2025
2025
Khotbah Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025
Khotbah Minggu 21 September 2025
Minggu XV Setelah Pentakosta
SETIA DALAM PERKARA-PERKARA KECIL (Luk. 16:1-13)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: 1Tim. 2:1-7; Yer. 8:18-9:1 atau Am. 8:4-7;
Mzm. 79:1-9; atau Mzm. 113;
Pendahuluan
Minggu ini bacaan kita masih tentang pengajaran Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Ia banyak memberikan contoh dan perumpamaan tentang makna kehidupan ini dengan maksud agar mereka dan kita tidak tersesat atau terperosok pada hal-hal duniawi yang singkat ini. Melalui bacaan nats ini, Yesus memberikan pelajaran yang cukup rumit dan bermakna ganda, yakni tentang amanah dan tanggungjawab bagi seorang bendahara yang dipercaya mengelola tanah milik Tuan tanah. pertanggungjawaban akan diminta dan keputusan pasti diberikan. Melalui kisah dan perumpamaan yang diberikan, kita mendapatkan pelajaran hidup sebagai berikut.
Pertama: pertanggungjawaban (ayat 1-2)
Nats ini merupakan kisah yang lumayan sulit untuk ditafsirkan, sebab menyangkut penilaian hal yang baik dari orang jahat. Pihak yang jahat dalam kisah ini bukan hanya bendahara, tetapi juga penyewa, yang bersedia diajak kompromi, meski bagi mereka belum tentu ada manfaatnya, sebab bisa saja biaya sewa sama, hanya sebagian dibayar kepada pemilik tanah dan sebagian kepada bendahara yang akan berhenti. Memang pembayaran tidak dalam bentuk uang atau barang, melainkan beban tanggungan yang sama saja ada biayanya. Tuan pemilik tanah sendiri sulit dikatagorikan apakah orang baik atau orang jahat, sebab ia juga membenarkan sikap bendahara yang cerdik bahkan licik dalam kisah ini.
Ada dua tafsiran atas kisah ini. Pertama, bendahara pada prinsipnya adalah mitra pemilik tanah, sehingga ia bebas menetapkan hutang-piutang sewa dengan penyewa. Dalam hal ini tuan tanah tinggal terima bersih hasil akhirnya. Maka ketika bendahara itu memutuskan perubahan nilai sewa, ia sebenarnya “berhak” atas keputusan itu. Ia masih memiliki kuasa meski di saat terakhir, dan itu mengikat seterusnya. Tafsiran kedua, bendahara itu hanya hamba, seorang pegawai, sehingga ia harus melaporkan apa adanya, tidak berhak merubah apapun soal sewa menyewa. Dengan status itu, ada kecurangan yang dia lakukan, dan dalam hal ini ditafsirkan ia mungkin sudah sering mencuri hasil sewa tanah tersebut.
Namun dari kedua tafsiran itu pokok yang ditekankan dari nats ini adalah bahwa semua yang kita terima baik harta maupun wewenang, adalah amanah belaka yang dipercaya kita kelola sementara. Tidak ada harta dan kuasa dalam hidup ini yang menjadi milik kita abadi dan itu semua suatu saat akan kita tinggalkan. Segala sesuatunya itu nanti ada yang menilai dan kita harus mempertanggungjawabkan kepada tuan pemilik yang sah. Dalam hal ini pemilik sah atas alam semesta dan kehidupan ini termasuk kita adalah Allah yang kita kenal melalui Tuhan Yesus. Maka pertanyaannya adalah: saat kita memiliki harta atau Mamon dan wewenang saat ini, apakah kita mempergunakannya untuk kebaikan bagi kita dan orang lain, atau kita hanya pakai dan kelola untuk kepentingan diri sendiri, bahkan yang tidak berkenan kepada Tuhan? Janganlah kita menganggap itu sebagai hal yang sepele dan tidak ada kaitannya kelak dalam pertanggungjawaban di kehidupan lain setelah di dunia ini.
Kedua: memanipulasi keadaan (ayat 3-8)
Tuan pemilik tanah merasa bahwa bendahara tersebut tidak mengelola tanah tersebut dengan baik, bahkan menghamburkan hasilnya. Oleh karena itu ia memutuskan memberhentikan bendahara tersebut. Namun ketika bendahara itu memanfaatkan situasi sempit itu untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, tuan pemilik tanah itu justru memuji bendahara tersebut dengan mengatakan ia adalah orang yang cerdik. Ia dengan cepat mengurangi hutang orang lain dari seratus tempayan minyak (zaitun) menjadi lima puluh tempayan, dan kepada yang lain dia kurangi dari seratus pikul gandum menjadi delapan puluh pikul. Semua itu ia lakukan agar kedua orang ini merasa berhutang budi padanya dan suatu saat kelak ia bisa ditampung di rumah mereka atau membayar kepadanya.
