Tuesday, September 16, 2025

2025

Khotbah (2) Minggu XIV Setelah Pentakosta - 14 September 2025

Khotbah Minggu 14 September 2025

Minggu XIV Setelah Pentakosta (Opsi 2)

 

PINTAR BERBUAT JAHAT (Yer. 4:11-12, 22-28)

 

“Sekarang Aku sendiri akan menjatuhkan hukuman atas mereka” (Yer. 4:12b)

 

Salam dalam kasih Kristus.

 

Saya sangat suka ayat Alkitab Yak. 4:17, dan sedikit ragu apakah semua orang Kristen tahu dan menyadari maknanya? “Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.” Ngeri-ngeri sedap ya ayatnya…, sebab situasi ini sering kita hadapi, dan kita agaknya lebih cenderung berpaling atau berkelit meski ada kesempatan.

 

Inilah yang dihadapi oleh Nabi Yeremia ketika harus menyampaikan kenyataan pahit, bahwa Allah sedang marah besar dan menghukum bangsa Israel. Kisah itulah nas bacaan kita di hari Minggu ini, Yer. 4:11-12, 22-28, tentang pesan Allah agar bangsa Israel bertobat. Pesannya pun sangat keras! "Sungguh, bodohlah umat-Ku itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu" (ayat 22).

 

Nabi Yeremia kemudian menjabarkan hukuman yang dilakukan Allah terhadap bangsa itu. “Angin panas dari bukit-bukit gundul di padang gurun bertiup ke arah puteri umat-Ku; bukan untuk menampi dan bukan untuk membersihkan, melainkan angin yang keras datang atas perintah-Ku” (ay. 11). “Aku melihat bumi, ternyata campur baur dan kosong, dan melihat kepada langit, tidak ada terangnya…, kepada gunung-gunung, ternyata goncang; dan seluruh bukitpun goyah. Aku melihat, ternyata tidak ada manusia, dan semua burung di udara sudah lari terbang. Aku melihat, ternyata tanah subur sudah menjadi padang gurun, dan segala kotanya sudah runtuh di hadapan TUHAN, di hadapan murka-Nya yang menyala-nyala!” (ay. 23-26).

 

Hukuman berat ini masih dilanjutkan. "Seluruh negeri ini akan menjadi sunyi sepi, tetapi Aku tidak akan membuatnya habis lenyap. Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu" (ay. 27-28).

 

Tidak terbayangkan. Dan ini menjadi salah satu gambaran pemusnahan di akhir zaman; bukan saja untuk dunia, tetapi dapat juga untuk bangsa dan pribadi!

 

Dua hari lalu dalam renungan di Radio Heartline, saya menyampaikan bahwa sebagai orang percaya, kita tidak boleh hanya bersyukur atas anugerah keselamatan yang telah diberikan, sola gratia. Bayangan masuk sorga muncul dengan percaya kepada Tuhan Yesus; dosa-dosa kita telah ditebus dengan Yesus mati tersalib. Tetapi, janganlah lupa, doktrin Kekristenan dan isi Alkitab menegaskan, ada ujian tiap hari yang mesti kita lalui, yang disebut sebagai ketekunan orang percaya. Percaya hanyalah sebuah awal proses, namun ujian ketaatan dan ketekunan akan berlangsung terus sepanjang hidup.

 

Ketekunan orang percaya inilah mesti kita jalani dan lewati, agar keselamatan berdasar anugerah dapat kita terima; kita jaga, pertahankan dan lulus. Dalam hal ini, ada beberapa ukuran yang perlu kita lihat dan pakai secara mudah dalam kehidupan sehari-hari:

 

1.     -  Apakah kita hidup bukan lagi untuk diri kita, tetapi untuk Tuhan? Ini bukan berarti kita harus menjadi hamba Tuhan dan aktif di gereja, tetapi tujuan hidup kita sudah fokus menjadi alat kemuliaan Tuhan. Kita bisa saja menjadi pekerja, pengusaha, petani, dan lainnya, tapi menyadari hidup kita dipakai oleh-Nya.

2.      -  Apakah kita hidup selalu mengandalkan Tuhan dan dalam kebenaran Alkitab?

3.      -  Apakah kita hidup selalu penuh kasih, kerendahan hati, selalu mengalah?

4.     -   Apakah dalam hidup kita, tidak lagi ada kebencian, permusuhan, bahkan ingin menyakiti orang lain?

