Tuesday, November 04, 2025

2025

Khotbah (2) Minggu XXI Setelah Pentakosta - 2 November 2025

Khotbah Minggu 2 November 2025

Minggu XXI Setelah Pentakosta – Opsi 2

 BERSANDAR DAN BERSYUKUR (2Tes. 1:1-4, 11-12)

            Minggu-minggu setelah Pentakoskan akan berakhir dan kita akan memasuki masa adven, masa sukacita penantian bagi orang percaya. Penantian yang penuh pengharapan berdasar kasih Allah yang begitu besar pada kita dan iman yang diberikan, yakni kita percaya Tuhan Yesus menjadi manusia dan mati di kayu salib untuk menjadi Juruselamat dan Penebus dosa-dosa kita semua. Oleh karena itu Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XXII setelah Pentakosta ini diambil dari 2Tes. 1:1-4, 11-12. Nas ini berbicara tentang bersyukur dan bersyukur (ayat 1-4).

 

            Meski ada sesuatu yang membuat hati kita sedih, kita patut dan wajib bersyukur bila melihat semua kebaikan Tuhan pada kita, sejak lahir hingga saat ini. "Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya," kata Daud dalam mazmurnya (Mzm. 139:14). Bila bersyukur itu sulit karena ada persoalan dan pengharapan yang belum terkabul, maka kita perlu membersihkan hati dan pikiran, sehingga dapat melihat dengan mata rohani yang benar. Seperti pemazmur mengatakan, "Aku mau memberitakan dan mengatakannya, tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung" (Mzm. 40:6; KJ. 439).

 

            Penganiayaan dan penderitaan pada manusia (atau gereja) selalu ada, dan Tuhan punya maksud, sebagaimana yang dialami jemaat Tesalonika dalam nas ini. Maksud Tuhan mulai dari mengajar kita untuk lebih baik, menguji untuk lulus ke tingkatan yang tinggi, atau Tuhan pakai sebagai proses pengudusan. Betul, kadang-kadang penderitaan itu datang karena ulah kebodohan kita dan miskinnya hikmat, sehingga Tuhan "membiarkan" sebagai pengajaran. Tetapi pegangan dasar kita tetap, yakni: Allah itu Mahatahu, Kasih dan Mahaadil. Seperti pada kabar sebelumnya, semua ada yang mengaturnya, semua dalam kendali-Nya. Tugas kita hanya bersandar penuh kepada-Nya.

 

            Rasul Paulus menekankan agar kita melihat seperti itu atas penderitaan yang datang. Tuhan tidak akan membiarkan anak-anak-Nya jatuh tergeletak tidak berdaya (Mzm. 37:24), kecuali memang kita yang mudah menyerah dan mengikuti kelemahan daging dan kekuatan Iblis. Bila kita merasa sesuatu terjadi karena ulah orang lain, tidak perlu kita merepotkannya dan menjadi bersusah. Firman-Nya menegaskan, Tuhan akan membalas yang menentang anak-anak-Nya (ayat 6-9). Tuhan akan datang kelak untuk dikagumi oleh semua kita orang yang percaya (ayat 10). "Pembalasan adalah hak-Ku," kata Tuhan (Rm. 12:19; Ibr. 10:30). Maka, diamlah, dan bersyukurlah.

 

            Hal yang penting menurut nas firman-Nya ini, meski kita dalam penderitaan, agar tetap layak bagi panggilan-Nya, kita diminta tetap melakukan kebaikan. Kekuatan-Nya menyempurnakan segala pekerjaan iman kita (ayat 11). Allah setia dan sanggup membekali dan menguatkan kita, hingga berbuah kemenangan di akhirnya. Dan dari semua itu, "nama Yesus, Tuhan kita, dimuliakan di dalam kamu dan kamu di dalam Dia, menurut kasih karunia Allah kita dan Tuhan Yesus Kristus" (ayat 12). Bersyukurlah. Haleluya.