Pelajaran yang bisa diambil dari perumpamaan ini bahwa orang-orang dunia demikian pintarnya dalam mencari peluang mencari harta, berpikir cepat dan kreatif untuk mendapatkan hasil meski untuk kepentingannya sendiri. Maka menjadi tantangan bagi orang-orang Kristen agar selalu lebih cerdik dari mereka (ayat 8). Di satu sisi memang kita bisa melihat bendahara tersebut mempergunakan kesempatan yang ada untuk menjalin hubungan yang baik dengan para penyewa, memberi keringanan hutang utnuk sementara. Maka pesan yang kita ambil adalah untuk berbuat kebaikan perlu kreatifitas dan pengetahuan, mempergunakan waktu yang masih sisa agar diperoleh hasil yang maksimal.
Memang cara yang dipakai oleh bendahara bukanlah cara yang benar. Akan tetapi kecerdikan dan perhitungannya dalam membangun hubungan bagi dirinya di masa depan adalah sesuatu yang perlu diteladani. Kita orang Kristen telah diberi kepercayaan oleh Allah melalui kepemilikan yang ada, maka apakah kita cukup kreatif untuk melipatgandakan semua itu dan mampu mengembangkan hubungan yang lebih luas kepada banyak orang? Kepemilikan atas harta dan kuasa mempunyai pengaruh kepada hubungan dengan sesama, membuat hidup orang lain lebih mudah, dan itu semua mempunyai konsekuensi pada kehidupan kit adi masa yang akan datang. Memanipulasi keadaan untuk kepentingan diri sendiri dan pemuasan nafsu jelas salah, akan tetapi menerapkan kecerdikan dan kelihaian berhitung bagi kepentingan meluaskan hubungan dan menolong sesama, jelas sesuatu yang disenangi oleh Tuhan kita. Tindakan cerdik dan berani seperti ini dapat dipuji oleh Majikan kita yang Agung.
Ketiga: setia dalam perkara-perkara kecil (ayat 9-12)
Tuan pemilik tanah itu tidak berarti setuju dengan apa yang dilakukan oleh bendahara itu. Akan tetapi tuan tanah itu mengatakan bahwa menggunakan kesempatan melalui “mamon yang tidak jujur” jelas ada gunanya. Mamon berasal dari bahasa Aram yang berarti uang, harta atau laba. Kalau sumbernya tidak jujur maka ia menjadi mamon yang tidak jujur. Tetapi ditekankan juga bahwa tidak selamanya harta atau mamon itu dapat menolong, ada saatnya ia menjadi “tidak berarti dan tidak berguna”, sebab yang lebih utama dan merupakan tujuan hidup adalah kemah abadi yakni kehidupan nanti (band. Luk. 12:33; Mat. 19:21).
Pesan lainnya adalah kita diuji melalui kesetiaan pada hal-hal yang kecil terlebih dahulu, sebelum pada hal yang besar dan bahkan yang utama. Harta dan kekuasaan duniawi sangatlah kecil nilainya dibandingkan dengan nilai kekayaan sorgawi. Apalagi masa kehidupan di dunia ini sangat singkat bila dibandingkan dengan masa kekekalan. Tanggung jawab penggunaan harta duniawi akan menjadi ujian terhadap kesetiaan kita, sebab apabila kita tidak setia terhadap harta duniawi, maka kita juga dianggap tidak akan setia dan mampu untuk menerima harta sorgawi yang rohani dan abadi. Harta duniawi seperti uang jelas merupakan godaan besar, sehingga firman Tuhan mengatakan akar segala kejahatan adalah cinta uang dan hamba Tuhan diminta untuk tidak mencintai uang (1Tim. 3:1-3).
Pengelolaan hal kecil dianggap merupakan ujian bagi karakter (watak) dan integritas yang kita miliki dalam hal pengelolaan. Apakah kita memang orang yang setia dan layak dipercaya sehingga berhak atas sesuatu yang paling berharga nantinya, yakni harta sorgawi yang kekal? Sejauh mana integritas kita dan kesetiaan dalam pengelolaan itu? Perumpamaan dalam nats ini juga dapat disamakan dengan pengelolaan uang mina, sehingga Tuhan berkata: “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Lalu datanglah hamba yang menerima dua talenta itu, katanya: Tuan, dua talenta tuan percayakan kepadaku; lihat, aku telah beroleh laba dua talenta. Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat. 25:21-23; band Luk. 19: 11-27).
Keempat: mengabdi kepada dua tuan (ayat 13)
Ada sebuah keunikan dalam kepemilikan. Rasa kepemilikan atau sense of belonging memaksa kita bertanggungjawab. Memiliki keluarga membuat kita bertanggungjawab atas keluarga, dan itu adalah hal yang baik dan wajar. Meski tanggungjawab itu membuat kita seolah-olah "hamba" dari keluarga dalam pengertian kita ingin membahagiakan mereka adalah sesuatu yang baik. Namun, ketika kepemilikan dan sense of belonging tersebut pada sebuah benda atau harta, meski ada nilainya, maka disini muncul sesuatu yang tidak baik. Menjadi hamba keluarga adalah baik akan tetapi menjadi hamba uang atau harta, jelas tidak bagus sama sekali.
