Tuesday, September 16, 2025

2025

Khotbah Minggu VI Setelah Pentakosta - 20 Juli 2025

Khotbah Minggu VI Setelah Pentakosta - 20 Juli 2025

 JANGAN MENYUSAHKAN DIRI DENGAN BANYAK PERKARA (Luk. 10:38-42)

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kol. 1:15-28; Am. 8:1-12 atau Ke.j 18:1-10a; Mzm. 52 atau Mzm. 15

 

 

Pendahuluan

Nats minggu ini berbicara tentang dua wanita kakak-beradik Marta dan Maria, yang rumahnya disinggahi oleh Tuhan Yesus dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem. Ketika Yesus masuk ke rumah mereka, Marta langsung sibuk dengan keramah-tamahan, sementara Maria langsung duduk bersimpuh mendengarkan kabar baik dari Tuhan Yesus. Hal ini menjadi persoalan bagi Marta. Maria dan Marta bersaudara dengan Lazarus yang dibangkitkan oleh Tuhan Yesus dari kematian. Dari nats yang singkat minggu ini, kita diberi pelajaran hidup sebagai berikut.

 

Pertama: pentingnya keramah-tamahan (ayat 38-39)

Marta merupakan kakak tertua dari Maria dan Lazarus. Memang kebiasaan dalam rumah tangga, kakak tertua yang mengambil kendali dan tanggungjawab. Oleh karena itu, ia langsung berperan sebagai orang yang sibuk atas urusan kunjungan Tuhan Yesus ke rumah mereka. Terlebih, keramah-tamahan merupakan kebutuhan sosial dalam budaya Yahudi, sama seperti bagi masyarakat Timur lainnya. Keramah-tamahan dianggap adat-istiadat dan sangat perlu diperhatikan. Tidak jarang, bagi masyarakat tertentu, tuduhan tidak beradat atau tidak tahu tata krama dianggap lebih kejam dari pada tuduhan tidak beragama atau tidak bertuhan.

 

Akan tetapi jelas ini cara pandang yang salah, sebab adat bukanlah yang utama atau dasar kita dalam berperilaku, melainkan kasih dari Tuhan (dapat dibaca melalui agama) adalah dasar kita. Kita tidak perlu melakukan sesuatu dalam adat atau keramah-tamahan – apapun itu – demi untuk mendapatkan pujian orang, sebab pelayanan demi mencari pujian adalah sesuatu yang salah. Memang ada orang yang bersedia bekerja keras dengan harapan dipuji orang lain, atau mendapatkan imbalan tertentu lainnya. Akan tetapi ketika tidak dipuji atau tidak diberikan oleh orang lain, maka ia akan marah-marah, mengeluh atau menggerutu seperti Marta. Bahkan, kadang kala persiapan atau pelayanan yang tidak sempurna saja, bisa menimbulkan menyalahkan orang lain yang berakibat keributan.

 

Perbedaan juga dapat terjadi antara pribadi yang suka sibuk dan ramai dengan yang menyukai ketenangan. Dalam hal kisah ini, tuan rumah Marta harus memahami tamu, apa yang menjadi keinginannya, bukan memaksakan pola yang dikehendakinya. Memang ini bukan masalah salah atau benar, akan tetapi bisa menjadi pemaksaan sesuai dengan selera dan keinginan kita. Tujuan tuan rumah adalah menyenangkan tamu, sehingga keinginan tamu yang mesti diikuti. Contoh kecil, misalnya, perlunya menanyakan apakah minuman yang dikehendaki: kopi, teh manis, air putih dingin atau lainnya? Tidak asal sajikan. Demikian juga dengan makanan, alangkah bijaknya kalau waktunya jam makan, maka makan bersama harus ditawarkan, tidak perlu dipersoalkan yang dihidangkan itu indomie atau pesan dari restauran. Kita tidak pelu mengabaikan keramah-tamahan tersebut, sepanjang pada tempat dan sikap yang wajar serta menyenangkan semua pihak.

 

Kedua: menempatkan prioritas (ayat 40)

Yesus dalam perjalanan ini sedang dalam pergumulan menuju ke penderitaan bahkan kematian-Nya, sehingga Ia memerlukan ketenangan. Kadang ketenangan memang mahal harganya. Ini tidak mudah dan memerlukan hikmat yang besar. Sementara Marta berpikir bahwa Tuhan Yesus memerlukan banyak hal untuk menyenangkan hati-Nya, sehingga ia sekuat tenaga berusaha untuk menyediakan hal yang banyak itu. Meski menyediakan banyak hal itu membuat kekuatiran sehingga timbullah keluhan.

