ini tidak mau insyaf, sehingga Allah bermaksud untuk menghukum dengan kembali diperbudak, dan terlibat dalam peperangan dahsyat (ay. 5-6, band. 1 Kor. 10:20).
Melalui nas minggu ini kita kembali diingatkan bahwa sebagai Pribadi, Allah dapat marah. Tetapi Allah bukanlah manusia. Amarah Allah yang timbul tidaklah untuk melihat umat-Nya menderita, apalagi untuk menghanguskan (ay. 9). Kasih Allah melampaui kesalahan dan dosa yang manusia perbuat. Allah hanya menginginkan pertobatan dan umat-Nya kembali mengikut Dia dan hidup dalam damai sejahtera (ay. 11).
Kini pertanyaannya kepada kita: jika Allah dapat marah, apakah kita boleh marah? Apa batas kesabaran dan tujuan yang menjadi tolok ukur seorang Kristiani. Pertama, Alkitab mengajarkan, agar lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah (Yak. 1:20). Kedua, marah itu jangan sampai menjadi dosa, harus selesai sebelum matahari terbenam marahnya telah padam (Ef. 4:26). Ketiga, marah yang bertujuan mendidik, memberi peringatan tentang hal yang salah. Keempat, marah itu jangan sampai membuahkan rasa sakit, baik di tubuh apalagi di jiwa. Memang kitab Amsal mengajarkan perlu didikan keras dengan tongkat, tetapi penggunaannya perlu bijak (Ams. 15:10; 22:15). Jangan dilupakan, marah yang didasari kasih adalah prinsip utamanya.
Dan terakhir, marah itu pilihan, bisa dihindari penyebabnya dengan cara mengalihkan perhatian, menghentikan hubungan. Tuhan Yesus berkata: “Bila seseorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah….” (Mat. 10:14). Kadang-kadang kita perlu berkata, EGP (emangnya gua pikirin)? Apalagi, jika hal itu bukan menjadi tanggung jawab utama kita. Jangan terlalu sok peduli, yang membuat diri sendiri susah dan tidak enak hati. Kita juga perlu mengasihi diri sendiri untuk tujuan lain yang lebih besar. Namun bila memang itu menjadi bagian utama hidup kita, kesabaran maksimal adalah menutupnya dengan berserah, bukan pasrah. Allah mempunyai rencana kepada tiap orang, dan berdoalah agar Allah bekerja menurut kasih dan kehendak-Nya. Kekristenan, sejatinya, bukanlah sesuatu yang rumit.
Selamat beribadah dan selamat melayani
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025
Khotbah Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025
ORANG KAYA YANG BODOH (Luk 12:13-21)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Hos 11:1-11 atau Pkh 1:2, 12-14, 2:18-23; Mzm 107:1-9, 43 atau Mzm 49:1-12; Kol 3:1-11
Pendahuluan
Tuhan Yesus sering sekali menggunakan perumpamaan dalam menjelaskan maksud-Nya. Ia sering tidak langsung menjawab pertanyaan meski tetap konsisten dengan pokok persoalan. Dalam kisah minggu ini, seseorang mengadu kepada-Nya yang mengaku diperlakukan tidak adil tentang pembagian warisan. Yesus tidak langsung membelanya dan juga tidak menghakiminya, melainkan memberikan perumpamaan tentang ketamakan dan sikap orang kaya yang bodoh. Dari bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran berharga sebagai berikut.
Pertama: Yesus bukan hakim bagi satu dua orang (ayat 13-14)
Dalam tradisi Yahudi, pembagian warisan sudah ada hukumnya. Anak tertua mendapat dua pertiga dan anak bungsu (dan lainnya) mendapatkan sepertiganya. Secara sekilas memang tampak bahwa pembagian ini bisa dianggap tidak adil sebab tidak merata. Namun budaya Yahudi yang menekankan peran dan kedudukan anak sulung menjadi dasar semua itu. Orang yang mengadu ini tidak mengutarakan alasannya, apakah karena ia tidak mendapatkan warisan sama sekali, atau ia tidak puas terhadap hukum pembagian itu. Ia lantas meminta Tuhan Yesus menjadi hakim bagi mereka.