Memiliki Tuhan sama saja halnya. Ketika kita merasa memiliki Tuhan maka ada rasa tanggungjawab atas hal itu. Meski dalam hal Tuhan, pengakuan kita tidak akan mempengaruhi keberadaan dan kuasa-Nya. Kita tetap harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diberikan oleh Tuhan kepada kita. Maka ketika rasa tanggungjawab itu muncul pada kedua-duanya, timbullah pertanyaan: kepada siapa kita mengabdi? Apakah kita mengabdi kepada harta atau uang dan menjadikan semua itu sebagai Tuan, atau kita tetap mengabdi kepada Allah? Jelas kita tidak bisa mengabdi kepada keduanya. Pilihan harus diberikan, mana yang utama. Sama seperti kapal tidak boleh dinakhodai oleh dua orang, akan kacau perjalanannya, demikian juga perjalanan kita harus oleh satu nakhoda: Allah atau Mamon? Inilah yang diingatkan bagi kita melalui nats ini.
Kekayaan dan harta serta rasa kemilikan dan kecintaan akan dunia ini akan membuat kita lebih sulit membuat Allah sebagai Tuan atau Tuhan kita. Oleh karena itu kita harus memilih salah satu yang utama dan semua itu akan terlihat ketika kita mengelola sehari-hari atas uang dan harta yang diamanahkan-Nya kepada kita: yang mana akan mengambil tempat utama dalam hati kita? Apakah kita tetap melihat bahwa mereka yang memiliki harta dan uang yang banyak sebagai tanda berkat dari Allah? Jangan kita seperti mereka, mulut kita menempatkan Allah yang utama akan tetapi hati kita lebih menghargai harta dan dunia. Allah sangat membenci hal itu, sebagaimana Tuhan Yesus menegur orang Farisi dalam kisah nats ini. Ukuran diberkati adalah urusan damai sejahtera dalam kasih Allah dan kepada manusia. Karena itu, apa dan siapa yang akan lebih sering menjadi fokus pikiran kita setiap hari? Semua itu akan memperlihatkan, itulah yang menjadi Tuan atau Tuhan kita. Hal ini dapat diuji dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah engkau sering kuatir dan memikirkan uang atau hartamu setiap hari?
2. Apakah engkau mudah tergoda dan menyerah atas bujukan apabila itu peluang mendapatkan uang atau harta meski dengan cara tidak berkenan kepada Tuhan?
3. Apakah waktu yang dipakai setiap hari lebih banyak untuk mencari uang? Atau waktumu banyak tersita untuk mengurusi harta dan uang?
4. Apakah engkau sulit untuk memberi kepada mereka yang membutuhkan dan juga kepada gereja/penginjilan?
5. Apakah engkau memaksakan untuk berhutang demi sesuatu yang tidak urgent perlu?
Kalau jawabannya banyak ya, maka mungkin Uang atau Mamon sudah menjadi tuan kita.
Kesimpulan
Melalui bacaan dan renungan yang diuraikan di atas, kita diingatkan bahwa semua hal di dunia ada ada pertanggungjawaban. Jangan kita terkecoh dengan membuat sesuatu yang bernilai di dunia ini seperti uang dan harta menjadi Tuan kita dan kita menjadi hambanya. Jangan juga kita memanipulasi untuk mendapatkan keuntungan diri sendiri, meski kita diajar untuk selalu cerdik. Semua yang di dunia dianggap sebagai hal dan perkara-perkara kecil, sebab yang utama adalah kekayaan sorgawi dan menjadi penghuni kemah abadi. Untuk itu kita tidak boleh membuat dua Tuan dalam hidup kita, harus memilih, membuat Yesus sebagai Tuhan sekaligus Tuan kita, atau menjadikan harta dan dunia ini sebagai Tuan kita. Mari kita jadikan Yesus sebagai Tuhan dan nakhoda kita, mengenal otoritas-Nya, sebab Dia sebenarnya pemberi semua itu.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (2) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025
Khotbah Minggu 21 September 2025
Minggu XV Setelah Pentakosta (Opsi 2)
DOA SYAFAAT (1Tim. 2:1-7)
Dalam memimpin sesi Pemahaman Alkitab, sering saya tanyakan: apa arti "syafaat"? Ternyata banyak yang tidak tahu, meski tiap hari Minggu mendengar kata doa syafaat. Bahkan ada yang mengartikan doa syafaat sebagai doa panjang, doa gado-gado. Syafaat berarti perantaraan, intercession (Inggris), entugkhanein (Yunani). Doa syafaat berarti permohonan melalui (kita sebagai) perantara. Intinya doa untuk pihak lain. Jadi janganlah dalam doa syafaat, fokus permohonan kepada diri atau kelompok kita sendiri.
Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XVI setelah Pentakosta ini diambil dari 1Tim. 2:1-7. Nas ini mengenai doa jemaat. Kita diminta menaikkan permohonan, doa syafaat, dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan (ayat 1-2). Dalam ayat berikutnya dinyatakan, Allah, Juruselamat kita, menghendaki supaya semua orang diselamatkan, dan memperoleh pengetahuan tentang kebenaran (ayat 4, band. 2Pet. 3:9). Untuk itu peran doa dan saling mendoakan sangatlah penting (band. Yak. 5:14).