5.      -  Apakah kita sudah suka berbagi dan memiliki hal terbaik yang bisa kita berikan?

6.      -  Apakah kita merasa tidak diberkati, bahkan “dihukum” Tuhan, seperti ayat 12b di atas?

 

Bagaimana dengan kita tentang semua itu? Lakukanlah evaluasi diri. Janganlah jadinya kita pintar berbuat jahat, dan tidak tahu berbuat baik. Janganlah hati kita menjadi tumpul, tidak peduli dan peka. Bila kita percaya diselamatkan, isilah hidup dengan penuh tanggung jawab. Semoga tidak seorang pun berkata: au ah gelap, EGP....

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu XIV Setelah Pentakosta - 14 September 2025

Khotbah Minggu 14 September 2025

 

Minggu XIV Setelah Pentakosta (Opsi 3)

 

ANUGERAH DAN KESAKSIAN (1Tim. 1:12-17)

 

"Meski tak layak diriku, tetapi kar'na darahMu, dan kar'na kau memanggilku, 'ku datang, Yesus, padaMu; Sebagaimana adanya jiwaku sungguh bercela, darahMu-lah pembasuhnya; 'ku datang, Tuhan, padaMu" (KJ. 27:1-2).

 

 

            Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XV setelah Pentakosta ini diambil dari 1Tim. 1:12-17. Nas ini tentang pengakuan Rasul Paulus atas kebaikan Tuhan dalam hidupnya. Ia menyadari sebenarnya tidak layak memperoleh anugerah yang sedemikian besar, sebab masa lalunya kelam, penuh dengan dosa dan kebencian. Ia menghujat Allah, dan menganiaya jemaat dengan ganas (ayat 13; Kis. 8:1-3; 9:1-2). Tetapi ternyata ia merasakan Allah telah mengasihaninya, dan menguatkannya, menganggapnya setia, dan memberinya kepercayaan untuk masuk dalam pelayanan (ayat 12).

 

 

 

            Ia bersyukur atas semua itu. Kasih karunia Tuhan sungguh berlimpah. Anugerah melahirkan rasa syukur. Gratia membuahkan Gratude. Paulus semakin meyakini bahwa “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa." Dan, semua dilakukan Yesus dengan kesabaran-Nya, dengan tujuan agar orang yang merasa paling berdosa sekali pun, tidak akan berputus asa meminta belas kasihan Allah. Mereka yang percaya dan taat pasti menerima hidup kekal dan bukan hukuman kekal.

 

 

 

            Hidup jangan sekedar dijalani tetapi juga harus diisi. Hidup bukan hanya menikmati anugerah keselamatan Allah melalui penebusan Tuhan Yesus, tetapi juga meresponnya dengan membagi hidup kita dalam pelayanan. Kita mesti ikut bertanggungjawab. Janganlah anugerah keselamatan diterima dengan sukacita, tetapi hubungan dan tanggungjawab terhadap Allah dihindari. Kebaikan Tuhan yang tidak layak bagi kita, mesti menjadi dasar penguatan iman dan berbuah dalam pelayanan kasih di dalam Yesus Kristus (ayat 14).

 

 

 

            Kesadaran keberdosaan membawa kita kepada kerendahan hati. Rasul Paulus mengakuinya, dan menyebut dirinya "yang paling berdosa." Adanya pertobatan membuka kesadaran bahwa Allah itu baik. Jangan hati kita menjadi tumpul, tidak peka, dan merasa biasa-biasa saja.  Perjalanan hidup yang diwarnai hidup baru akan menghasilkan rasa syukur dan ingin terus melekat dengan Allah (2Kor. 4:1). Mungkin kadang-kadang kita dibiarkan jatuh bahkan sangat dalam, tetapi di baliknya pasti ada rencana Allah, termasuk pengampunan dan pembentukan sebagai manusia baru.

 

 

 

            Pesan terakhir nas ini, agar kita menempatkan Allah sebagai Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang esa! Selalu ada rasa rindu untuk dipakai-Nya, dan percaya Allah menempatkan dan memampukan setiap orang untuk melakukan pelayanan (Kis. 26:16-17). Melalui pelayanan, kita menjadi berkat bagi sesama. Pelayanan membuat kita semakin bersyukur tentang kebaikan dan kebesaran Allah. Sudahkah yang terbaik kita berikan? Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi-Nya.