Yesus menolaknya dengan alasan cukup jelas, yakni Ia tidak bisa menjadi hakim di antara mereka berdua. Sudah ada hukum Yahudi yang tertulis tentang hal itu dan semua orang bisa dengan mudah mengikutinya. Tuhan Yesus tidak melihat ada hal prinsip dan pokok penting dalam hukum itu yang berhubungan dengan pembaharuan jiwa manusia dan keselamatan. Ia lebih mengutamakan hal itu dibandingkan dengan urusan harta duniawi, dan kepentingan itu tidak terkait dengan misi pengutusan-Nya. Ia juga tidak terpikat pada jabatan dan mengambil alih tugas orang lain. Ia tahu bahwa harta (dan uang) akan selalu menjadi masalah dan merupakan alat yang ampuh bagi iblis untuk menjerat manusia ke dalam dosa.
Hukum positip bisa tidak adil karena kepentingan penguasa atau perilaku petugas hukum. Kita bisa jadi tidak puas bahkan bisa putus asa sebab tidak ada tempat untuk mengadu dalam mencari keadilan. Kadang kala kita menjadi emosi dan ingin menjadi hakim sendiri. Tetapi Alkitab mengajarkan agar kita terhindar dari hal ini. Firman Tuhan menekankan bahwa ketidakadilan yang kita terima di dunia ini biarlah Tuhan yang menjadi hakim dan memberikan pembalasan atas hal itu (Rm 12:19). Keinginan atau pendapat bahwa kita adalah pihak yang benar mungkin perlu dipikirkan berulang-ulang, sebab kita bisa juga tidak seluruhnya benar. Akan tetapi Allah adalah yang Maha Adil dan Bijak. Penghakiman dan penghukuman biarlah menjadi milik-Nya.
Kedua: waspadalah terhadap ketamakan (ayat 15-18)
Poin yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah ketamakan. Ia memberi perumpamaan orang kaya yang memiliki tanah yang luas dan hasil panen yang berlimpah. Saking banyaknya hasil panen, lumbung-lumbungnya menjadi tidak muat menampung, sehingga ia berpikir untuk membangun lumbung yang lebih besar lagi. Padahal, sebagaimana kita ketahui, sistim lumbung pada saat itu adalah tempat penyimpanan untuk setahun, jadi tidak perlu membangun tambahan, sebab tahun berikutnya panen yang baru akan datang. Tetapi orang ini tamak serakah, hasil panennya yang melimpah itu ingin ia sendiri menikmatinya, tidak terpikir untuk berbagi dengan mereka yang kurang beruntung atau kurang mampu. Inilah yang tampak dan lazim bahwa harta benda dan kekayaan mudah menjadi batu sandungan untuk mengikut Tuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tamak diartikan “selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri.” Arti kata sejenis yakni loba; serakah; rakus. Ketamakan berarti keinginan untuk selalu memperoleh (harta dsb) sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri. Dengan demikian ketamakan mengandung dua wajah. Wajah pertama adalah berusaha mendapatkan berlebih yang bukan haknya dan bila perlu berlaku curang. Orang seperti ini bisa menghalalkan segala cara demi untuk mendapatkan keinginannya, meski itu merugikan pihak lain. Wajah kedua adalah keinginan memiliki sesuatu yang sebenarnya tidak dia perlukan. Contoh yang terjadi sering kita mendengar banyak orang kaya memiliki banyak rumah, mobil atau motor gede di garasinya. Namun, orang miskin juga dapat bersifat tamak ketika ada kesempatan, ia mempergunakan dengan salah.
Menjadi kaya itu bukan dosa. Berusaha mendapatkan penghasilan yang besar itu bukan sesuatu yang dilarang dalam Alkitab. Allah melalui mandat budaya (Kej 1:28-29) menginstruksikan manusia ciptaan-Nya untuk mengolah alam bumi kita ini untuk kepentingan kesejahteraan manusia itu sendiri. Manusia diberi akal pikiran dan hikmat untuk dipergunakan dalam mengelola alam dan kehidupan sehingga menghasilkan yang lebih baik dan lebih banyak. Kita harus berupaya dengan keras dan cerdas untuk meningkatkan hasil usaha dan apabila dari hasil usaha itu kita mendapatkan berkat, maka wajar menerima dan mensyukurinya. Tetapi berkat adalah konsep berbagi. Diberkati untuk memberkati adalah ajaran kristiani sejak Abraham menerima itu pertama kali dari Allah. Maka, ketamakan, mementingkan diri sendiri, tidak mendapat tempat dalam kehidupan sorgawi. Oleh karena itu Tuhan Yesus mengingatkan, agar kita berjaga-jaga, mengawasi hati agar bersih dan tidak menjadi rakus, loba, tamak atau serakah.