 

Hal itulah yang terjadi pada Marta, sehingga ia memperlihatkan “kekesalannya” pada Tuhan Yesus dengan perkataan, "tidakkah Engkau peduli?". Marta berpikiran seolah-olah Yesus membiarkan Maria hanya duduk tenang mendengarkan kisah dan pengajaran dari-Nya. Marta juga mungkin merasa perhatian Yesus terhadap apa yang dilakukannya tidak seimbang, menganggap tidak ada empati dan antusias terhadap pelayanan yang diberikannya. Namun Tuhan Yesus menyambut kekesalan Marta tersebut dengan bijak, bukan Ia tidak peduli pada Marta yang bersusah payah menjadi tuan rumah yang baik, akan tetapi, Ia tidak membutuhkan banyak hal, melainkan ketenangan dan kesempatan untuk Ia dapat memberikan pengajaran kepada mereka yang rindu mendengar-Nya. Kehadiran Marta lebih berarti bagi Tuhan Yesus dibandingkan dengan segala makanan dan minuman yang disajikan Marta.

 

Inilah pesan kedua dari nats minggu ini. Jangan pelayanan kita bagi Tuhan sebenarnya adalah untuk menyenangkan diri sendiri dan bukan untuk Dia. Melakukan yang baik menurut kita tidak selamanya yang terbaik bagi Tuhan. Doing good is not always the best. Ia rindu agar kita memiliki waktu yang cukup untuk mendengar-Nya melalui firman dan renungan, agar kita lebih mengetahui maksud Tuhan dalam hidup kita. Itu juga sebabnya kata yang dipakai (ēkouen - Yun) berarti terus-menerus mendengarkan Tuhan Yesus. Kesibukan dalam pelayanan (fisik) di gereja atau tempat pelayanan lainnya jangan sampai membuat kita kehilangan saat-saat penyembahan, doa dan persekutuan dengan-Nya, melainkan mengambil waktu yang cukup agar jiwa dan rohani kita semakin bersih dan berkenan kepada-Nya.

 

Ketiga: jangan menyusahkan diri dengan banyak perkara (ayat 41)

Sebenarnya Maria dan Marta mencintai Yesus. Keduanya melayani -Nya. Tetapi Marta berpikir bahwa cara Maria melayani Tuhan Yesus itu salah dan membuat Yesus tidak senang. Namun yang terjadi sebenarnya adalah, Marta tidak menyadari bahwa ia justru mengabaikan Yesus, sementara Maria memberikan perhatian yang penuh. Atau mungkin Marta bisa juga cemburu dengan apa yang dilakukan oleh Maria dalam melayani Yesus tersebut, yang hanya duduk saja mendengar apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.

 

Yesus tidak menyalahkan Marta karena dia mengurusi pelayanan rumah tangga berikut keribetannya itu. Akan tetapi, Yesus melihat bahwa Maria yang duduk di kaki-Nya yang menyambut Dia dengan tepat, dan Maria mengetahui yang utama dalam kunjungan itu. Yang utama adalah perlu prioritas, bagaimana caranya dan kapan kita perlu sibuk dengan banyak perkara (ribet tetek-bengek) itu. Saat bertemu Yesus adalah saat yang paling utama, sama seperti misalnya, hari minggu kita lebih mengutamakan apa? Apakah pergi beribadah atau urusan social lain hingga beribadah terlupakan?

 

Apakah kita demikian sibuknya sehingga tidak punya waktu lagi untuk bersama Yesus dan mendengarkan Dia? Jangan sampai kita ditegur oleh Yesus seperti Marta karena kuatir dan menyusahkan diri dengan hal-hal yang tidak hakiki, sehingga tidak mempunyai banyak waktu lagi untuk bertemu dengan-Nya. Melayani Allah dapat membuat kehilangan hakekat dengan menyibukkan diri sendiri yang sebenarnya tidak lagi sebagai pelayanan penuh bagi-Nya. Hal yang lebih fatal lagi, apabila kita berpikir bahwa cara yang benar melayani Yesus adalah hanya melalui perbuatan kasih, sehingga tidak perlu memperdengarkan kabar baik penginjilan. Itulah pesan ketiga minggu ini.

