2025
2025
Khotbah (3) Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025
Khotbah Minggu 7 September 2025
Minggu XIII Setelah Pentakosta (Opsi 3)
BERSYUKUR DAN PEDULI (Fil. 1-25)
"Dan aku berdoa, agar persekutuanmu di dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus" (ayat 6).
Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XIV setelah Pentakosta ini diambil dari Surat Paulus kepada Filemon, satu keseluruhan kitab yang hanya 1 pasal berisi 25 ayat. Filemon adalah rekan pekerja Rasul Paulus, orang terpandang di Kolose, pemilik para budak. Salah satu budaknya, Onesimus, pernah melarikan diri dan kemudian menjadi pelayan Paulus di penjara. Surat Paulus ini meminta agar Filemon menerima Onesimus kembali dan memaafkannya.
Permintaan Paulus tersebut ada dasarnya, setelah ia melihat hidup Filemon yang sudah menerima Kristus dan berbuah. Filemon membuka persekutuan jemaat di rumahnya (ayat 2), penuh dengan iman dan kasih. Rasul Paulus sangat bersyukur dan sangat bergembira tentang hal itu dan terus mendoakan Filemon bersama rekan-rekannya, seperti Apfia dan Arkhipus. Inilah pelajaran pertama dari nas ini, agar kita selalu bersyukur atas kemajuan orang lain, terus mendoakan, dan tidak malah iri hati.
Rasul Paulus dalam meminta, tidak dengan paksa atau menggunakan wewenangnya sebagai rasul. Ia meminta dengan rendah hati, memakai bahasa kasih, meminta Filemon menyetujuinya dengan sukarela (ayat 14). Rasul Paulus bahkan bersedia mengganti kerugian yang diderita Filemon atas larinya Onesimus, yang tidak sepatutnya dilakukan seorang hamba (ayat 18). Kerendahan hati, tidak merasa hebat dan sok berkuasa. Ia tanpa penonjolan diri tidak lupa menyertakan salam dari teman-teman sepelayanan (ayat 1, 23). Ini menjadi pelajaran kedua bagi kita dari nas ini, yakni merendahkan hati dan mengutamakan kebersamaan.
Pelajaran ketiga, kita perlu mengikut teladan Paulus, bagaimana ia peduli dan penuh kasih terhadap orang lain khususnya orang-orang baik, meski ia sendiri sedang susah di penjara. Onesimus hanya seorang hamba yang melayaninya, tetapi telah dianggapnya menjadi anaknya. Sikapnya ia perlihatkan dengan menyebut Onesimus sebagai buah hatinya (ayat 12) dan saudara kekasih (ayat 16). Mari berefleksi, bila kita sering mengganti staf, supir atau pembantu, perlu bertanya: apakah kita sudah memperlakukan orang lain dengan kasih, dan selalu peduli. Peduli dan kasih adalah ciri pengikut Kristus.
Kesimpulan nas ini mengajarkan kita pengikut Kristus, pertama, tentang cara bersikap dalam menjalin hubungan antar sesama. Iman tetap menjadi dasar, yakni Tuhan bekerja dan punya rencana dalam hidup kita dan memakai kita menjadi duta-duta-Nya. Kedua, dasar hubungan kita kepada sesama adalah kasih. Kita perlu menaruh rasa hormat dan tidak bersikap sombong tanpa melihat status dan latar belakang orang. Ketiga, segala yang kita lakukan perlu tuntas, all-out; dengan segenap hati, perbuatan kita seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kol. 3:23). Ada kesediaan dan sigap untuk rela berkorban, kesediaan untuk memberi dan menjadi berkat. Itulah buah dari kasih karunia yang sudah kita terima. Dengan demikian kita menjadi terang, buku yang terbuka dilihat orang, dan ikut membangun kerajaan-Nya dan meninggikan nama-Nya.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Kabar dari Bukit, Minggu 31 Agustus 2025
Kabar dari Bukit
KEMESRAAN YANG CEPAT BERLALU (Yer. 2:4-13)
”Mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, dan menggali tempat penampungan air bagi mereka sendiri, penampung yang bocor, yang tidak dapat menahan air” (Yer. 2:13 TB2)
Refrain sebuah lagu populer sangat sering dinyanyikan bersama, ciptaan Franky Sahilatua bersama adiknya Johnny Sahilatua:
Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin 'ku kenang selalu
Hatiku damai jiwaku tent'ram di sampingmu
Hatiku damai jiwaku tent'ram, bersamamu....