 

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025

Khotbah Minggu 7 September 2025 - Minggu XIII Setelah Pentakosta

 

 MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUT DIA (Luk 14:25-33)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Fil 1-21; Yer. 18:1-11 atau Ul. 30:15-20;

 

Mzm. 139:1-6, 13-18 atau Mzm. 1

 

 

Pendahuluan

 

Sering sekali gambaran yang diperoleh bahwa mengikut Yesus akan mendapatkan jalan yang mudah dan mulus serta penuh dengan kemuliaan dan kekuasaan. Akan tetapi Tuhan Yesus dalam nats minggu ini memberikan pengajaran yang berbeda total. Kadang kala jalan mengikut Dia itu tidak penuh dengan damai dan bahkan perlu dengan kebencian. Demikian pula gambaran “kehormatan dan kemuliaan” yang harus dibayar terlebih dahulu dengan memikul kuk dan kesediaan berkorban untuk menderita demi kemuliaan Bapa di sorga. Dari bacaan minggu ini kita memperoleh pengajaran beberapa hal sebagai berikut.

 

  

Pertama: membenci keluarga dan diri sendiri (ayat 25-26a)

 

Benci atau kebencian merupakan kata yang sangat negative dan buruk bagi jiwa kita. Perasaan benci atau kebencian timbul karena ketidaksukaan terhadap sesuatu (seperti makanan/minuman, seni atau lukisan tertentu, atau barang/benda lain) atau seseorang yang timbul karena perbedaan pandangan dan sikap terhadap hal-hal tertentu. Tingkat kebencian juga memiliki gradasi, dari benci dalam pengertian tidak suka saja sampai kepada kebencian yang menghasilkan dampak fisik dan psikis, seperti amarah, tangisan, mual dan dampak negative lainnya. Menyimpan atau memendam kebencian dalam waktu lama bahkan akan menimbulkan dampak pada kesehatan dan secara langsung akan mengurangi sukacita dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Firman Tuhan minggu ini seolah-olah Tuhan Yesus memerintahkan kita membenci ibu-bapa, istri dan keluarga. Tentu menjadi pertanyaan mengapa Tuhan Yesus berkata demikian dalam pengajaran-Nya. Hal pertama adalah, Yesus ingin menekankan bahwa membangun hubungan dan kesetiaan kepada Kristus haruslah di atas segalanya. Kasih dan pengabdian kepada Kristus harus mengalahkan kasih dan pengabdian kepada semua termasuk keluarga. Kasih kepada Tuhan Yesus itu harus dilakukan dengan sepenuh hati dan bukan setengah hati atau kompromi terhadap nilai-nilai dasar kristiani. Yesus adalah nomor satu dan tidak boleh menjadi nomor dua.

 

Hal kedua yakni Tuhan Yesus menggunakan kata yang keras dan tegas dalam hal prasyarat mengikut Dia. Penggunaan kata membenci muncul ketika nilai-nilai yang kita anut dan sesuai dengan ajaran Kristus sudah berbeda jauh dengan nilai-nilai yang dipegang oleh keluarga kita. Ketika nilai-nilai yang menyimpang itu dipegang oleh ibu-bapa kita, istri atau keluarga lainnya, maka kita harus membencinya. Demikian juga ketika memegang teguh nilai-nilai itu kita pegang, maka mungkin ada yang tidak menyukai bahkan membenci kita. Namun perlu dijelaskan di sini bahwa kita tidak membenci pribadi mereka, melainkan membenci nilai-nilai yang mereka anut dan tampak dalam perbuatan dan sikap sehari-hari.

 

 

Kedua: memikul salib untuk mengikut Dia (ayat 26b-27)

 

Pesan Tuhan Yesus sangat jelas pada bagian kedua ini bahwa mencintai Yesus itu harus melebihi mencintai nyawanya sendiri. Semua orang percaya umumnya menghafal ayat penting dalam Yoh. 3:16, yakni bahwa begitu besar kasih Allah kepada manusia sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. Tetapi baiklah juga kita mengingat firman Tuhan dalam 1Yoh. 3:16 (perhatikan hanya menambah angka 1 di depan) yang mengatakan, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” Ayat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa perlu kesiapan menyerahkan nyawa untuk berkorban bagi saudara-saudara kita. Ini tentu harus juga ditafsirkan dalam pengertian positip yakni kalau situasi dan kondisi tertentu meminta demikian, yakni dalam hal pembelaan iman, menyelamatkan hidup seseorang, dan sejenisnya.