 

Keempat: memilih yang terbaik (ayat 42)

Melayani dan mengasihi Tuhan memang banyak pilihan. Akan tetapi jangan sampai kita melakukan kesalahan dalam memilih sehingga focus lebih pada diri sendiri. Perlu hikmat sehingga pemilihan waktu dan kegiatan benar-benar untuk menyenangkan hati-Nya. Memang di era modern kesibukan seperti saat ini, kecendrungan melayani Allah dengan berbagai kegiatan menjadi pilihan yang menyenangkan, terlebih bila melibatkan banyak orang dan masuk dalam liputan media gereja atau lainnya. Ini bisa berbahaya dan menjebak.

 

Tuhan Yesus menekankan sebaliknya. Ia lebih memuji Maria yang mengetahui yang terbaik. Duduk bersama Yesus berarti menyenangkan hati-Nya dan banyak sajian yang kita nikmati secara rohani. Mengutamakan Allah itulah kasih yang terbesar. Kita tahu apa yang menyenangkan hati Tuhan hanya apabila kita selalu memberi telinga bagi suara-Nya. Kesibukan kegiatan pelayanan di luar rumah juga dapat mengurangi intensitas dalam merenungkan firman Tuhan bersama-sama keluarga. Penting mengutamakan mendengar Firman Allah daripada mengerjakan berbagai hal yang bukan terbaik.

 

Apakah sikap sebagai orang percaya sudah sama dengan sikap Maria? Menjadi murid bukan berarti menyibukkan diri pada hiruk piruk pelayanan, melainkan membuat keseimbangan khususnya  belajar dan mendengar firman-Nya. Apa yang dilakukan oleh Marta dan Maria keduanya baik, sepanjang kita mengetahui dengan tepat saat dan waktu yang tepat. Kesibukan melayani Tuhan bukanlah alasan untuk tidak punya waktu merenungkan firman Tuhan dan mendapatkan yang terbaik. Terlebih, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus, Maria mendapatkan sesuatu yang tidak akan diambil dari padanya.

 

Kesimpulan

Apa yang ingin disampaikan oleh Tuhan Yesus kepada kita melalui bacaan minggu ini adalah agar kita dengan tepat dapat memahami makna keramah-tamahan dengan sepatutnya dan sesuai dengan keinginan tamu. Jangan sampai kita terlalu mengurusi banyak perkara yang bahkan membuat tamu tidak nyaman, apalagi membuat kita kuatir dan penuh kekesalan, keluhan bahkan hujatan kepada orang lain. Justru yang terutama dan terpenting adalah mendapatkan prioritas dalam hidup dan memilih yang terbaik, yang orang lain  tidak akan dapat mengambilnya dari hidup kita, yakni lebih banyak dalam penyembahan, doa dan persekutuan dengan Dia. Haleluya, terpujilah Tuhan.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (2) Minggu VI Setelah Pentakosta - 20 Juli 2025

Khotbah (2) Minggu VI Setelah Pentakosta - 20 Juli 2025

 

 IBADAH YANG BERCELA (Amos 8:1-12)

 

 TUHAN telah bersumpah demi kebanggaan Yakub: “Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!” (Amos 8:7)

 

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari yang berbahagia ini dari Amos 8:1-12. Ini kelanjutan renungan minggu lalu (Amos 7:7-17). Melalui penglihatan ketiga kepada nabi Amos, Allah mengingatkan Israel dan kita semua, agar selalu memperhatikan orang miskin dan yang memerlukan pertolongan. Penglihatan keempat adalah nas minggu ini. Tuhan menunjukkan buah-buahan musim kemarau dalam bakul kepada nabi Amos. Buah-buahan adalah simbol persembahan umat kepada Allah di altar.

 

 

 

Tetapi Tuhan berkata kepada Amos: "Kesudahan telah datang bagi umat-Ku Israel. Aku tidak akan memaafkannya lagi. Nyanyian-nyanyian di tempat suci akan menjadi ratapan pada hari itu" (ay. 2b-3a). Tuhan telah marah, bangsa Israel tidak lagi menunjukkan perubahan dan pertobatan. Doa nabi Amos telah didengar dan dikabulkan di dua peringatan sebelumnya, tetapi kini Tuhan melihat tidak ada kemauan pertobatan lagi.