Tentu kemesraan ini antar sesama manusia. Bagaimana halnya kemesraan dengan Tuhan? Mengapa orang bisa berpindah agama atau berpaling dari Tuhan? Tentu ada alasannya, meski biasanya perpalingan prosesnya cukup panjang.
Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Yer. 2:4-13; nas yang menggambarkan kekecewaan Tuhan terhadap umat Israel yang berpaling kepada dewa-dewa dan Baal. Memang sejarahnya, kemurtadan umat Israel terjadi saat itu karena Raja Yosia yang terkenal rohani, mati terbunuh saat Mesir menyerang Israel sehingga raja yang baru hanyalah boneka dan sering berganti, yang semuanya tidak setia kepada Tuhan.
Oleh karena itu faktor pertama penyebab umat berpaling yakni jika para pemimpin tidak memperlihatkan integritas dan kekuatan iman, serta tidak memberi teladan yang baik. Situasi ini yang terjadi membuat umat Israel terpengaruh, karena para imam, gembala, nabi dan pelaksana hukum durhaka (ay. 8). Ini menjadi pelajaran bagi para pemimpin (gereja) saat ini, perlu menyadari peran vital pada kerohanian jemaat.
Faktor kedua seseorang berpaling karena tidak memiliki dasar iman yang kokoh. Kerohaniannya dangkal dan kering. Mereka tidak memahami mengikut Kristus yang mengajarkan kasih itu lebih baik dan benar. Mereka menjadi Kristen bukan karena kelahiran atau KTP saja, tetapi atas kesadaran dan pemahaman bahwa Kristus adalah jalan terbaik menuju sorga kekekalan dan merasakan kehidupan di dunia penuh damai sejahtera.
Jangan sampai terjadi kebingungan dan ketertarikan pada agama lain, memicu pencarian jati diri dan pemikiran dunia yang berdampak mereka murtad. Ini merupakan tanggungjawab para gembala (pendeta dan penatua) untuk memberi pengajaran yang dalam, baik dan benar.
Faktor ketiga bersifat sosial. Misalnya dampak pergaulan sehingga mengikuti agama istri/suami dalam pernikahan. Hal ini termasuk mengejar jabatan, berpaling sesuai mayoritas atau pimpinan di tempat kerja. Pengikut Yesus perlu diyakinkan dan menyadari bahwa meninggalkan-Nya adalah perbuatan sia-sia; menukarkan ilahnya meskipun itu sebenarnya bukan Allah ..., menukar Allahnya yang mulia dengan ilah-ilah yang tidak berguna (ay. 11). Berpaling berarti meninggalkan Sumber Air Hidup dan menggali penampungan air yang bocor (ay. 13).
Faktor keempat terjadi karena kurangnya pelayanan kasih. Ada saat-saat orang percaya terpuruk karena kesehatan dan kemiskinan. Ketika tidak ada pendampingan pastoral dan pelayanan kasih yang nyata, mereka pun lari, apalagi jika agama lain menawarkan lebih besar. Ini tantangan yang terjadi di wilayah Indonesia Timur atau bagian Barat seperti Mentawai dan Nias.
Pemimpin penting menjaga saat iman seseorang terpuruk, tidak menimbulkan kekecewaan dan kepahitan, merasa imannya tidak menjawab kebutuhannya. Ini dapat mendorong pencarian identitas baru dan mendapatkan jawaban dari keyakinan lain. Pendampingan yang meneguhkan sangatlah diperlukan.
Mari kita sebagai pribadi atau kelompok maupun sebagai pemimpin gereja, menjaga hubungan dan kedekatan kita dengan Tuhan. Mari suka berdendang: "Hanya dekat Allah saja aku tenang". Perlihatkan juga bahwa hidup di dalam Kristus: “Hatiku damai jiwaku tent'ram di samping-Mu; Hatiku damai jiwaku tent'ram, bersama-Mu."
Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah Minggu XII Setelah Pentakosta - 31 Agustus 2025 (Opsi 2)
Khotbah Minggu 31 Agustus 2025 – Minggu XII Setelah Pentakosta (Opsi 2)
IMAN DAN KASIH (Ibr. 13:1-8, 15-16)
Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XII setelah Pentakosta ini diambil dari Ibr. 13:1-8, 15-16. Lembaga Alkitab Indonesia memberi judul kepada bagian yang mencakup kedua perikop ini "Nasihat dan doa selamat." Kitab Ibrani pasal 1 - 12 menyampaikan tentang iman dengan ayat puncak Ibr 11:1 yakni definisi "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." Nas kita ditutup dengan penjelasan kasih. Ini menguatkan yang disampaikan Rasul Paulus di kitab Korintus: "Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih" (1Kor. 13:13). Ujung semuanya adalah kasih.
Wujud nyata iman adalah perbuatan kasih, kepada Tuhan dan terhadap sesama. Iman tanpa disertai perbuatan pada hakekatnya mati (Yak. 2:17). Ini ditegaskan oleh dua hukum utama: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini" (Mrk. 12:30-31). Kasih kepada Allah puncaknya dinyatakan dalam rasa hormat, ketaatan dan kesetiaan, yang meski dalam kehidupan ada hal berat menimpa, termasuk penganiayaan seperti yang dialami pengikut Kristus saat surat Ibrani ini ditulis. Tetaplah taat dan setia.
Kasih terhadap sesama, pertama mesti dinyatakan terhadap keluarga. Menjaga kekudusan perkawinan merupakan bukti kasih terhadap keluarga (ayat 4). Menjaga kesucian hati dengan selalu bersyukur bersama keluarga, dan mencukupkan yang ada dengan tidak menjadi hamba uang. Andalan kita dalam hidup ini bukan uang, tetapi Tuhan Yesus yang hidup dan menjadi penolong setia. “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau”, demikian firman-Nya (ayat 5-6).
Kasih berikutnya dinyatakan terhadap gereja, dengan memberi dukungan kepada para hamba-hamba Tuhan, agar mereka cukup sejahtera hingga masa tua (ayat 7, band. Gal 6:6). Dukungan juga perlu kita berikan pada gerakan misi sebagaimana dinyatakan di ayat 2-3, yakni menolong dan memberi tumpangan bagi para misionaris dan orang asing, termasuk bagi orang-orang yang (saat itu) banyak diusir dari rumah orang tuanya, karena menjadi pengikut Kristus. Mereka membutuhkan tempat tinggal sementara. Menerima mereka dihitung sebagai menjamu malaikat (ayat 2).
Bagian terakhir nas ini (ayat 15-16) meminta kita untuk "senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya. Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah." Maka pesan firman-Nya bagi kita pada kesempatan ini: Milikilah iman yang kuat dan teguh, berbicara atau chat dengan perkataan yang selalu sejuk dan indah dalam kehidupan sehari-hari, serta lakukan tindakan kasih berupa bantuan nyata kepada sesama. Itulah semua yang menjadikan hidup kita semakin menyenangkan hati Allah.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Khotbah Minggu XII Setelah Pentakosta - 31 Agustus 2025
Khotbah Minggu 31 Agustus 2025 – Minggu XII Setelah Pentakosta
YANG MERENDAHKAN DIRI AKAN DITINGGIKAN (Luk. 14:1, 7-14)
Bacaan lainnya menurut Leksionari: Ibr. 13:1-8, 15-16; Yer. 2:4-13 atau Ams. 25:6-7; Mzm. 81:1,10-16;
Pendahuluan
Nats yang kita baca minggu ini bercerita tentang Tuhan Yesus saat berbicara di rumah seorang pemimpin Farisi. Dia memberi pengajaran kepada tamu maupun kepada tuan rumah. Ada dua perumpamaan yang disampaikan dan keduanya saling berkaitan. Keduanya memperingatkan tentang kecendrungan manusia untuk mencari dan meninggikan status, sebab kedudukan sosial sangat penting bagi masyarakat baik pada waktu itu maupun masa kini. Setiap orang ingin menduduki tempat yang terhormat. Namun, di lain pihak ada kecendrungan untuk melupakan mereka yang miskin, orang catat dan yang berkekurangan. Nats ini terkait juga dengan Luk. 18:14 dan Mat. 23:12. Dari nats ini, kita diberikan pelajaran kehidupan sebagai berikut.