Kekristenan dasarnya adalah pengakuan iman, yakni percaya adanya Allah yang Esa (ayat 5) dan Allah Bapa sebapai Pencipta; percaya Allah telah menjadi manusia yakni Yesus Kristus untuk menyelamatkan semua manusia dengan menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan (ayat 6); dan percaya Allah kita itu Allah yang hidup untuk menyertai dan menolong kita dalam kehidupan ini melalui Roh Kudus. Semua itu tertulis dalam Alkitab yang kita yakini sebagai kebenaran yang tanpa salah (infallibility dan inerrancy).
Manusia diciptakan sempurna, tetapi tetap terbatas kemampuannya. Untuk melihat kuping dengan mata langsung saja kita tidak bisa, apalagi memahami alam semesta ini termasuk jalan kehidupan di tengah-tengah dinamika kehidupan yang berjalan, dan terlebih melihat masa yang akan datang. Untuk itu manusia membutuhkan orang lain, termasuk untuk saling mendoakan. Berdoa, berarti kita mengakui keterbatasan, tanda ketaatan, tanda kasih dan kesatuan umat, dengan memohon pertolongan Allah yang hidup untuk campur tangan. Berdoa bukan hanya untuk diri sendiri - dengan daftar yang panjang seperti belanjaan, tetapi juga untuk pihak lain sebagaimana diminta firman-Nya hari ini.
Sebagai pegangan mudah, pihak-pihak yang masuk dalam doa syafaat lebih mudah diingat dengan menggunakan tangan dan kelima jari kita sebagai model.
· Tangan diangkat, bermakna doa dimulai dengan ucapan syukur (ayat 1; Flp. 4:6);
· Ibu jari, memaknai berdoa bagi orang tua dan keluarga dekat (Ef. 6:2; Kel. 20:12);
· Jari telunjuk, memaknai doa bagi penunjuk jalan keselamatan, yakni: para pendeta, pengerja gereja, dan para hamba Tuhan khususnya di ladang misi (Kol. 4:3; 2Tes. 3:1);
· Jari tengah yang tertinggi/terpanjang, menandai berdoa untuk para pemimpin kita, organisasi, kumpulan, RT/RW bahkan negara (Mzm. 21:9-14; 1Tim. 2:1-2);
· Jari manis, memaknai berdoa bagi semua persoalan dan pergumulan termasuk musuh kita (Mat. 5:44)
· Jari kelingking menandakan berdoa bagi yang kecil lemah dan kaum miskin termasuk bagi musuh kita (Luk. 6:28).
Doa menyambung hasrat dan pengharapan kita kepada Allah. Melalui nas ini diajarkan dengan doa kita menjadi dekat dengan-Nya. Alkitab meminta kita bertekun dalam doa (Rm. 12:22; 1Tes. 5:17). Pentingnya doa juga dinyatakan dengan Roh Kudus berdoa bagi kita (Rm. 8:26-27), sebagaimana Tuhan Yesus berdoa dari sorga (Yoh. 17:9, 20). Tetaplah berdoa dan "percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Mrk. 11:24).
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Kabar dari Bukit, Minggu 14 September 2025
Kabar dari Bukit
MENGIKIS KEBEBALAN MANUSIA (Mzm. 14:1-7)
”Tuhan memandang ke bawah dari surga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah” (Mzm. 14:2)
Ada perbedaan bebal dengan bodoh. Bebal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran); bodoh. Tetapi “bodoh” lebih merujuk pada kurang tahu, kurang pengetahuan, atau kurang cerdas, sementara bebal lebih merujuk pada hati dan sikap yang menolak pengetahuan, kebijaksanaan dan nasihat; mirip keras kepala, tegar tengkuk. Alkitab menuliskan, “kefasikan itu kebodohan dan kebebalan itu kegilaan” (Pkh. 7:25).
Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Mzm. 14, ada tujuh ayat. Judul perikopnya: Kebebalan manusia. Raja Daud membukanya dengan mengatakan, orang bebal berkata dalam hatinya, ”Tidak ada Allah” (ay. 1a). Biasanya yang berkata demikian sudah terkungkung dalam dosa, termasuk kesombongan diri. Bagi mereka ini akan “ditimpa kegentaran, sebab Allah menyertai angkatan yang benar” (ay. 5).
Selanjutnya disebutkan mereka telah menyeleweng, bejat, busuk, dan keji perbuatannya (ay. 1b, 3a). Menurut Matthew Henry dalam buku tafsir Mazmur, ada empat kejahatan yang mereka lakukan. Pertama, mereka merancang, menjalankan sikap bebal tersebut dan mendapatkan kesenangan dengannya. Tidak berakal budi dan tidak mencari Allah (ay. 2b). Kedua, bersifat rakus “memakan habis umat-Ku seperti memakan roti” (ay. 4). Ini bagaikan saudara-saudara Yusuf yang melemparkan dia ke sumur, lantas duduk makan (Kej. 37:24-25). Mereka tidak peduli perasaan dan penderitaan orang lain. Ketiga, tidak berseru kepada Tuhan. Ditambahkannya, kebaikan apa yang dapat diharapkan dari orang-orang yang hidup tanpa doa? Keempat, mereka mengolok-olok orang yang tertindas (ay. 6).