 

 

 

Pada masa itu, orang-orang kaya Israel memberi upah pekerja sangat rendah dan mencurangi, pedagang menjual terigu yang busuk. Semua mereka rancang untuk menginjak hak orang miskin dan lemah. Tidak ada rasa takut. Ini terjadi karena umat merasa mereka adalah bangsa pilihan. Mereka rajin beribadah di Bait Alah, menyanyi, berdoa dan memberi persembahan. Meski begitu, pemimpin umat lebih fokus pada megahnya bangunan, riuhnya ibadah raya, dan mengutamakan kepentingan mereka sendiri.

 

 

 

Ibadah mereka jalankan dan memberi persembahan menurut ukuran manusia. Semua berpikir itu akan menyenangkan hati Tuhan. Tetapi, Tuhan ternyata tidak melihat itu. Tuhan ingin agar umat lebih banyak berbuat konkret. Nyata. Jangan menipu, jangan berlaku curang. Jangan berpikir, yang utama adalah keuntungan semata.

 

 

 

Kemarahan Tuhan digambarkan begitu menyeramkan. Ada banyak bangkai: ke mana-mana orang melemparkannya dengan diam-diam. Tuhan menjauh (ay. 12) dan membuat malapetaka kekelaman: matahari terbenam di siang hari dan membuat bumi gelap pada hari cerah (ay. 9). Kelaparan akan datang melanda, begitu juga dengan kehausan. Nyanyian menjadi ratapan, mereka memakai kain kabung dengan kepala gundul sebagai tanda berkabung (ay. 10).

 

 

 

Nas minggu ini memperingatkan kita semua, jangan seolah kita telah mengikut Kristus maka semua aman selamat. Janganlah sibuk pada acara dan ritual ibadah semata termasuk jamuan kasih, membaca dan belajar firman, tapi dalam kenyataan mengabaikan kasih. Pusat keselamatan kita adalah Kristus, sehingga arah dan tindakan mestilah sama serupa dengan Kristus.

 

 

 

Jangan menindas, bersikap arogan. Tetaplah rendah hati, bertumbuh lebih baik di hadapan Tuhan. Pertobatan tidak pernah terlambat sebelum Tuhan memutuskan akan menghukum kita, sebagaimana penglihatan kepada nabi Amos. Semoga kita terus dimampukan untuk melakukannya.

  

Selamat beribadah dan selamat melayani.

  

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 13 Juli 2025

Kabar dari Bukit

 KITA SENANG, ALLAH BERGEMBIRA (Ul. 30:9-14)

 ”Tuhan, Allahmu, akan melimpahi kamu dengan kebaikan dalam segala upaya tanganmu, buah kandunganmu, hasil ternakmu dan hasil tanahmu. Sebab Tuhan akan bergembira kembali karena kamu dalam kesejahteraanmu, seperti Ia bergembira karena nenek moyangmu dulu” (Ul. 30:9, TB2)

Salah satu keistimewaan doktrin Kekristenan adalah keindahan mendefinisikan hubungan keintiman kita orang percaya dengan Allah sebagai Pribadi; Bapa kita dalam Roh yang memiliki perasaan, pikiran, kehendak, kasih, dan mau berelasi. Panggilan Bapa sudah ada sejak PL (Mzm. 89:26; Yes. 63:16), kemudian diperluas dan dipopulerkan oleh Yesus sesuai khotbah-Nya di bukit, "Bapa kami yang di sorga" (Mat. 6:9; lihat juga Mat. 5:16, 6:14-15, 26, 32; 7:11, 21; Mrk. 11:25-26 dan Rm. 8:15, "Ya Abba, ya Bapa").

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Ulangan 30:9-14; bagian penutup kitab tulisan Musa tentang janji Allah memberkati umat-Nya berlimpah-limpah dalam segala bidang kehidupan (lihat ayat pembuka), dan Allah dengan senang hati melakukannya (ay. 9).

 

Namun untuk itu Allah meminta agar umat mendengarkan suara-Nya, berpegang pada perintah dan ketetapan-Nya. Hal ini juga diuraikan pada ayat 1-8 yang judul perikopnya: Pemulihan setelah pertobatan. Pesannya lebih tegas lagi pada nas berikutnya, pilihannya: Kehidupan atau kematian.

 

Hubungan Bapa dengan kita anak-anak-Nya memang diminta sempurna. Pada khotbah di bukit sebelumnya dikatakan: "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" (Mat. 5:48).