Pertama: merendahkan diri (ayat 1, 7-8, 10a)
Kata “rendah” dapat berkonotasi ganda ketika digabung dengan kata lainnya. Pertama, kata rendah memiliki arti negatip ketika kata itu dipadukan menjadi rendah diri. Pengertian rendah diri yakni perasaan yang tidak sesuai dengan hakekat dan kodratnya, merasa inferior atau memiliki derajat kehidupan yang jauh lebih rendah dari orang lain. Menurut pemikiran psikologis, munculnya perasaan rendah diri dapat diakibatkan oleh latar belakang "penindasan" mental pada masa kecil, mungkin sering dilecehkan, dipinggirkan, atau adanya kelemahan atau “cacat” fisik, atau karena peristiwa tertentu yang membuat "harga dirinya" seolah-olah hilang dan terhempas ke titik nadir. Namun kata kerja merendahkan diri dapat juga diartikan positip ketika bermakna sama dengan merendahkan hati.
Arti kedua menjadi positip ketika kata “rendah” dipadukan dengan kata “hati” dan menjadi rendah hati. Pengertian ini menjadi positip karena meski ia bersikap merendah (hati), namun kenyataannya kerendahan itu hanyalah di hati, bukan realitas yang sesungguhnya. Artinya, kerendahan hati yang diekspresikan melalui sikap hati, tubuh dan penampilan, itu tidak mencerminkan yang sebenarnya atas dirinya. Ia melakukan itu juga bukan dalam sikap berpura-pura, melainkan didasari perasaan bahwa apa yang dia "capai dan miliki" sebenarnya bukanlah miliknya, melainkan titipan atau amanah, sehingga tidak perlu diperlihatkan, apalagi dibanggakan dan dipertontonkan. Ia juga berpikiran bahwa prestasi atau pencapaiannya saat ini, masih akan ada yang lebih banyak dan lebih baik dari dirinya. Ia menganggap sikap rendah hati itu lebih baik, mencerminkan yang sebenarnya dan menempatkan pihak lain di atasnya, tidak egosentris. Pihak lain itu bisa Allah-nya, pimpinannya, koleganya, ataupun keluarganya.
Maka dari kedua itu Allah lebih berkenan kepada arti kedua. Allah menciptakan manusia dalam derajat yang sama dan setara (1Kor. 16:11a). Kalaupun seseorang memiliki kelebihan tertentu maka biasanya selalu ada kekurangan yang menyertainya. Tidak ada manusia yang sempurna, sebab hanya Allah yang sempurna. Maka kita janganlah memiliki perasaan rendah diri, merasa dari kelas yang berbeda, merasa kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena Allah tidak menginginkan demikian. Kita semua menerima mandat yang sama, dan hanya mereka yang mengenal dirinya dengan baik dan dapat mengembangkan pribadinya menjadi "seseorang" yang berguna atau berkarya, melalui kegiatan fisik atau rohani, itulah yang berkenan kepada Allah.
Kedua: yang meninggikan diri akan direndahkan (ayat 9, 11)
Kerendahan hati mencerminkan pengenalan akan status diri sendiri, baik di hadapan Allah maupun sesama. Kerendahan hati bukan karena kita tidak menghargai diri sendiri, melainkan kita mengenal dan tahu menempatkan diri dalam status sebagai anak-anak Allah, khususnya dalam tugas panggilan pelayanan. Tidak dapat disangkal bahwa secara manusiawi semua orang ingin dihargai dan ditinggikan. Memang manusia saat ini cenderung mengejar status sosial. Hal itu bisa diraih dengan mengejar harta atau kedudukan, atau berusaha bergaul dan dekat mereka-mereka yang memiliki hal tersebut. Kadang juga dipaksakan dengan memiliki barang-barang berharga, berupa mobil, perhiasan, gadget, dan lainnya. Akan tetapi persoalannya adalah: apakah penghargaan itu berasal dari penilaiannya sendiri atau penilaian orang lain? Apabila itu berdasarkan penilaian diri sendiri, apalagi yang tidak sesuai dengan hakekatnya, maka itu akan beresiko dipermalukan dan direndahkan kembali.