 

 

 

Ini juga yang dimaksudkan dengan memikul salib untuk mengikut Dia. Memikul salib adalah lambang kesiapan dalam penderitaan sebagaimana saat Tuhan Yesus dalam keadaan yang sudah demikian terluka disiksa tetap memikul salib menuju Golgota. Salib awalnya adalah lambang kutuk dan penistaan. Memikul salib berarti bersedia hidup di dalam “pengorbanan”, meski tidak harus dalam bentuk asketisme atau pengucilan diri. Memikul salib adalah kesediaan dan kesiapan dalam melepaskan kepentingan diri sendiri dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Memikul salib berarti meningkatkan kepekaan akan adanya penderitaan orang lain dan untuk itu kita siap untuk berbagi baik secara emosi, kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani.

 

 

Ini juga yang dimaksudkan agar ketika mengikut Tuhan Yesus, sudah harus mengetahui harga yang harus dibayar untuk mempertahankan dan meningkatkan iman dan kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak dapat berbangga dan berbesar hati menjadi pengikut Tuhan Yesus, tetapi tidak mau menjadi murid yang sejati. Kita tidak dapat mengambil hak namun melupakan kewajiban. Atau hanya mengambil “yang manisnya” tetapi tidak mau menerima “yang pahitnya”. Seorang pengikut dan murid harus membayar semua harga itu, baik dalam pandangan dan nilai-nilai etika dan moral yang dianut, pergaulan dan sikap pribadi, sampai kepada perbuatan dan kasih yang harus diperlihatkan dalam hubungan dengan pihak lain. Atau sebagaimana digambarkan dalam bagian pertama di atas, sikap kita yang berbeda menjadi alasan dibenci oleh keluarga atau kelompok, namun itu adalah harga yang harus kita bayar, dan kita harus siap dengan harga itu.

 

 

 

Ketiga: pentingnya perencanaan dalam kehidupan (ayat 28-32)

 

Dalam bagian ini Tuhan Yesus menggambarkan untuk mengikut Yesus dan memikul salib mengambil contoh dengan membangun menara. Pengertian menara dalam hal ini sebenarnya adalah menara tempat penjaga kebun anggur yang dipakai untuk mengawasi kebun sehingga tidak ada pencuri atau perusak kebun yang datang. Membangun menara jelas membutuhkan bahan, peralatan, ketrampilan dan khususnya biaya. Maka jangan sampai ketika menara yang cukup tinggi untuk dipakai tempat mengawasi, saat membangun tidak selesai atau terkatung-katung, karena tidak adanya bahan, peralatan dan biaya. Bukankah itu menjadi mubazir dan bahkan memalukan?

 

 

 

Demikian pula kiasan Tuhan Yesus ketika hendak pergi berperang. Seorang raja atau perwira harus memperhitungkan dengan cermat kekuatan lawan dan juga kelebihan atau keunggulan pasukannya. Meski jumlah yang disebut dalam ayat ini kekuatan lawan lebih besar, namun harus dicari peluang untuk memenangkan peperangan. Tanpa memperhatikan hal tersebut maka dengan mudah kita akan menjadi pasukan yang kalah. Hasilnya akan membuat banyak korban dan kerusakan yang parah bagi diri sendiri. Ini karena kurangnya perhitungan dan perencanaan dan jelas sangat merugikan dan memalukan.

 

 

 

Perencanaan dalam mengikut Tuhan Yesus juga demikian halnya. Ada iman, pengharapan dan kasih yang akan dibangun. Kekuatan pikiran dan diri sendiri tidak akan mampu melawan tantangan dan godaan iblis dan dunia ini. Demikian juga kelihaian iblis dalam memanipulasi kelemahan daging membuat kita mudah jatuh. Maka kita harus melepaskan diri dari ambisi-ambisi pribadi yang lepas dari kehendak Allah. Memang betul, semua harus diupayakan mendapatkan yang terbaik dalam hidup kita, tetapi biarlah itu semua dengan tahapan dan jalan yang berkenan kepada Tuhan. Dengan demikian kita terhindar dari sikap munafik yakni mau mengambil manisnya tetapi tidak siap dengan yang pahitnya. Hukuman dari Tuhan akan lebih besar bagi mereka yang bersikap seperti ini.