Ketiga: mengandalkan pada harta (ayat 19-20)
Kaya materi itu merupakan berkat, sepanjang diperoleh dengan cara yang berkenan kepada Tuhan dan tidak melanggar hukum yang berlaku. Berusaha menjadi kaya dan mendapatkan penghasilan yang besar dengan cara melanggar hukum atau kesepakatan dengan mitra usaha, menipu, korupsi, KKN, maka itu jelas melanggar firman Tuhan. Banyak contoh orang kaya dan diberkati dalam Alkitab, mulai dari Abraham, Yusuf, Daud dan Salomo, termasuk dalam perjanjian baru yang mereka menggunakan kekayaannya untuk kemuliaan Tuhan. Alkitab juga mengatakan Allah membenci mereka yang malas.
Akan tetapi pikiran bahwa menjadi kaya dan pintar secara otomatis diartikan sebagai orang yang “diberkati”, dan menjadi miskin dan bodoh adalah mereka yang tidak diberkati, harus dijauhkan dari pikiran kita. Memang ada penafsiran dalam perjanjian lama pengertian itu muncul (lih. Ams 10:15; Luk 16:14), tetapi Tuhan Yesus jelas-jelas menolaknya (band. Luk 16:13 dan 18:24-25). Perjanjian Baru dengan jelas mengingatkan agar kita tidak membuat harta benda dan kekayaan sebagai berhala. Alkitab mengatakan bahwa di mana harta kita berada, maka ada kecendrungan hati kita juga ada disana (Mat 6:21; Luk 12:34). Kekayaan tidak mampu memperpanjang umur manusia, meski dengan kekayaan dapat menolong untuk berobat. Umur manusia ada di tangan Tuhan, dan oleh karena itu dalam ayat 15 dikatakan, hidup (manusia) tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.
Kekayaan mungkin dapat menolong untuk menjadikan manusia lebih berbahagia. Iklan produk di media begitu gencarnya sehingga kita merasa barang itu dibutuhkan, membuat kita lebih senang, bahagia dan lainnya, tetapi itu hanya kebahagiaan sekejap dan semu. Kekayaan memang hanya salah satu “alat” saja, meski kalau tidak hati-hati dapat menjadi sumber bencana. Banyak rumah tangga berantakan karena penghasilan yang besar semakin mendorong untuk individualis dan mengabaikan kesetiaan dalam rumah tangga. Sebagaimana dikatakan pada ayat 19, kita tidak bisa mengatakan kepada jiwa kita: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Ini jelas hal yang palsu. Mereka yang menyandarkan kekayaan sebagai sumber kebahagiaan dan jaminan hidup kekal adalah manusia yang bodoh (ayat 20). Marilah kita berkonsentrasi pada hubungan dengan Allah yang baik dan akrab. Good life nothing related with money.
Keempat: kaya di hadapan Allah (ayat 21)
Manusia dianjurkan untuk menabung. Tetapi kita harus bertanya, mengapa kita perlu menyimpan uang, untuk apa? Mempersiapkan untuk anak, pensiun dan masa tua adalah perbuatan baik dan bijak. Tetapi kalau kita menabung atau menyimpan untuk menghilangkan kekuatiran dan menjadikan kekayaan itu sebagai jaminan hidup, maka itu menjadi salah. Simpanan kekayaan di dunia ini jelas tidak cukup. Perlu ditanyakan, bagaimana dengan persiapan kita untuk kehidupan setelah kematian? Perjalanan hidup manusia di dunia belum tanda titik, tetapi masih tanda koma, masih berlanjut hingga nanti ada pertanggungjawaban dan penghakiman.
Sikap hidup yang lebih mengandalkan harta daripada percaya kepada Tuhan sangat berbahaya. Kita harus lebih percaya pada pemeliharaan Allah di dalam Tuhan Yesus. Inilah hakekat iman. Orientasi hidup yang mengandalkan Tuhan haruslah berusaha mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu, bukan keamanan duniawi. Tuhan Yesus bahkan menantang secara radikal seorang pemimpin kaya untuk memperoleh hidup yang kekal, yakni dengan menjual seluruh hartanya dan mengikut Dia (Mat 19:16-26; Mrk 10:17-27; Luk 18:22), serta mengatakan betapa susahnya orang kaya masuk sorga. Akan tetapi Alkitab justru menekankan berita sukacita bagi mereka miskin yang dihadapan Allah yang akan empunya Kerajaan Sorga (Mat 5:3).