Ini yang terjadi pada kisah perumpamaan Tuhan Yesus. Seseorang yang “merasa” dirinya cukup terhormat dan diundang dalam suatu acara, kemudian mengambil tempat duduk yang paling bagus atau paling depan. Namun tak lama kemudian, tuan rumah memberitahukannya bahwa tempat duduk itu adalah untuk orang lain yang lebih terhormat menurut tuan rumah. Bukankah itu menjadi sesuatu yang memalukan? Apalagi, kemudian, sisa tempat duduk yang tersedia sudah di posisi paling belakang atau paling ujung, maka itu akan memperlihatkan status yang sebenarnya. Hal itu akan berbeda apabila kita menempatkan diri pada posisi yang rendah hati dan mencari tempat duduk yang “bisa-biasa” saja, dan lantas tuan rumah mengatakan kita tidak seharusnya disitu, melainkan harus di depan di tempat terhormat, maka alangkah sukacita dan bangganya kita menerima hal itu. Kerendahan hati memang milik orang-orang besar, meski orang besar ada juga yang tinggi hati, namun biasanya akan berakhir dengan kesedihan.
Kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan rasa percaya diri. Itu dua hal yang berbeda. Percaya diri berhubungan dengan pengenalan kemampuan diri yang terbatas namun dikuatkan dengan kemampuan Allah yang tidak terbatas. Percaya diri tidak membuat kita menjadi sombong, sebab kita tahu Allah memakai diri kita untuk melakukan tugas-tugas tententu bagi kemuliaan-Nya. Apabila peran dan tugas itu membawa keberhasilan, maka disadari Allah turut bekerja dalam peran dan tugas itu, sehingga tidak ada yang perlu disombongkan atau ditinggikan. Prestasi tidak selalu berhubungan dengan gengsi pribadi. Gambaran inilah yang dipakai Tuhan Yesus dalam kerajaan Allah. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata, siapa yang merendahkan diri maka ia akan ditinggikan, dan siapa yang meninggikan diri maka akan direndahkan (band. Mat. 23:12). Ini peringatan yang memiliki nilai rohani yang dalam.
Ketiga: mengundang yang miskin (ayat 12-13)
Kadang kala untuk memperlihatkan bahwa status dan kedudukan “tinggi” dan “orang penting”, maka apabila seseorang mengadakan pesta atau hajatan, maka biasanya dia akan mengundang teman-teman yang memiliki kedudukan yang tinggi juga, seperti pejabat-pejabat tinggi atau pengusaha kaya. Ini adalah usaha untuk menaikkan citra diri. Apabila mereka hadir maka akan merupakan suatu kebanggaan bagi tuan rumah. Sebenarnya mengundang teman-teman yang berkedudukan “tinggi” tidaklah salah dan merupakan hal yang lumrah. Namun Tuhan Yesus mengingatkan agar kita tidak melupakan teman-teman atau saudara-saudara yang miskin dan berkekurangan, berkedudukan “rendah”, teman-teman biasa, bahkan mereka yang belum beruntung dalam arti kata memiliki keterbatasan.
Peristiwa hajatan atau pesta adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah dan juga kepada sesama, karena kita diberi kesempatan mendapatkan suatu berkat dan anugerah pencapaian dalam kehidupan ini. Pemberian itu jelas bukan atas kemampuan diri kita semata, melainkan ada berkat dan perkenaan Tuhan yang menyertainya. Pengingkaran peran Allah dalam keberhasilan dan pencapaian jelas merupakan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Allah. Allah kita melalui Tuhan Yesus adalah Allah yang hidup dan berkuasa aktif dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila dalam ungkapan rasa syukur dan terima kasih itu, kita jangan melupakan Tuhan yang diekspresikan melalui mereka yang belum beruntung, mereka yang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta, janda-janda, mereka yang tinggal di panti asuhan atau panti jompo, sebab itulah pesan Tuhan bagi kita.