 

Dalam pikiran kita, tentu ini sesuatu yang berat. Tetapi jalan telah disiapkan Allah. "Sesungguhnya perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini tidak terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh. Bukan di langit tempatnya sehingga kamu berkata: Siapa yang akan naik ke langit untuk mengambilnya.... Juga bukan di seberang laut tempatnya sehingga kamu berkata: Siapa yang menyeberang laut untuk mengambilnya bagi kita... supaya kita melakukannya? Tetapi, firman itu sangat dekat padamu, di dalam mulutmu dan   hatimu, untuk dilakukan" (ay. 11-14).

 

Sangat jelas petunjuknya, semua dimulai dengan mencintai firman-Nya, dekat di mulut dan hati (ay. 14). Ada kesadaran dan ketaatan bahwa rajin membaca dan merenungkan firman-Nya sesuatu yang mandatori, wajib! Bagaimana kita dapat taat bila kita tidak memahami aturan? Bagaimana kita berkenan dan lolos dari hukuman Tuhan, jika kita tidak tahu kehendak-Nya?

 

Pertobatan memang sesuatu yang gampang-gampang susah; tidak bisa dilakukan dengan setengah hati. Tetapi seperti nas minggu ini sampaikan, perlu "berbalik kepada Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (ay. 10).

 

Pertobatan tidaklah seperti membalik tangan. Ada kesungguhan, proses dan progres agar semakin sempurna. Dan bisa dilihat dengan beberapa ukuran, yakni:

 

1. Ada pengakuan dosa dan penyesalan yang jujur dan tulus kepada Allah dan orang lain yang terlibat;

 

2. Siap bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuat;

 

3. Berupaya memperbaiki kerusakan dosa yang telah terjadi, berbalik mengikuti jalan yang benar;

 

4. Ada perubahan perilaku yang konkrit dan konsisten dalam keseharian;

 

Kunci keberhasilannya: jika kita katakan tidak bisa, maka pasti tidak bisa!; tetapi jika kita katakan bisa, maka Tuhan akan menolong kita meski harus jatuh bangun. Kita akhirnya senang dan Allah pun bergembira. Percayalah.

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu VI Setelah Pentakosta - 20 Juli 2025

Khotbah (3) Minggu VI Setelah Pentakosta - 20 Juli 2025

 KEUTAMAAN KRISTUS (Kol. 1:15-28)

 

            Firman Tuhan bagi kita pada Minggu VI setelah Pentakosta ini diambil dari Kol. 1:15-28. Nas ini berbicara tentang Keutamaan Kristus (ayat 15-23) dan dikaitkan dengan pelayanan dan penderitaan Paulus (ayat 24-28). Melalui Kristus, Allah yang sebelumnya tidak kelihatan menjadi tampak nyata bagi manusia; menjadi manusia dan berbicara langsung dengan manusia (ayat 15). Hampir 400 tahun Allah “tidak berbicara” kepada manusia melalui nabi-nabi baru setelah yang terakhir nabi Maleakhi. Maka keputusan Allah menjadi manusia menjadi sangat tepat.

 

            Yesus Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan sebagaimana ayat dalam nas ini: “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (ayat 16-17). Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia (ayat 19), yang satu dengan Bapa (Yoh. 10:30) dan itu semua sangat lengkap diperlukan oleh kita umat percaya.

 

            Tuhan Yesus adalah kepala jemaat dan Dia yang mendirikannya (Mat. 16:18) serta menumbuhkannya (1Kor. 3:6). Umat Yahudi yang semula pilihan Allah untuk menjadi teladan dan model umat-Nya, agar seluruh isi bumi menyembah-Nya, telah gagal. Tetapi Allah tidak bisa lepas mengasihi manusia ciptaan-Nya, kasih yang tidak terbatas (Yoh. 3:16). Maka menjadi alur yang logis jika Allah ingin menyelamatkan manusia dan membangun umat baru yang kudus dan pembawa damai bagi dunia. Dan dosa manusia yang sebelumnya menjadi penghalang hubungan yang erat manusia dengan Allah, harus dihilangkan dan dihapus, serta hubungan itu dipulihkan.

 

            Yesus menjadi manusia untuk kepentingan manusia, memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus (ayat 20). Dengan perdamaian tersebut, mereka yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatan yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya (ayat 21-22a). Semua itu sebagai penebusan untuk menempatkan kita menjadi umat yang kudus, tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya (ayat 22b). Allah pun dapat diam di dalam diri kita yang telah dikuduskan. Buahnya, kita semakin diteguhkan, iman kita semakin dikuatkan, dan seluruh pengharapan sorgawi kita tidak goyang dan bergeser. Kini, Kristus telah ada di tengah-tengah kita, dan menjadi pengharapan akan kemuliaan! (ayat 27b).