 

 

 

Keempat: melepaskan diri dari harta milik (ayat 33)

 

Kepemilikan memang membuat seseorang menjadi egoistis. Banyak pihak merasa bahwa apabila ia memiliki “sesuatu” maka itu adalah hasil kerja atau karyanya. Apalagi yang dimiliki itu menjadi sesuatu yang banyak, melimpah dan bernilai, maka sikap egoistis akan semakin menonjol, seolah-olah semua hasil capaiannya itu adalah hasil kerja kerasnya. Sikap ini bahkan sering terjadi dalam kelompok, dengan menganggap pemimpin atau seseorang dalam posisi tertentu yang membuat keberhasilan itu terjadi. Inilah efek samping dari rasa kepemilikan.

 

 

 

Namun Tuhan Yesus mengatakan bahwa seseorang yang mengikut Dia harus melepaskan semua itu. Melepaskan bukan dalam arti kata harus menjual/melepas apa yang kita miliki dan memberikannya kepada orang yang membutuhkan. Konteks ini berlaku kepada pemuda kaya yang hatinya terus pada hartanya. Akan tetapi Tuhan Yesus maksudkan adalah bahwa memiliki sesuatu yang sangat kita kasihi atau berharga menurut ukuran duniawi, semua itu semata-mata adalah titipan pemberian Allah. Kita hanya pemegang amanah. Tanggung jawab itu akan diminta kelak bagaimana kita melihat dan memperlakukan amanah (harta) milik itu, apakah itu untuk kepentingan diri semata, atau memang untuk kemulian nama Allah.

 

 

 

Keselamatan memang gratis karena telah dibayar lunas oleh darah Yesus. Tetapi bukan berarti keselamatan itu murah dan gampang. Ini jelas berbeda. Menerima keselamatan kekal sejak di dunia ini memerlukan kesungguhan hati dan kesiapan melepaskan sesuatu. Mengikut Tuhan Yesus harus melihat jauh yakni kepada kekekalan, bukan hanya kepentingan saat ini saja yang dapat menipu. Kalau kita melihat ayat lanjutan dari nats minggu ini (ayat 34-35), maka Tuhan Yesus mengumpakan seperti garam yang tidak punya rasa asin, maka akan hambar dan pasti akan dibuang. Demikian jugalah kiranya gambaran hidup orang yang mengutamakan kepemilikan dalam hidupnya, merasa hebat dan berguna padahal sebenarnya siap untuk dibuang.

 

 

 

Kesimpulan

 

Mengikut Tuhan Yesus berarti siap untuk membenci dan juga dibenci (dalam pengertian tujuan positip) oleh keluarga, yakni ketika pandangan dan pegangan nilai-nilai Kristiani harus dipertahankan. Untuk mengikut Dia memang tidak mudah dan murah. Ada harga yang harus dibayar yakni dengan kesediaan untuk berkorban. Semua itu memerlukan perencanaan dan pengetahuan tentang jalan mengikut Tuhan Yesus. Sebab kalau tidak, maka perjalanan iman akan menjadi sia-sia. Tuhan Yesus juga menekankan pentingnya melepaskan diri dari sikap kepemilikan (harta), sebab segala sesuatu itu diberikan oleh Tuhan, sebagaimana garam yang harus asin, semua itu adalah untuk menjadi berkat bagi orang lain.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 7 September 2025

Kabar dari Bukit

 

 MENJAGA CITRA DIRI (Ams. 25:6-7)

 

 ”Jangan berlagak di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar” (Ams. 25:6a)

 

 

Tuhan Yesus mengajarkan, ketika diundang ke suatu acara, janganlah langsung duduk di tempat kehormatan. Ambillah tempat biasa, mungkin ada tamu yang lebih terhormat dan kita disuruh pindah. Malunya...! Lebih elegan, tuan rumah justru memanggil kita duduk di depan. Firman-Nya: “Sebab, siapa yang meninggikan diri, akan direndahkan dan siapa yang merendahkan diri, akan ditinggikan” (Luk. 14:7-11).

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Ams. 25:6-7; pesannya mirip dengan Luk. 14 di atas: selalulah rendah hati. Memang ada perbedaan penekanan kedua nas, Luk. 14 lebih berprinsip rohani, nas Amsal ini lebih kepada aspek/etika sosial.