Kalau kita mengaku bahwa Tuhan yang memberikan berkat bagi kita dan dengan sadar dan sengaja melupakan pesan-Nya, maka sebenarnya kita sudah bersikap munafik. Hati kita tidak sesuai dengan kenyataannya. Tuhan Yesus mengingatkan agar kemunafikan diganti dengan kepedulian kepada mereka yang perlu mendapatkan kasih dan perhatian. Itu bisa dilakukan secara paralel, tidak harus bertentangan, sukacita yang bersamaan. Demikian juga sikap merendahkan hati jangan dipakai untuk memanipulasi demi mendapatkan perhatian orang lain. Bersikap apa adanya saja. Yang penting kita sadari, Kerajaan Allah dengan damai sejahteranya itu harus dihadirkan bagi semua orang.
Keempat: menerima hormat dan buahnya (ayat 10b, 14)
Penghargaan bukanlah sesuatu yang perlu dicari atau dipertontonkan. Itu melekat dan akan datang sendiri dan akan diperlihatkan apabila tiba waktunya yang pas sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya orang yang picik dan miskin hikmat dan pengalaman yang menganggap dirinya hebat, penting dan perlu dipertontonkan. Mereka yang memiliki hikmat dan berjiwa besar menyadari kenyataan bahwa di atas langit masih ada langit. Pengetahuan dan roda pencapaian dalam kehidupan akan berkembang terus. Mereka menyadari karya manusia tidak sebanding dengan karya Tuhan dan buah ciptaan tangan-Nya? Kita harus selalu membandingkan kesempurnaan dan kebesaran-Nya yang abadi dengan apa yang kita raih yang suatu saat mungkin tidak akan berharga.
Maka sebaiknya janganlah kita mencari puji-pujian atau kepentingan sendiri yang sia-sia. Alkitab berkata hendaklah setiap orang rendah hati dan menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri (Flp. 2:3; Ef. 5:21). Sebagaimana digambarkan dalam nats minggu ini, Tuhan Yesus kelak akan bertindak sebagai tuan rumah bagi kita anak-anak-Nya dalam masa penghakiman (band. Luk. 1:51-53). Kita diadili berdasarkan sikap kita terhadap orang lain, khususnya mereka yang berkekurangan dan membutuhkan. Sebab firman Tuhan berkata, barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (Mat. 18:4).
Hukum rohani memang menyatakan bahwa memberi dengan berharap kembali lebih banyak itu salah. Kita memberi harus dengan motif yang baik dan benar. Pemberian sebagai rasa syukur atau hanya kompensasi pengakuan atau memperlihatkan kesombongan? Janganlah membalas kebaikan karena kebaikan (band. Luk. 6:32-35). Berbuat kebaikan bagi mereka yang lemah jelas tidak akan mengharapkan balas jasa, sebagaimana dipesankan pada ayat 14 (band. Luk. 6:20-23). Akan tetapi, ayat ini juga tidak boleh ditafsirkan, bahwa seolah-olah hanya orang benar saja yang akan dibangkitkan. Mereka yang hidup sesuai kehendak Allah dan dibenarkan, mereka akan berhak atas kebangkitan itu. Maka carilah tempat kedudukan untuk melayani yang lebih besar dan luas bagi kerajaan-Nya dengan rendah hati, maka kita akan mendapatkan kehormatan dan kebesaran itu.
Kesimpulan
Tuhan Yesus melalui contoh kehidupan sehari- hari telah memberikan gambaran tentang kehidupan rohani dan kerajaan sorga kelak. Kita tidak perlu mengejar status dan pengakuan yang tinggi di dunia ini. Mereka yang mencoba meninggikan diri maka akan direndahkan. Kerendahan hati sangatlah penting di mata Tuhan, dan jangan menjadi munafik. Sikap Kristiani kita haruslah sejalan dengan sikap dan tindakan kita kepada sesama khususnya mereka yang lemah, berkekurangan dan membutuhkan kasih lebih besar. Orang masuk ke dalam Kerajaan Allah bukan dinilai karena tingginya status, melainkan dari sikap keseluruhan dalam kaitannya dengan tugas pelayanan yang diberikan Tuhan bagi kita. Hanya dengan itu kita menjadi orang benar dan mendapatkan kebangkitan kembali untuk menerima segala mahkota kebesaran yang disediakan-Nya.