 

            Rasul Paulus memberi kita teladan dengan ikut menderita sebagaimana Kristus menderita. Ia memberikan hidupnya menjadi pelayan untuk memberitakan dan meneruskan firman-Nya, yaitu rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan ke turunan, tetapi yang sekarang dinyatakan kepada kita orang percaya (ayat 26-27). Terpujilah Tuhan.

 

            Melalui penderitaan itu Rasul Paulus bersukacita, karena ikut melayani, berkontribusi. Sikap dan semangat itulah mestinya yang hidup di dalam setiap hati kita orang percaya, yakni bersukacita ketika ikut berkontribusi memberitakan Kristus, memperluas kerajaan-Nya. Jadi, kita tidak hanya bersukacita ketika memperoleh berkat-berkat dunia.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah Minggu Kelima Setelah Pentakosta - 13 Juli 2025

Khotbah Minggu Kelima Setelah Pentakosta - 13 Juli 2025

 

 PERBUATLAH KASIH, MAKA ENGKAU AKAN HIDUP (Luk. 10:25-37)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Am 7:7-17 atau Ul 30:9-14; Mzm 82 atau Mzm 25:1-10; Kol 1:1-14

 

 

 

Pendahuluan

 

Bagi umat Yahudi, ahli Taurat adalah seorang pakar hukum perjanjian lama. Mereka sangat menghapal teks ayat-ayat yang tertulis dan sering dijadikan sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi pengajaran agama dan kerohanian. Oleh karena itu, kadang mereka bersikap sombong dan merendahkan pihak lain. Dalam nats minggu ini kita membaca tentang ahli Taurat yang sedang menguji Yesus dengan sebuah pertanyaan yang menjebak. Pertanyaannya dihubungkan dengan hidup yang kekal, yang dalam perjanjian lama dan bagi umat Yahudi tidak terlalu banyak pembahasannya dan merupakan pokok diskusi yang hangat. Dari bacaan nats minggu ini kita diberikan pemahaman sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: hukum pertama yakni kasih kepada Allah (ayat 25-27a)

 

Tuhan Yesus menjawab ahli Taurat tersebut dengan pertanyaan balik, bagaimana tertulis dalam kitab perjanjian lama tentang memperoleh hidup yang kekal? Sebagai ahli Taurat yang menghafal teks, ia mengutip Ul 6:5 dengan benar, diambil dari pengakuan iman (kredo) mereka, yakni pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan dan akal budi. Dari teks tersebut tampak mengasihi Allah haruslah dengan seluruh kemampuan dari diri kita, tidak hanya hati (perasaan) melainkan juga dari kedalaman batin, perasaan, kepribadian, fisik jasmaniah, pikiran dan seluruh hidup kita.

 

 

 

Allah menginginkan pengenalan dan persekutuan kita dengan Dia harus istimewa dan dari seluruh hidup yang kita miliki. Allah kita adalah Allah pencemburu dan tidak mau diduakan (Kel. 20:5; 1Kor. 10:22). Kita menempatkan diri sebagai ciptaan dan pengemban misi-Nya dengan rasa syukur yang penuh kasih, taat dan memberi prioritas utama kepada Dia (band. Rm. 13:9-10; 1Kor. 13:1-13). Kasih kepada Allah juga membuat kita tetap harus menaruh rasa hormat dan kerinduan dalam persekutuan dengan-Nya, menciptakan keterikatan yang kokoh, penyerahan diri dan ketergantungan sebagaimana hubungan Bapak dengan anak. Semua ini dibungkus dalam iman yang kuat dan tidak goyah di dalam Kristus Yesus.

 

 

 

Mengasihi Allah juga berarti ketaatan dalam standar firman dengan menjauhi dosa dan mengikuti kehendak-Nya. Ulangan 11:13 menyebutkan “Jika kamu dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, sehingga kamu mengasihi TUHAN, Allahmu, dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu….”  Kita mengaku bahwa keberadaan di dunia ini sebagai utusan-Nya dan ikut mengambil bagian dalam memperluas kerajaan-Nya, mempergunakan semua talenta yang diberikan oleh Allah kepada kita. Mengasihi Allah juga berarti kesiapan berkorban dengan mengurangi keinginan diri sendiri bahkan kesiapan dalam penderitaan apabila situasi menghendakinya. Kita harus mengakui bahwa Allah telah mengasihi kita dan mengirim dan mengorbankan Anak-Nya kepada dunia untuk menebus dosa dan kesalahan kita sehingga kita diselamatkan.