 

 

 

Kunci memenangkan situasi ini adalah mengenal diri sendiri (self awareness). Joel Osteen dalam bukunya yang terkenal Your Best Life Now menanyakan: Apakah Citra Diri Anda? Dijelaskannya, "citra diri adalah suatu perasaan jauh di dalam diri Anda tentang diri sendiri, pendapat atau penghakiman Anda tentang nilai sendiri, meluas sampai di mana Anda menganggap Anda berarti dalam kehidupan."

 

 

 

Citra diri memiliki dua aspek seperti dua nas tadi, yakni mengenal diri sendiri dan mengenal identitas diri, keduanya sedikit berbeda. Mengenal diri sendiri berarti sadar dan tahu kekuatan dan talenta yang dimiliki; tentunya kelemahan dan keterbatasan juga, sebab setiap manusia pasti punya kelemahan.

 

 

 

Joel Osteen selanjutnya menekankan, "Anda tidak akan pernah naik ke atas citra yang Anda miliki tentang diri Anda sendiri dalam pikiran Anda sendiri." Untuk itu disarankannya, pertama, jalanilah citra diri yang positif yakni percaya kita diciptakan sesuai dengan gambar Tuhan, yang memberi kehidupan hakiki. Kedua, kembangkan citra diri yang sehat. Ini berarti, Anda harus mendasarkan citra diri pada apa yang Tuhan katakan tentang Anda, daripada standar-standar palsu yang dibuat manusia.

 

 

 

Mengenal diri sendiri berarti  mempunyai peluang untuk memaksimalkannya, agar hidup menjadi lebih baik, lebih merasa aman dan sejahtera. Langkah yang kita lakukan tentunya bisa bervariasi, seperti terimalah diri apa adanya, kenali kekuatan dan kelemahan - tetapi jangan fokus pada kelemahan melainkan kekuatan. Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Bangun hubungan yang sehat dan tulus. Latih kemampuan dengan sistematis dan mulailah dengan langkah kecil. Terakhir, bergaullah dengan orang-orang yang dapat membangun.

 

 

 

Mengenal identitas diri maknanya lebih dalam, berkaitan dengan kesadaran keberadaan kita di hadapan Tuhan. Status sosial kita mungkin tinggi dengan kekayaan dan jabatan, latar belakang keluarga, tetapi semua tidak berarti di hadapan Tuhan. Identitas diri yang sejati berasal dari-Nya, bukan dari prestasi atau pengakuan manusia (1 Ptr. 2:9). Utamanya, kita adalah ciptaan-Nya (Kej. 1:27), menjadi anak-anak-Nya (Yoh. 1:12), diutus Tuhan untuk misi di dunia (Kej. 12:2-3; Mat. 5:13-14; 28:19-20) yang memiliki tujuan hidup, panggilan dan pertanggungjawaban kelak di hadapan Tuhan (Gal. 6:5).

 

 

 

Citra diri berupa kemampuan dan status, bukanlah untuk dipertontonkan apalagi dengan kesombongan, seperti pesan nas ini. Sia-sia berpamer apalagi membandingkan diri dengan orang lain. Sebaliknya, tetaplah rendah hati, pegang jati diri, dan tidak merasa rendah diri atau minder. Kerendahan hati berarti menempatkan orang lain lebih utama, tanpa mengabaikan diri sendiri (Flp. 2:3). Mengenal diri sendiri akan menolong kita rendah hati dan menggunakan berkat-Nya untuk kebaikan; mengenal identitas diri memberi kita dasar yang kokoh untuk tidak mencari-cari kehormatan palsu. Itulah citra diri sejati.

 

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

  

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (2) Minggu XIII Setelah Pentakosta - 7 September 2025

Khotbah Minggu 7 September 2025

 

Minggu XIII Setelah Pentakosta (Opsi 2)

 

BEJANA YANG SEMPURNA (Yer. 18:1-11)

 

 

“Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya” (Yer. 18:4)

 

 

 

Salam dalam kasih Kristus.

 

Kita pasti pernah mendengar dan suka dengan lagu ini.

 

 

Bagaikan bejana siap dibentuk, demikian hidupku di tangan-Mu

 

Dengan urapan kuasa Roh-Mu, Ku dibaharui selalu....