Selamat beribadah dan selamat melayani.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Kabar dari Bukit, Minggu 24 Agustus 2025
Kabar dari Bukit
BERSENANG-SENANG KARENA TUHAN
”Maka engkau akan bersenang-senang karena Tuhan, dan Aku akan membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi” (Yes. 58:14 TB2)
Apakah yang selalu di pikiran kita menjelang akhir pekan khususnya menyongsong hari Minggu? Hukum Taurat keempat memerintahkan: “Ingat dan kuduskanlah hari Sabat”. Umat Yahudi memegang teguh perihal menguduskan dan memuliakan hari Sabat ini. Mereka beribadah cukup lama, bisa 2-3 jam. Selebihnya, waktu bersama keluarga. Mungkin kita saat ini jika ibadahnya lewat 1,5 jam, sudah mulai rewel.
Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Yesaya 58:9b-14. Ayat 1-9a sebelumnya berpesan agar ibadah kita jangan palsu, mengutamakan dilihat orang. Ibadah sejati hakekatnya adalah berjumpa dan menyembah Tuhan, agar Dia berkenan menerima. Renungannya dapat diakses di
https://www.kabardaribukit.org/index.php/kumpulan-khotbah/2023/653-kabar-dari-bukit-minggu-5-februari-2024.
Nas minggu ini melengkapi, mengingatkan bahwa perbuatan nyata sangatlah penting untuk mendukung ibadah. Hal yang dipesankan, pertama: “engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu” (ay. 9b). Ini berarti dari hal sederhana, tidak boleh membuat susah hati orang lain, apalagi menyakiti dan menindas. Kasih merupakan dasar dan inti ajaran Yesus dan wajib menjadi nilai utama dalam berperilaku dan bertindak (1Yoh. 4:20-21).
Ayatnya diteruskan dengan perintah kedua, “dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah.” Artinya, memperlihatkan rasa hormat kepada orang lain. Firman lain juga mengatakan, hendaklah rendah hati dan menganggap orang lain lebih utama (Flp. 2:3). Prinsip kehidupan yang berlaku umum: bila kita menghormati orang lain, maka kita juga akan dihormati.
Perbuatan nyata ketiga yang diminta, agar "engkau menyerahkan kepada orang lapar makananmu sendiri dan memenuhi kebutuhan orang yang tertindas” (ay. 10). Kita pun jadi teringat perkataan Tuhan Yesus bahwa memberi dan menolong orang lemah dan tertindas adalah sama seperti memberi kepada Tuhan Yesus. Mereka yang melalaikannya dianggap sebagai kambing bukan domba, dan akan dibawa ke siksaan yang kekal (Mat.25:31-46). Hidup memang harus diisi dengan berkat bagi sesama.
Kedua sisi ini yakni ibadah dan perbuatan, saling melengkapi sebagaimana kitab Yakobus menegaskan, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:17). Iman dibuktikan dengan buah nyata kepada sesama, bukan semata terfokus pada ritual ibadah apalagi yang bersifat palsu (ay. 1-9a).
Hal menarik dari nas minggu ini di bagian akhir, mengingatkan kita akan hari Sabat, hari ketujuh, perhentian yang sekarang di hari Minggu. Tuhan menghendaki kita memuliakan hari Minggu dengan tidak hanya melakukan urusan kita sendiri dan meremehkan ibadahnya (ay. 13). Janganlah hanya sibuk untuk diri sendiri dan melupakan Tuhan, meski kadang ada pengecualian sebagaimana murid-murid memetik gandum di hari Sabat oleh karena lapar (Luk. 6:1-5).
Semua perintah itu dilengkapi dengan janji Tuhan. Apabila kita berupaya melakukannya, maka Dia "akan menuntun engkau senantiasa dan memenuhi kebutuhanmu di tanah yang kering, serta membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti kebun yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan (ay. 11). Dan apabila kita menghormati hari Minggu sebagai hari yang mulia, Tuhan berjanji "membuat engkau bersenang-senang karena Tuhan, ... melintasi puncak bukit-bukit di bumi; Aku akan memberi engkau makan dari milik pusaka Yakub, bapa leluhurmu" (ay. 14). Terpujilah Tuhan.
Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.
Tuhan Yesus memberkati, amin.
Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta SETIA...Read More...
-
Khotbah (2) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta...Read More...
-
Khotbah (3) Minggu XV Setelah Pentakosta - 21 September 2025Khotbah Minggu 21 September 2025 Minggu XV Setelah Pentakosta...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 63 guests and no members online