Kebebalan manusia dengan berkata tidak ada Allah, datang dari sikap atheis (tidak percaya adanya Allah). Tetapi dapat juga bersifat agnostik yakni berpikiran Allah tidak dapat dimengerti dan didekati, serta tidak berhubungan dengan keseharian kehidupan. Ini mirip dengan panteisme, yang berpikir alam semesta sendiri adalah allah dan hukum alam yang berkuasa. Umumnya mereka ini mentuhankan perbuatan baik atau humanisme, tidak perlu kasih karunia Allah.
Tetapi ada juga yang menggeser tuhannya kepada pikiran dan dunia, seperti materialisme dan kepraktisan. Alkitab mengingatkan, mereka ini adalah orang-orang yang “mengaku mengenal Allah, tetapi dengan perbuatan mereka, mereka menyangkal Dia. Mereka keji dan tidak taat dan tidak sanggup berbuat sesuatu yang baik (Tit. 1:16). Ini juga berbahaya, memberi contoh buruk bagi orang lain.
Di sekeliling kita pasti ada orang yang bebal. Maka sikap kita perlu bijak. Ada beberapa langkah mengikis kebebalan mereka.
Pertama, hadapilah dengan sabar dan berempati, yakni membayangkan dirinya seperti diri kita;
Kedua, rendah hati, dengarkan penjelasannya dan carilah alasannya. Jangan cepat menyerang, menghakimi, sebab mereka akan bertahan dan bahkan menolak;
Ketiga, berilah contoh yang baik, sadarkanlah.
Perlu hati-hati menghadapi orang bebal. Jangan sampai terlibat dalam perdebatan yang melelahkan, tidak membangun. Kendalikan diri kita sesuai tujuan mengubahnya. Tentukan batasan agar tidak berlarut-larut, apalagi sampai membuat kita malah frustasi, stres, dan hubungan pribadi rusak. Selain berdoa bagi mereka, kita juga bisa mencari dukungan dan menyerahkannya kepada pihak yang lebih berpengaruh termasuk ke majelis jemaat (bdk. Mat. 18:15-17).
Tetapi yang utama, sebagai murid Kristus janganlah bersikap EGP: Emang gua pikirin? Keselamatan dan pemulihan datang dari Tuhan (ay. 7).
Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah (3) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025
Khotbah Minggu 21 September 2025
Minggu XV Setelah Pentakosta (Opsi 3)
SAKIT HATI (Yer. 8:18-9:1)
“Mengapakah mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan patung-patung mereka, dengan dewa-dewa asing yang sia-sia?” (Yer. 8:19b)
Salam dalam kasih Kristus.
Kita pasti pernah merasakan kesedihan yang dalam. Misalnya, kehilangan orang-orang yang kita kasihi, dipanggil Tuhan kepangkuan-Nya, atau yang kita kasihi pergi menjauh dengan marah dan tidak mau bersama kita lagi. Saya membayangkan hal ini terjadi jika anak yang kita kasihi jatuh ke dalam jerat narkoba. Atau anak kita menikah dengan orang yang tidak seiman, kemudian membenci dan menganggap iman kita salah. Aduh....
Banyak kisah yang kita baca tentang perilaku anak yang terjerat narkoba. Mereka tidak lagi memedulikan orang tua, kakak adik, dan sesamanya; hidupnya telah diserahkan kepada racun kehidupan itu. Dampaknya sering lebih buruk lagi, mereka mencuri dan tega melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain. Dosa berbuahkan dosa.
Demikianlah Allah merasakan kesedihan yang dalam, tatkala bangsa Israel yang dikasihi-Nya berpaling kepada allah-allah lain. Umat Israel menyembah patung dan dewa-dewa asing (ay. 19). Ratapan inilah yang disampaikan Allah melalui Nabi Yeremia, melalui nas bacaan kita di hari Minggu yang berbahagia ini, yakni Yer. 8:18-9:1. “Tidak tersembuhkan kedukaan yang menimpa diriku, hatiku sakit pedih. …. Sudah lewat musim menuai, sudah berakhir musim kemarau, tetapi kita belum diselamatkan juga! …. Tidak adakah balsam di Gilead? Tidak adakah tabib di sana? Mengapakah belum datang juga kesembuhan luka puteri bangsaku?” (ay. 18, 20-22).
Allah kita dalam Tuhan Yesus adalah Allah yang penuh cinta kasih. Meski DIA tahu, anak-anak-Nya selalu berseru kepada-Nya bila dalam kesusahan, namun ada kalanya kembali memberontak, mencari “sesuatu” yang lain. Meski akhirnya, baru sadar hampa sia-sia tak berguna.
Kita tentu tahu juga perumpamaan anak yang hilang (Luk. 15:11-24). Si anak bungsu meminta ayahnya membagi warisan, dan kemudian pergi menghabiskannya dengan berfoya-foya. Akhirnya jatuh miskin, hanya berharap makan dari ampas makanan babi. Tetapi ketika si anak ingin kembali, ayahnya menyambut dengan pesta besar. Begitulah hati Allah terhadap kita, seperti dituliskan: "Maka Tuhan tidak dapat lagi menahan hati-Nya melihat kesukaran mereka" (Hak. 10:16). Allah dengan menahan kesedihan, selalu rindu anak-anak-Nya kembali.