 

 

 

Kedua: hukum kedua yakni kasih kepada sesama (ayat 27b-29)

 

Hukum kedua yang disebutkan ahli Taurat tersebut merupakan kutipan dari Im. 19:18, 34 yakni mengasihi sesama (band. Mat. 19:16-22 dan Mrk. 10:17-22 tentang kasih yang lain). Tuhan Yesus dengan sengaja menceritakan perumpamaan ini karena didasari permusuhan berat yang telah lama berlangsung antara orang Yahudi dengan orang Samaria. Oleh karena itu, dalam menjawab Yesus, ahli Taurat itu tidak menyebut dan membenarkan orang Samaria tersebut, meski ia mengetahuinya. Ia justru tampak tidak memahami makna kasih yang sebenarnya.

 

 

 

Mengasihi sesama manusia adalah sesuatu yang mutlak. Kita mengasihi manusia karena mengasihi Allah, dan keduanya memang tidak dapat dipisahkan. Bahkan dikatakan, kita tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak kita lihat kalau kita tidak mangasihi manusia yang jelas kita lihat. Dalam 1Yoh. 3:11 dikatakan, “Sebab inilah berita yang telah kamu dengar dari mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasihi” (band. Mat. 22:39; Rm 13:9; Yak. 2:8). Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengasihi orang lain dan tidak ada alasan bagi kita untuk membenci mereka, sebab dalam ayat berikutnya disebutkan, membenci mereka itu ibarat kita seperti pembunuh.

 

 

 

Makna dari mengasihi sesama juga bisa kita bandingkan dengan Luk. 6:31, “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” Atau dalam bahasa lain, “apa yang tidak kau kehendaki dilakukan orang kepadamu, janganlah perbuat hal itu terhadap mereka.” Ahli Taurat menyadari bahwa dirinya telah terjebak oleh kata-katanya sendiri, mungkin ia tidak menaati hukum tersebut, sehingga ia berdalih tentang definisi. Kurangnya kasih dalam diri kita mungkin mudah untuk dijustifikasi, tetapi sebaliknya kita diminta agar jangan berpandangan picik tentang kasih terhadap sesama, sebab mengasihi sesama berarti mengasihi Allah. Bagi kita yang tidak peka terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain, Alkitab dengan jelas menyatakan dengan jelas bahwa kita tidak akan masuk kedalam hidup kekal (Mat. 25:41-46; 1Yoh. 3:16-20).

 

 

 

Ketiga: siapakah sesama kita (ayat 31-36)

 

Tuhan Yesus memberikan perumpamaan yang sangat bagus karena melibatkan banyak pihak. Pertama ia menyebut lokasi kejadian yakni di jalan dari Yerusalem ke Yerikho yang memang terkenal menyeramkan yang secara otomatis orang yang dirampok itu kemungkinan besar beragama Yahudi. Orang tersebut selain dirampok juga dipukuli sehingga tergeletak tidak berdaya. Seorang imam lewat dan Yesus mengatakan ia terus berjalan sambil menghindar, mungkin dengan pemikiran bahwa orang tersebut telah mati dan ia ketakutan tersentuh sehingga tidak tahir dan tidak bisa melaksanakan tugas keimamannya. Artinya, ia mementingkan seremoni ibadah dibandingkan dengan perbuatan kasih terhadap seseorang yang jelas-jelas sangat membutuhkan.

 

 

 

Ketika seorang suku Lewi (pembantu imam) lewat, maka hal yang sama ia lakukan, menghindar, mungkin dengan pemikiran tidak mau mengambil resiko, berpikiran bisa saja itu jebakan dan buat apa menyusahkan diri. Namun, seorang Samaria lewat dan orang tersebut kemudian berhenti mengambil resiko atas harta dan nyawanya, menolong dia yang terluka, membawanya ke tempat penginapan, dan membayar semua biaya-biayanya. Tuhan Yesus langsung menohok kemunafikan ahli Taurat tersebut, yang meganggap orang Samaria lebih rendah, menganggap sesama manusia itu hanya orang Yahudi, tetapi justru orang Samaria tersebut menolong orang (Yahudi) tersebut sampai tuntas. Ia tidak membedakan orang yang dikasihinya, tidak bersikap diskriminasi, meski mungkin ia tahu orang itu adalah orang Yahudi, tetapi ia menjalankan apa yang dikatakan Tuhan Yesus, yakni agar kita mengasihi “musuh”.