 

 

 

Lagu indah ini di Youtube sudah mencapai 1,4 juta penonton. Liriknya, ungkapan berserah kepada Tuhan, dan kerinduan untuk dibentuk dan disempurnakan, agar sama seperti Tuhan Yesus. Sebuah kutipan dari 1Yoh. 2:5-6, senada lagu NKB 138: “Makin serupa Yesus, Tuhanku, inilah sungguh, kerinduanku….”

 

 

Allah sebagai Bapa dan sebagai Gembala telah kita tahu. Gambaran lain sebagai Tukang Periuk, dituliskan dalam Yer. 18:1-11 yang menjadi bacaan kita di hari Minggu berbahagia ini. Penegasan Allah sebagai Tukang Periuk juga diberikan dalam Rm. 9:20: “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: “Mengapakah engkau membentuk aku demikian?” (bdk. Yes. 29:16).

 

 

Dalam renungan dua minggu lalu dari Yer. 1:4-10, dijelaskan bahwa jalan hidup manusia ditentukan oleh empat kekuatan yang tarik-menarik. Pertama, rencana Tuhan dengan kedaulatan sekaligus pemeliharaan-Nya. Kedua, adanya dosa asal dan natur berdosa manusia. Ketiga, kemauan dan kemampuan diri sendiri, yakni roh kehendak bebas, dalam ketaatan dan memahami keberadaan dan panggilannya di dunia ini. Dan terakhir, keberadaan iblis si jahat.

 

 

Allah sebagai Tukang Periuk menegaskan kembali kedaulatan Allah melalui nas ini. Kita tidak dapat menolak menjadi anak dari ayah-ibu kita, atau terlahir tidak jenius, kaya atau tidak terlalu rupawan, bahkan dengan tubuh yang tidak sempurna. Jangan juga menyesali terlahir bukan sebagai anaknya Presiden RI. Alkitab mengingatkan, “Celakalah orang yang berbantah dengan Pembentuknya; dia tidak lain dari beling periuk saja! Adakah tanah liat berkata kepada pembentuknya: "Apakah yang kaubuat?" atau yang telah dibuatnya: "Engkau tidak punya tangan!" (Yes. 45:9).

 

 

Jalan kehidupan kita pun, bisa saja tidak sesuai dengan harapan. Atau merasa tidak tahu jalan mana yang terbaik ditempuh. Bahkan, mungkin kita sedang terjatuh, hancur menjadi puing, kotor tidak berdaya dan melihat jalan saat ini buntu dan gelap. Untuk itu tetaplah dalam kerendahan hati dan bersyukur atas kehidupan yang diberi. Datanglah kepada Tuhan Yesus, Allah kita, Tukang Periuk yang hidup dan baik, memohon pertolongan-Nya agar mengasihi, memberi petunjuk dan membentuk diri kita kembali, menjadi pribadi yang lebih baik, utuh, dan lebih dapat dipakai sesuai dengan pengharapan baru.

 

 

Jangan merasa terlambat melakukan sesuatu yang baru, terlebih untuk kemuliaan Tuhan. Tidak ada salahnya hidup berputar, bahkan berbalik ke awal. Banyak contoh kehidupan yang berpindah jalur, atau memulai pilihan baru yang tidak terpikirkan sebelumnya; dan ternyata sangat sukses. Kita hanya perlu mengikuti petunjuk Alkitab, yakni bertekun dan rajin (Ams. 6:6-8; 12:24), bekerja keras (Ef. 4:28; 2Tes. 3:7-8), cerdik, cerdas dan berhikmat (Mat. 10:16; Ams. 1:7).

 

 

Tetapi landasan utamanya adalah tetap setia dalam iman (Mat. 24:13), menjalani hidup dengan kekuatan Roh dan bukan lagi oleh keinginan daging (Gal. 5:16-17; Rm. 8:1-11). Selalu siap berkorban dan memikul salib.

 

 

 Dengarkanlah panggilan-Nya, dan dendangkanlah lanjutan lagu di bawah:

 

 

“Inilah hidupku di tangan-Mu, bentuklah s'turut kehendak-Mu, Pakailah sesuai rencana-Mu….”

 

 

Maka, kita akan menjadi bejana yang sempurna kelak di hadapan Yesus Kristus (1Kor. 1:8-9).

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 51 guests and no members online

Statistik Pengunjung

12767951
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
688
3989
24268
0
86117
143416
12767951

IP Anda: 216.73.216.133
2025-09-17 02:41

Login Form