Selamat  beribadah dan selamat melayani.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (3) Minggu XXI Setelah Pentakosta - 2 November 2025

Khotbah Minggu 2 November 2025

 Minggu XXI Setelah Pentakosta – Opsi 3

 

 IMAN DAN DUA CARA BERSERAH (Hab. 1:1-4; 2:1-4)

 

 “Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (Hab. 2:4)

 

 

 

 

Salam dalam kasih Kristus.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu berbahagia ini dari Hab. 1:1-4; 2:1-4. Nas ini dari dua pasal: pertama, berbicara tentang keluhan nabi karena ketidaksetiaan umat; dan pasal kedua tentang orang yang benar akan hidup oleh karena percayanya. Perikop terakhir ini sama dengan kitab PB yang menuliskan, “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm. 1:17; Gal. 3:11; Ibr. 10:38).

 

 

 

Saya tertarik pada sebuah postingan di grup WA yang menuliskan, "aku menyerahkan pergumulanku kepada Tuhan." Saya tidak tahu persis masalah dan pergumulannya, tetapi saya perlu sampaikan bahwa pernyataan itu bisa benar dan bisa salah. Kenapa? Karena iman yang salah akan menghasilkan sikap dan perbuatan yang salah.

 

 

 

Ketika dihadapkan pada masalah atau pergumulan, ada dua cara untuk kita berserah kepada Tuhan; keduanya tetap dalam bingkai iman, yakni kita percaya Tuhan ada dan mampu menolong kita. Cara pertama berserah, melalui pikiran atau kecerdasan intelektual. Melalui pikiran kita dapat bertanya: mengapa hal itu terjadi? Apa yang dapat kita lakukan untuk menyelesaikannya? Contoh sederhana. Jika sakit batuk, minumlah obat batuk, tentu diiringi doa. Tidak elok kita meminta Tuhan menyembuhkan sakit batuk, tanpa berbuat apa-apa, langsung membereskan sakit batuk, padahal kita mampu melakukan sesuatu. Jangan juga cepat berkeluh seperti nas minggu ini: “Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, .... Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan?” (ay. 2-3).

 

 

 

Kendala berserah kepada Allah melalui pikiran dan kecerdasan adalah ego dan kejujuran. Misalnya, kita berprasangka ada orang lain yang jahat, kita musuhi, padahal penyebab persoalannya bisa saja dari diri kita. Seringkali kita tidak jujur dan tidak mau merendahkan diri yang membuat masalah tidak terselesaikan. Padahal, Tuhan mengaruniakan hati, pikiran dan kecerdasan kepada kita; oleh karenanya selalu ada pilihan.

 

 

 

Ada kisah orang Farisi yang menganggap diri mereka benar dan menilai negatif orang lain (Luk. 18:9-14). Tapi firman-Nya akhirnya berkata: “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan" (ay. 14). Jadi jujurlah dan selesaikanlah, Tuhan akan menolong. Jadilah seperti pemungut cukai yang rendah hati dalam cerita nas itu.

 

 

 

Selain pikiran, Allah juga menganugerahkan kepada kita perasaan, hati, emosi. Maka cara kedua berserah kepada Allah adalah melalui perasaan, melalui hati. Cara kedua ini lebih dipakai bila cara pertama sudah mentok, buntu. Seorang yang sakit parah dan sudah berobat ke berbagai dokter, berdoa, kemudian dokternya angkat tangan, maka berserahlah kepada Allah melalui totalitas hati dan perasaan. Bila melalui kecerdasan manusia telah buntu, kita tetap memohon mukjizatnya. Jika sudah mentok karena ketidaktahuan dan keterbatasan, kita kembali seperti anak kecil, berserah, menggantungkan kepada ayah-ibunya dengan sepenuh hati.

 

 

 

Kedua cara berserah ini berkenan kepada Allah. Hati memang tidak perlu dibenturkan dengan pikiran dan kecerdasan. Derek Prince berkata dalam bukunya Faith to live by, iman itu dasarnya di hati, selalu dinamis, berubah dan bertumbuh. Pengharapan, dasarnya di pikiran. Jika ingin keluar dari masalah, melalui iman dan hati kita tidak akan pernah kecewa karena Tuhan pasti memberi yang terbaik. Tetapi jika pengharapan yang dasarnya pikiran semata, seringnya berbuntut rasa kecewa. Itulah pilihannya.