Oleh karena itu, ketika kita berdoa dalam meminta atau membawa sesuatu persoalan kita kepada-Nya, maka Tuhan akan terlebih dahulu menanyakan sikap kita terhadap permohonan atau persoalan itu sendiri. Doa kita mungkin tidak dijawab secara langsung, akan tetapi petunjuk Tuhan bisa efektip dalam menolong kita menemukan jawaban atas persoalan yang ada. Kekayaan sejati bagi orang Kristen adalah dalam iman, pelayanan dan ketaatan, dan itulah adalah kunci menjadi kaya di hadapan Tuhan. Orang yang benar-benar kaya adalah mereka yang sudah membebaskan diri dari segala ketakutan dan soal duniawi, serta menyerahkan hidupnya sepenuhnya pada pemeliharaan Allah. Yesus menantang kita untuk perbuatan lebih banyak bagi kerajaan-Nya dan kita menjadi orang kaya di hadapan Allah.
Kesimpulan
Dalam minggu ini kita diajarkan tentang orang kaya yang bodoh dengan memperlihatkan ketamakannya. Kita diminta agar waspada berjaga-jaga dan tidak berlaku egois dengan menempatkan Tuhan Yesus bagi kepentingan diri sendiri. Ketamakan, loba, keserakahan dan kerasukan tidak mendapat tempat dalam kerajaan Allah. Mereka yang mengandalkan diri pada harta benda duniawi tidak menyadari bahwa semua itu adalah pepesan kosong dan semu. Justru Allah menghendaki bagaimana setiap orang percaya menjadi kaya di hadapan Allah dengan cara selalu bersikap “miskin” dan memberi lebih banyak bagi perluasan kasih dan kerajaan-Nya.
Selamat beribadah dan selamat melayani
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (3) Minggu VIII Setelah Pentakosta - 3 Agustus 2025
Khotbah (3) Minggu VIII Setelah Pentakosta – 3 Agustus 2025
PERKARA DI ATAS (Kol. 3:1-4)
Firman Tuhan bagi kita pada Minggu VIII setelah Pentakosta ini diambil dari Kol. 3:1-4. Nas ini meminta kita untuk berpikir dan fokus tentang perkara-perkara di atas, bukan soal-soal yang di bumi. Kita orang percaya telah dibangkitkan bersama Kristus, berarti hidup kerohanian kita memasuki hidup baru bersama Kristus. Meski fisik kita belum berubah, yakni masih memiliki tubuh yang sama, tetapi Allah telah memperbarui roh dan jiwa kita, dengan Roh Kudus yang tinggal dan berkuasa di dalam hati kita. Betul, sewaktu hidup dan tinggal di dunia ini kita tidak bisa lepas dari kebutuhan pangan, sandang, biologis, rasa aman, dan lainnya; demikian juga kita tidak bisa menghindar dari penyakit dan kematian tubuh duniawi yang ada. Bangkit bersama Kristus berarti memberi kesempatan kepada Roh Kudus untuk membaharui hidup kita secara terus menerus (lihat pasal 2 sebelumnya). Bersama Kristus berarti mengakui bahwa hidup kita sudah menjadi milik-Nya, sehingga kita memiliki sifat dan perilaku serupa seperti Kristus (band. Rm. 6:5).
Memikirkan hal-hal di atas berarti berjuang untuk menempatkan prioritas sorgawi dalam kehidupan praktis sehari-hari. Meski cara berpikir dunia akan mempengaruhi tindakan kita, tetapi kita tetap berkonsentrasi pada hal-hal yang abadi dibandingkan dengan hal yang sementara di dunia ini, dan itu memperlihatkan kedewasaan dalam berpikir. Memikirkan tentang hal-hal di atas berarti melihat kehidupan ini dari sudut pandang Allah dan mencari rencana-Nya dalam hidup kita (lihat Kol. 3:15 hingga pasal 4, yakni gambaran bagaimana Kristus menguasai hati dan pikiran orang-orang Kristen (band. Flp. 4:9). Hal ini juga akan menghasilkan penangkal bagi kecenderungan materialisme, dan memberi kita pemahaman yang benar tentang materi dan kekayaan duniawi, dengan melihatnya dari sudut pandang sorgawi.