 

 

 

Pengertian kasih kepada sesama jangan disempitkan kepada satu golongan saja. Kasih itu universal dan tidak terbatas sumber dan aplikasinya. Pengertian sesamamu dalam ayat tersebut bukanlah sekedar teman kita saja, golongan, kelompok suku bahkan agama kita saja. Memang dalam Alkitab ada ayat yang memberi petunjuk, agar dalam mengasihi kita terlebih dahulu mengutamakan perbuatan baik kepada kawan-kawan yang seiman (Gal. 6:10), tetapi itu bukan berarti kita menutup diri berbuat baik bagi siapa saja, khususnya pada saat mereka sangat membutuhkan, sebagaimana kejadian kepada orang yang dirampok dan dilukai itu.

 

 

 

Keempat: pergilah dan perbuatlah demikian (ayat 37)

 

Dari uraian di atas, maka sikap kita ketika melihat setiap orang dalam kesusahan, maka haruslah merasa mereka itu sebagai sesama dan wajib menolong meski kita orang itu “musuh”. Kasih tidak cukup hanya diutarakan dalam sikap belas kasihan dan perasaan sedih. Kasih berarti tindakan yang memenuhi kebutuhan seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak melihat orang yang benar-benar membutuhkan, terlebih apabila ia dalam keadaan yang tidak mampu, maka pertolongan itu harus konkrit tidak cukup hanya dalam perasaan dan belas kasihan saja.

 

 

 

Para ahli Taurat banyak beranggapan bahwa hidup kekal dapat diraih dengan berusaha menaati hukum Taurat. Akan tetapi berbeda, kita dinilai bukan atas kehadiran kita di gereja tiap minggu atau atas pengakuan iman (creed) yang kita ucapkan, melainkan atas kehidupan dan perbuatan kasih yang kita lakukan setiap hari. Kasih kepada sesama yang konkrit bagi yang benar-benar membutuhkan, itu jelas lebih berharga dibanding persembahan kita ke dalam kantong persembahan. Dalam 1Yoh. 3:18 disebutkan, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”

 

 

 

Di lain pihak Tuhan Yesus juga ingin menyampaikan kepada ahli Taurat bahwa hidup kekal yang dimaksudkannya bukanlah soal ketaatan legalistic atau berhubungan dengan  keturunan, melainkan kepada pemahaman dan aplikasi dari ajaran yang diberikan. Kebanggaan ahli Taurat akan penghafalan ayat-ayat tidak memiliki makna dalam kelayakan masuk dalam kehidupan kekal. Tuhan Yesus menekankan bahwa hidup kekal itu bukan sesuatu yang utama menjadi sasaran, melainkan bagaimana melalui kasih dalam kehidupan sehari-hari, sebab itulah yang penting sehingga Tuhan Yesus berkata, “perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” 

 

 

 

Kesimpulan

 

Melalui nats minggu ini, Tuhan Yesus membongkar anggapan ahli Taurat atau kita tentang makna Taurat yang sesungguhnya. Ia menyadarkan kita bahwa hidup kekal bukan masalah pengakuan iman atau warisan, melainkan kepada hubungan pribadi dengan Allah dan aplikasinya pada sesama. Kita tidak mencari siapa-siapa orang yang layak disebut sebagai sesama akan tetapi harus berpikir bagaimana kita bisa menjadi sesama bagi orang lain. Perumpamaan ini juga berlaku bagi gereja, apakah kita sudah membuat gereja sebagai tempat penginapan atau penampungan bagi mereka yang terluka dan membutuhkan, sebab iblis sebagai perampok terus menerus melakukannya kepada orang berdosa atau yang belum terselamatkan, sebab mereka ini adalah yang dirampok dan dilukai. Sebab, hanya orang yang mempraktikkan kasih menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Allah dan hidup yang kekal.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 76 guests and no members online

Statistik Pengunjung

12768931
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
1668
3989
25248
0
87097
143416
12768931

IP Anda: 216.73.216.133
2025-09-17 06:15

Login Form