 

 

 

Alkitab berkata, "Jadilah kepadamu menurut imanmu" (Mat. 9:29). Maka sangatlah baik berserah kepada Tuhan untuk memperlihatkan iman kita teguh. Tetapi jangan itu hanya sebagai kedok untuk membusungkan dada, bersembunyi dari kebenaran dan tidak lurus hatinya (band. ay. 4). Orang benar yang hidup oleh percayanya perlu didasari kebenaran, siap merendahkan diri, dan berusaha yang terbaik untuk mengasihi sesama dan Tuhannya. "Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih" (1Kor. 13:13).

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 Tuhan Yesus memberkati, amin.

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

Khotbah Minggu XX Setelah Pentakosta - 26 Oktober 2025

Khotbah Minggu 26 Oktober 2025 - Minggu XX Setelah Pentakosta

 

 BARANGSIAPA MENINGGIKAN DIRI, IA AKAN DIRENDAHKAN (Luk. 18:9-14)

 

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: 2Tim. 4:6-8, 16-18; Yo. 2:23-32 atau Yer. 14:7-10, 19-22; Mzm. 65 atau Mzm. 84:1-7;

 

 

Pendahuluan

 

Minggu ini kita diberikan pengajaran tentang bagaimana sikap kita ketika datang menghadap Allah untuk berdoa. Hakekat berdoa tentulah pengakuan campur tangan dan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari, dan sikap itu mencerminkan permohonan belas kasihan akan pembenaran Allah tentang apa yang kita lakukan dan kita minta. Melalui perbandingan dua orang yakni seorang Farisi sebagai tokoh agama orang Yahudi yang berdoa dengan cara yang menurutnya benar, dengan sikap berdoa seorang pemungut cukai yang sudah dicap sebagai pendosa. Tuhan Yesus kemudian membandingkan sikap berdoa kedua orang ini. Melalui perbandingan dalam nats ini, kita diberikan pengajaran berdoa oleh Tuhan Yesus sebagaimana diutarakan berikut.

 

 

 

Pertama: perbuatan kebaikan dalam hidup (ayat 9-10)

 

Kalau sebelumnya Tuhan Yesus mengkontraskan seorang janda dengan hakim dalam perumpamaan-Nya, maka kali ini Ia juga mengkontraskan antara seorang Farisi dengan pemungut cukai. Ia memakai pribadi kontras ini untuk membandingkan bagaimana sikap berdoa di hadapan Allah. Pengertian berdoa yang dimaksudkan adalah dalam hal kita berkomunikasi dengan Allah, memanjatkan syukur dan pujian, memohon pengampunan atas dosa dan kesalahan, "melaporkan kegiatan kehidupan kita", memohon pertolongan atas pergumulan kita, dan menaikkan permohonan akan kebutuhan dan pengharapan kita di dunia ini dan di kehidupan nanti. Dengan demikian maka hakekat doa bagi kita orang percaya adalah wujud ekspresi sikap dan keyakinan akan ketergantungan kita kepada Allah.

 

 

 

Doa adalah sebuah tahapan awal ketika kita memulai sesuatu. Tidak semua persoalan dapat diselesaikan hanya dengan berdoa. Oleh karena itu ada slogan atau pameo: Ora et Labora, berdoa dan bekerja. Maka di dalam perbuatan atau bekerja inilah diperlihatkan kesejatian dari keyakinan kita akan rasa syukur dan pengharapan kepada Allah. Manusia diciptakan tidak hanya bisa meminta dan meminta. Manusia diperlengkapi untuk memberi dan memberi dan kita ingat pesan Tuhan yang indah bahwa adalah lebih berbahagia mereka yang memberi dari pada menerima (Kis. 20:35). Maka melalui sikap, pemberian dan perbuatan, maka semua itu akan membuktikan apa yang kita yakini dan ucapkan, tidak hanya OMDO (omong doang).