Bagaimana kita menghadapi kesedihan yang besar, misalnya, seperti anak terjerat narkoba atau berpindah keyakinan? Atau, ada anggota kelompok kita yang bersikap tidak semestinya. Melalui nas minggu ini, kita diajarkan agar mengikut keteladanan Yesus: tetap mengasihi mereka, umat kesayangan-Nya. “Sekiranya kepalaku penuh air, dan mataku jadi pancuran air mata, maka siang malam aku akan menangisi orang-orang puteri bangsaku yang terbunuh!” (ay. 9:1).
Namun kesedihan dan penderitaan yang datang melanda, perlu dilihat akar dan masalahnya. Bila itu terkait dosa-dosa, mari kita bereskan dengan mohon pengampunan. Allah Mahabaik, jika kita benar-benar ingin bertobat. Tetapi janganlah sampai kesedihan dan penderitaan yang datang, malah semakin membawa kita kepada dosa yang lebih besar. Dosa beranakkan dosa. Untuk itu perlu berhikmat dan berefleksi kepada firman-Nya, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian” (2Kor. 7:10).
Situasi apapun saat ini yang membawa kita sedih dan menderita, tetaplah berseru kepada Allah. Jangan meneruskan pemberontakan (Yes. 63:9), tetapi berserahlah atas situasi yang diterima. Mohonkan petunjuk-Nya melalui hikmat dan kekuatan untuk mengetahui rencana-Nya, selami melalui doa dan tekun membaca firman-Nya: adakah itu keselamatan atau kematian?
Kita tahu Allah kadang memakai situasi yang sulit bahkan terasa berat untuk membentuk kita agar serupa dengan Kristus (Yak. 1:2-4; Rm. 5:3-5; 8:28-29; Ibr. 4:15). “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui” (Yer. 33:3; bdk. Mat. 11:28; Mzm. 58:6). Percayalah, tetaplah setia. Semua baik, sebab rencana Tuhan pasti indah dibalik kesedihan dan derita yang melanda.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah Minggu XIV Setelah Pentakosta - 14 September 2025
Khotbah Minggu 14 September 2025 - Minggu XIV Setelah Pentakosta
ADA SUKACITA KARENA SATU ORANG BERTOBAT (Luk. 15:1-10)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 4:11-12, 22-28 atau Kel. 32:7-14; Mzm. 14 atau Mzm. 51:1-10; 1Tim. 1:12-17
Pendahuluan
Minggu ini bacaan kita tentang kisah orang-orang berdosa yang sangat senang berkumpul dengan Tuhan Yesus. Mereka rajin mendengar pengajaran-Nya, bahkan sering makan bersama-Nya. Perbuatan Tuhan ini tidak ditanggapi secara positip dan sukacita oleh kaum Farisi dan ahli Taurat. Mereka bahkan mencela dan bersungut-sungut atas kejadian itu. Namun bagi Tuhan Yesus, kasih Allah dinyatakan bagi mereka yang tersisihkan ini, untuk dipanggil dan masuk dalam pertobatan. Hal ini karena ada sukacita besar yang terjadi di sorga tatkala satu orang bertobat.
Dari nats yang kita baca minggu ini ada beberapa menjadi pokok pengajaran sebagai berikut.
Pertama: bersungut-sungut (ayat 1-2a)
Bersungut-sungut itu padanannya adalah mengomel (mencomel) atau menggerutu. Sikap itu timbul karena ketidak-puasan atau gusar terhadap sesuatu, yang bersumber dari dirinya sendiri maupun respon atas orang atau hal lain. Biasanya ekspresinya adalah dengan mengeluarkan kata-kata kekesalan dan cenderung tidak runtut dan jelas. Sikap ini bisanya muncul sebab merasa dirinya hebat dan berbeda, utama, dan fokus kepada dirinya sendiri. Fokus dalam pengertian lebih melihat kepentingan dan manfaat bagi diri sendiri dan bukan kepentingan orang lain, atau melihat kemungkinan adanya pandangan dan sikap yang berbeda dari pihak lain. Sikap bersungut-sungut atau menggerutu juga bisa terjadi karena terlalu membesar-besarkan masalah atau kesulitan yang ada. Orang-orang seperti ini tidak melihat sisi lain dari rencana Allah yang baik untuk mereka.
Sikap bersungut-sungut ini tampak dalam Alkitab ketika umat Israel keluar dari Mesir. Ketika mereka mulai menemukan kesulitan dalam perjalanan kembali ke tanah perjanjian, mereka mulai bersungut-sungut kepada Musa. Tiadanya air minum (Kel. 15:24; 17:3), kurangnya makanan (Kel. 16:2) dan adanya ancaman (Bil. 14:2) membuat mereka bersungut-sungut. Pikiran mereka menjadi picik dan buta untuk melihat apa yang telah Tuhan berikan yang terbaik. Mereka lupa dan tidak bersyukur sebab telah dibebaskan dari perbudakan yang demikian lama. Hambatan atau kesulitan sedikit saja, langsung mengomel dan memperlihatkan sikap yang tidak suka, bahkan ingin berpaling dari Allah.