Dalam kitab Filipi dikatakan, “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya” (Flp. 3:20-21). Dengan demikian, kita diminta membuat penilaian dan pertimbangan segala aspek kehidupan dari sudut pandang sorgawi.
Kita hidup di dunia bukan berarti kita harus membenci dunia, dan menjadi terpisah dengannya. Kita hanya memperlakukan dunia di sekitar kita sebagaimana Allah menciptakan dengan maksud tujuan-Nya, dan kita hidup secara harmoni di dalamnya. Membenci dunia haruslah dalam pengertian sifat-sifat duniawinya, bukan membenci isi ciptaan-Nya, sebab tugas dan tanggungjawab kita ada juga di dalamnya, yakni sebagai orang-orang yang menerima mandat budaya dari Allah untuk mengelola demi kemuliaan-Nya (Kej. 1:28).
Tersembunyi di dalam Kristus pada ayat 3 berarti, yang terjadi bukan lagi penonjolan diri. Apa yang kita perbuat dan capai dalam hidup saat ini, pekerjaan dan pelayanan, harus kita akui itu adalah kehendak dan pertolongan Allah, sehingga Dia-lah yang ditinggikan, bukan diri kita. Kita bermegah hanya dalam salib Tuhan (Gal. 6:14; Luk. 9:23). Apa yang kita lakukan, tidak masalah tersembunyi bagi mata dan pujian manusia, akan tetapi itu semua akan terbuka dan terungkap dalam buku kehidupan.
Kita jangan terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang membawa kita seolah-olah rajin bersekutu, ikut beribadah, membaca firman Tuhan, bahkan melayani, namun kemudian kita merasa tidak bahagia. Pasti ada yang salah dalam hal ini. Jangan sampai dalam melakukan itu kita sebenarnya melupakan hakekat dan tujuan melakukan itu, sehingga kita kecewa dan merasa tidak puas. Jangan sampai ibadah dan pelayanan kita berpusat pada diri sendiri, dan bukan pada Kristus. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi atas tujuan dan penyertaan Roh dalam melakukan semua itu, sebelum akhirnya kekecewaan membawa kita kepada dosa. Perlu dilihat dan diperhatikan komunitas kita bergaul, yang sangat menentukan dalam cara berpikir kita, di samping tentu saja kecenderungan bawaan dari bawah sadar yang merupakan hasil pendidikan dan masa kecil.
Saat ini Tuhan Yesus sudah duduk bertakhta di sorga (Mzm. 110:1; Ef. 1:20). Rumah kediaman orang Kristen adalah tempat di mana Kristus hidup (Yoh. 14:2, 3). Semangat kita adalah semangat pengabdian dan rasa syukur, bukan semangat mencari imbal jasa. Upah adalah sesuatu hak yang melekat dan bukan tujuannya. Kesempurnaan dalam panggilan dan pilihan Tuhan yang membuat kita sebagai orang yang merdeka dimaksudkan supaya kita semakin memberi buah, menjadi serupa dengan gambar Kristus (2Kor. 3:18); Hidup semakin berbuahkan kebenaran (2Kor. 9:10). Kita perlu memahami itu dan rindu untuk berbakti, melayani Allah dengan segenap hati dan melayani sesama kita. Maka semua itu nanti hasilnya akan dibukakan dan dinyatakan pada saat Parusia, kedatangan Tuhan kembali, dan janji kemuliaan itu datang bersama-sama dengan Dia (Yoh. 17:24).
Nas Minggu IX setelah Pentakosta ini meminta perubahan cara berpikir kita yang akan mempengaruhi dan membuat pengakuan: hal yang kita lakukan adalah semua karena pertolongan Tuhan, dan membuat kita tidak menonjolkan diri. Diri kita menjadi tersembunyi di dalam Kristus yang sudah hidup di dalam diri kita. Kita tidak perlu kecewa atau kesal meski manusia tidak melihat dan menghargai hal itu. Seperti dikatakan ayat terakhir nas ini, “Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.” Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia; Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya” (Rm. 11:36).
Selamat beribadah dan selamat melayani
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta SETIA...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta...Read More...
-
Khotbah (3) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 63 guests and no members online