 

 

 

Allah memerintahkan kita untuk melakukan perbuatan baik, bukan saja dalam ketaatan kepada aturan-aturan akan tetapi juga dalam pemberian dan pengorbanan yang kita berikan kepada orang lain. Ketaatan pada aturan tentu saja meliputi dua aspek utama yakni tidak melanggar larangan dan melakukan perintah-Nya. Maka apabila semua itu dapat terjadi, kita akan bersyukur dan bersuka cita karena Allah memampukan kita melakukannya. Kita tidak dapat berbangga apalagi menyombongkan hal yang kita lakukan itu, sebab itu sudah menjadi kewajiban dasar dan tidak ada istimewanya. Apalagi, kemanusiaan kita membuat apa yang kita lakukan itu sebenarnya belum tentu maksimal atau terbaik. Hal inilah yang digambarkan dalam nats yang kita baca, bagaimana kita melihat apa yang sudah kita lakukan itu sesuai dengan sikap dan keyakinan kita akan pemeliharaan Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

 

 

Kedua: memuji diri (ayat 11-12)

 

Orang Farisi yang digambarkan dalam bacaan kita ini sedang berdoa kepada Tuhan. Ada beberapa aspek yang perlu kita lihat dalam hal ini, yakni sikap dalam berdoa dan apa yang disampaikan dalam doa tersebut. Hal yang pertama kita lihat adalah, orang Farisi ini sudah menempatkan dirinya “lebih” baik dan lebih tinggi dari pada orang lain. Ia dengan bangga tegak berdiri dengan pengharapan akan dilihat orang. Ini adalah pemujaan terhadap diri sendiri. Tuhan Yesus berkata janganlah berdoa di pinggir jalan tetapi apabila kamu berdoa masuklah ke dalam kamar (Mat. 6:6). Memang berdoa berdiri tidak dilarang dalam Alkitab (band. Mat. 6:5) akan tetapi sikap yang lebih baik adalah kita tunduk dan sudjud menempatkan diri secara rendah di hadapan Tuhan.

 

 

 

Hal kedua yakni apa yang disampaikan dalam doanya itu menganggap dirinya benar dan membanggakan diri kepada Allah. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai itu. Alangkah piciknya orang seperti itu apalagi membandingkan dengan orang yang ada di sebelahnya. Meski doanya diucapkan dalam hati, akan tetapi itu sudah merupakan sikap hatinya terhadap Allah dan orang-orang yang disekelilingnya. Siapakah kita ini yang bisa berbangga diri? Siapakah kita ini yang bisa menyombongkan diri? Bukankah seperti yang disampaikan di atas tadi, kita pasti belum maksimal memberikan bagi Tuhan, oleh karena itu mohonkanlah pengampunan bukan kesombongan.

 

 

 

Hal ketiga yakni ia membanggakan apa yang sudah dilakukannya yakni dengan berpuasa dua kali seminggu, memberikan sepersepuluh dari segala penghasilannya Padahal kita tahu bahwa kebiasaan orang Farisi berpuasa adalah dengan memperlihatkan diri sedang berpuasa untuk mendapatkan pujian, sehingga Tuhan Yesus berkata agar apabila berpuasa maka minyakilah rambutmu, sehingga orang lain tidak mengetahui kita sedang berpuasa (Mat. 6:17-18)). Demikian juga dengan menyombongkan pemberian persepuluhan, kita tahu orang Farisi memeras penduduk dengan mengambil persepuluhan dari semua yang orang miskin miliki termasuk adas dan jinten yang merupakan tanaman obat saja (Mat. 23:23). Itu sungguh perbuatan tercela dan tidak layak untuk dibanggakan pada Allah.

 

 

 

Ketiga: kerendahan hati (ayat 13)

 

Sebaliknya yang dilakukan oleh pemungut cukai yang juga berdoa di tempat itu. Pemungut cukai adalah lambang orang (paling) berdosa dalam Alkitab, karena mereka ini dianggap mengambil hak orang lain dengan cara paksa yang membuat banyak orang lain menderita. Memang ada beberapa jenis kaum pendosa, yakni mereka yang dengan bangga menyombongkan buah dosanya (seperti kekayaan hasil korupsi) bahkan perbuatan dosanya itu (mempunyai istri lebih dari satu). Demikian juga pendosa ada yang menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya sungguh tidak berkenan kepada Tuhan, tetapi mereka tidak atau belum mampu untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman dosa itu.