Allah kadang bersabar terhadap orang yang bersungut-sungut sebagaimana Ia perlihatkan kepada bangsa Israel. Kadang Allah langsung memberi respon atas keluhan mereka. Tetapi Allah juga kadang langsung murka atas sikap yang demikian (Bil. 11:1; 14:27; 21:5), sebab Allah telah melihat bahwa mereka tidak memandang dan menghargai apa yang sudah Allah berikan. Oleh karena itu, perjanjian baru mengajarkan agar kita jangan bersungut-sungut dan menggerutu (Flp. 2:14), melainkan mampu mengendalikan sikap kesal dan keluhan atau perasaan tidak puas, sebab dengan demikian kita berarti melihat berkat-berkat lainnya yang sudah diberikan dan layak dinikmati dan syukuri (band. Mzm. 106:25; 1Kor. 10:6-10).
Kedua: akibat bersungut-sungut (ayat 2b)
Dalam nats minggu ini disebutkan bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bersungut-sungut karena Tuhan Yesus makan bersama dengan orang yang mereka pandang sebagai orang-orang berdosa. Mereka ini adalah para pemungut cukai, perempuan sundal, orang-orang di jalanan yang dianggap “rendah”, termasuk mereka yang dianggap tidak memahami hukum Taurat. Sikap orang Farisi yang menjauh karena tidak mau "tercemar" dengan bergaul bersama mereka. Mereka tidak mau repot karena adanya ritual-ritual "penyucian" yang harus dilakukan ketika kaum Farisi dan ahli Taurat ini bersentuhan dengan mereka. Penghargaan kepada sesama manusia memang cenderung bukan berdasarkan hakikat manusia yang memiliki harkat, melainkan lebih melihat status. Sebaliknya Yesus memperlihatkan sikap yang berbeda. Bagi Tuhan Yesus mereka adalah sasaran misi kedatangan-Nya ke dunia. Orang-orang Farisi menggerutu sebab mereka tidak mengerti tujuan sesungguhnya dari Yesus, yakni Ia ingin memperoleh kembali orang-orang yang disisihkan itu.
Tuhan Yesus mencari orang berdosa dan yang hilang dari kerajaan-Nya. Inilah kerinduan-Nya dan Ia ingin membawa mereka kembali untuk masuk dalam kerajaan damai sejahtera dan keselamatan abadi. Perasaan belas kasihan Allah selalu muncul tatkala bersua dengan mereka ini. Berkumpul dan bercakap-cakap dengan mereka yang direndahkan seperti ini, akan timbul perasaan bangga dan naiknya harga diri bahwa mereka bukanlah orang yang terlupakan. Mereka adalah sama penting dan berharganya di mata Tuhan. Yesus suka blusukan bergaul bersama yang direndahkan ini. Ia tidak jaim (jaga image), jaga reputasi, justru mengambil resiko atas sikapnya itu.
Inilah yang harus kita perlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Justru bagaimana kita bisa memberikan yang terbaik bagi mereka yang terpinggirkan oleh dunia ini. Apakah itu karena pendidikan, kemiskinan, penyakit atau kekuasaan, sehingga mereka merasa terabaikan. Sikap kurang mau bersyukur dan membagikan rasa syukur itu kepada mereka justru akan menghilangkan potensi sukacita yang disediakan oleh Allah bagi kita. Kalau ada yang tidak kita puas, maka sebenarnya kita justru harus semakin gigih untuk berdoa dan memohon kepada Allah agar kita semakin dipakai-Nya.
Ketiga: mencari domba dan dirham yang hilang (ayat 3-5, 7-8)
Dalam bagian ini Tuhan Yesus menekankan pentingnya mencari mereka yang hilang. Ia menggambarkan seekor domba yang tersesat dari kumpulannya dan tidak kembali ke kandang, harus dicari hingga dapat. Tugas gembala tidak ringan. Medan mencari rerumputan yang berat dan petanggungjawaban atas jumlah domba-domba sesuatu yang mutlak, sebab biasanya domba-domba milik beberapa orang yang digembalakan satu atau dua orang secara bersamaan. Ada kemungkinan domba tersebut tidak hanya tersesat hilang arah jalan, akan tetapi juga terperosok masuk dalam lobang sehingga hanya orang lain yang bisa menyelamatkannya. Seekor domba tidak bisa menemukan jalan pulang, seseorang harus menuntunnya. Perhatian kepada domba yang sesat dan hilang itu melebihi dari yang sudah masuk kandang dan selamat. Itu cara berpikir yang sederhana dan jelas, tetapi itulah cara berpikir kristiani. Mungkin bagi sebagian orang itu cara berpikir yang "bodoh", mengorbankan 99 domba oleh karena mencari satu domba yang tersesat, yang mungkin dengan tuduhan domba itu mbalelo, kemauannya sendiri, biar saja dia tersesat atau masuk jurang. Cara berpikir inilah yang dilawan oleh Tuhan Yesus.