 

 

 

Untuk mereka yang pertama, apabila tidak ada pertobatan, maka akhir hidup mereka akan berada di penghakiman. Sementara mereka yang sadar berdosa dan masih berusaha berkutat dalam pergumulan untuk keluar dari jerat itu, Allah kita yang Mahabaik itu akan mendengar keluhan kita. Mereka yang secara jujur datang kepada Tuhan dengan rasa takut dan hormat, serta di dalam pengharapan belas kasihan dari Yesus, maka Tuhan kita itu akan mempertimbangkan dengan adil dan penuh hikmat. Hal itulah yang disadari dan dilakukan oleh pemungut cukai itu. Ia menyadari keberdosaannya dan menyadari ketidakmampuannya lepas dari jerat dosa itu. Ia datang memohon kepada Yesus dengan rasa takut dan hormat serta penuh pengharapan.

 

 

 

Pemungut cukai itu memukul-mukul dadanya sebagai ekpresi penyesalan yang dalam (band. Yes. 66:2; Yer. 31:19). Sikap seperti itu hanya dapat terjadi apabila kita dalam kerendahan hati. Ia tidak menyukai apa yang dilakukannya. Ia menangis dan meratapi perbuatannya yang hina dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Meski ia datang membawa persembahan (dari kata mendamaikan" Yun: hidasthēti yakni mempersembahkan kurban, band. Ibr. 2:17), namun ia tidak berani menengadah ke atas ke arah langit dalam pengertian ia merasa malu dan menyesali apa yang sudah dilakukannya. Itu adalah sikap pertobatan sejati, menyesali apa yang sudah terjadi dan memohon pengampunan dan pertolongan Tuhan agar diberikan pengasihan. Sikap sadar bahwa yang kita lakukan adalah salah atau kurang sempurna, atau belum melakukan yang optimal sesuai dengan kehendak Yesus, maka selayaknya kita datang dengan merendahkan diri.

 

 

 

Keempat: meninggikan diri dan direndahkan (ayat 14)

 

Ketika kita datang kepada Tuhan, kita tidak boleh merasa diri kita benar. Sikap membenarkan dan membesarkan diri sendiri sangat berbahaya dalam ekspresi kita menghadap Allah, dan membuat bahwa apa yang kita lakukan menjadikan seolah-olah semua itu adalah usaha kita sendiri dan prestasi kita. Jangan seperti orang Farisi seolah-oleh menyiratkan sedikit pun ia tidak membutuhkan pengasihan. Sebaliknya kita diajarkan bahwa datang kepada Tuhan haruslah merasa belum memberikan yang terbaik kepada Tuhan dan tidak layak menghadap Allah. Itu bukan berarti bahwa Tuhan menuntut dan menuntut yang lebih besar dan lebih banyak, melainkan bahwa kita yang sadar bahwa yang kita berikan melalui hati, pikiran, perasaan dan perbuatan belumlah sebanding dengan berkat dan penebusan keselamatan yang diberikan kepada kita.

 

 

 

Kita tetap memerlukan belas kasihan dan karunia dari Allah. Kita harus meneladani apa yang dilakukan Tuhan Yesus yakni dengan turun dari takhta sorga dan menjadi hamba yang sengsara dan mati di kayu salib, serta merendahkan diri dan taat setia sampai mati (Flp. 2:7-8). Itu adalah benchmark atau patokan kita sehingga apa yang kita lakukan belumlah sebanding dengan apa yang Dia lakukan bagi kita. Merendahkan hati dan diri ketika datang ke hadirat-Nya merupakan ekspresi penyembahan yang sejati dan bukan pertobatan yang palsu atau penyembahan dan peninggian diri sendiri. Sikap kita haruslah seperti anak kecil yang tulus dan meminta dengan ekspresi ketergantungan total akan belas kasihan-Nya. Sikap bagaikan anak kecil ini membuat kita akan lebih mudah dibenarkan oleh Allah.