Demikian juga gambaran tentang dirham yang hilang di dalam rumah. Dirham disini berarti coin yang berharga karena nilainya (perhatikan rumahnya gelap jadi mungkin dari kalangan miskin), atau mungkin karena nilai kenangannya (Dirham juga sering dijadikan hadiah dan dipakai sebagai hiasan kepala saat pernikahan). Mencari dirham yang hilang di lantai tanah dan gelap, pasti membutuhkan usaha yang sangat keras. Ia bisa saja terselip di antara barang atau sampah jerami. Sebagaimana perempuan dalam kisah ini, ia akan menyalakan pelita dan mondar-mandir mencari di setiap sudut dan pelosok rumah. Usaha yang tidak mudah. Maka ketika perempuan itu menemukan dirham yang hilang, maka ia akan bersorak-sorai kegirangan.
Kalau orang Farisi dan ahli Taurat justru melecehkan mereka yang dianggap berdosa, rendah dan terhilang, maka kita justru orang-orang yang dipanggil untuk mengangkat mereka. Cara berpikir kristiani adalah, lebih baik seorang penjahat ditobatkan dan kembali ke jalan yang besar dibanding dia dihukum dan dimatikan. Sukacita kristiani adalah sukacita yang lebih menekankan pertobatan. Ini bukan berarti bahwa Yesus mengabaikan yang 99 domba (atau murid/pengikut) yang sudah "dikandang"), melainkan Yesus ingin menekankan bahwa kita harus terus mencari mereka yang hilang. Domba yang tersesat akan mati kehausan dan kelaparan, atau mudah dimangsa binatang jahat. Demikian pula mereka yang jauh dari Allah, mereka haus dan lapar rohani, dan sangat mudah dijerat oleh iblis yang jahat. Ini adalah kasih yang paling besar dari Allah melalui Tuhan Yesus.
Keempat: bersukacita karena menemukan yang hilang (ayat 6, 9-10)
Konsep orang Farisi dan ahli Taurat adalah manusia yang mencari Allah. Pandangan ini juga muncul di beberapa kalangan. Akan tetapi dalam Perjanjian Baru, konsep ini justru terbalik, sebab Allah yang mencari manusia. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk. 19:10)." Ia menawarkan jalan dan kehidupan baru sebagai bukti kasih-Nya kepada mereka. Secara tidak langsung Tuhan Yesus juga “mencela” orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menganggap dirinya paling benar dan suci, merasa hebat dan penting dari pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya.
Orang benar yang sudah diselamatkan tidak memerlukan pertobatan. Orang sehat tidak membutuhkan obat. Usaha mencari domba dan anak yang hilang memang tidaklah mudah. Sama seperti gembala yang harus mengarungi medan lapangan gelap dan jalan berbukit serta berbatu untuk menemukan domba yang hilang, demikian jugalah kiranya menemukan anak-anak Tuhan yang tersesat. Doa kita bersama adalah langkah awal untuk menemukan gembala yang siap terjun ke medan perjuangan penginjilan. Menemukan si anak hilang bukanlah di tempat-tempat yang mudah. Akan tetapi mereka yang terus mencari dan menemukan mereka yang hilang, akan memiliki sukacita yang besar termasuk sukacita di sorga. Tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk mencari yang hilang dan membawanya kembali kepada Yesus, meski hanya satu orang. Semua itu tidak bisa diukur dengan nilai uang. Rasul Paulus adalah contoh orang berdosa yang diselamatkan dan Tuhan pakai sebagai alat kemuliaan-Nya (Gal. 1:24).
Nats minggu ini bahkan menyebutkan akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah. Ada kesukaan besar ketika seorang penjahat bertobat dibanding dengan ia diberantas dan dimatikan. Allah dan sorga bersama-sama bersukacita apabila seorang berdosa bertobat (band. Luk. 4:18-19; Mat. 10:6; 15:24). Tuhan Yesus lebih berbelas-kasihan kepada mereka ini dan inilah sikap yang harus kita teladani. Gambaran sukacita ketika ditemukannya domba yang tersesat dan dirham yang hilang merupakan gambaran sikap Allah atas pertobatan seseorang. Kegembiraan seisi rumah dan tetangga digambarkan bagaikan kegembiraan Allah. Pertobatan anak yang hilang dan orang berdosa akan memiliki pengharapan kepada Allah, memiliki rasa harga diri, bahkan dengan penuh kepercayaan kembali kepada Bapa yang penuh kasih.
Kesimpulan
Minggu ini kita diajarkan tentang tidak baiknya bersingut-sungut. Itu berarti melupakan berkat dan rasa syukur kepada Allah. Tuhan Yesus ditegaskan datang untuk mencari manusia yang hilang dan tersesat. Ia sangat bersuka cita apabila menemukan mereka yang hilang. Tidak ada manusia yang tidak berharga untuk diselamatkan. Setiap orang adalah anak-anak-Nya yang menjadi obyek Kasih-Nya. Maka kita, murid-murid-Nya, seharusnya memiliki belas kasih yang sama seperti yang Ia miliki. Kita harus terus berdoa supaya Roh Kudus memenuhi hati kita dan dipanggil untuk membawa orang berdosa kepada keselamatan.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta SETIA...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta...Read More...
-
Khotbah (3) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 62 guests and no members online