 

 

 

Ketika kita berdoa maka tujuan kita adalah dibenarkan oleh Allah sebelum Ia mengabulkan doa kita. Faktor pembenaran ini sangat penting sebab apa yang menjadi pergumulan dan pengharapan kita di dalam doa, itu terlebih dahulu dibenarkan oleh Allah yang kita butuhkan. Akan tetapi ketika kita sudah merasa benar dan apalagi hebat, maka dalam menghadapi seperti itu, sikap merendahkan orang lain dan meninggikan diri diri sendiri jelas merupakan tindakan yang tidak berkenan bagi Allah. Alkitab mengajarkan justru kita harus meninggikan orang lain dan merendahkan diri sendiri (band. 2Kor 11:7; Flp 2:3). Tuhan Yesus dengan tegas memberi pengajaran sebagaimana pada ayat terakhir, bahwa barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (band. Mat. 23:12; Yak. 4:10).

 

 

 

Kesimpulan

 

Adalah merupakan kewajiban kita untuk melaksanakan perintah Tuhan Yesus dalam hidup kita sehari-hari, baik itu dalam perintah larangan maupun perintah ketaatan dalam melakukan perbuatan baik dan berkenan kepada-Nya. Demikian juga kita wajib “melaporkan” segala sikap dan perbuatan kita kepada-Nya melalui doa. Akan tetapi doa bukanlah hal sepele yang hanya berupa laporan saja terlebih membanggakan apa yang sudah kita perbuat. Berdoa untuk datang kehadapan-Nya haruslah dengan sikap rasa penyesalan, yang didasarkan pada kerendahan hati dan pertobatan bahwa kita masih terjerat belenggu dosa dan yang kita perbuat belumlah yang terbaik sesuai dengan apa yang sudah diberikan-Nya kepada kita. Oleh karena itu, janganlah kita meninggikan diri di hadapan-Nya melainkan tetap dalam kerendahan hati. Sebab seperti kata firman-Nya, siapa yang meninggikan diri pasti akan direndahkan.

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Kabar dari Bukit, Minggu 26 Oktober 2025

Kabar dari Bukit

 MASA DEPAN GEREJA (Mzm. 84:1-7)

 ”Betapa menyenangkan tempat kediaman-Mu, ya TUHAN Semesta Alam! (Mzm. 84:2 TB2)

Dalam kesempatan wisata ke berbagai negara di Eropa, saya banyak berkunjung ke gereja-gereja yang indah dan tua. Ada yang besar seperti gereja Sagrada Familia di Spanyol atau gereja kecil di Yunani. Tetapi ada fakta bahwa saat ibadah hari Minggu, tidak banyak lagi yang mengikutinya. Malahan banyak gereja berubah menjadi hotel, kafe, bar, atau lainnya, termasuk dijual. Namun pada hari biasa, kita melihat masih banyak umat berkunjung ke gereja. Mereka duduk tenang, hening dan berdoa; ada juga yang masuk sebentar, berdiri dan berdoa, lantas keluar lagi.

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Mzm. 84:1-7. Judul perikopnya: Rindu kepada kediaman Allah. Ada beberapa Mazmur lainnya tentang kerinduan yang sama. Mzm. 27:4 tentang dambaan "tinggal di Rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya" (bdk. Mzm. 42; 63:1-8).

 

Jika pada Mzm. 42 dan 63 lebih ditekankan tentang hadirat Tuhan, maka pada nas minggu ini  ditekankan tentang bangunan bait Allah. Kita tahu pada masa itu pusat peribadahan umat Israel ada di Yerusalem atau Sion. Memang ada beberapa di luar Yerusalem yang disebut Sinagoga, yakni tempat belajar dan bersekutu. Tetapi tempat pemberian korban tetaplah di Yerusalem. Ruang Maha Kudus juga adanya di Bait Allah. Ini yang membuat umat tetap melakukan ziarah, perjalanan rohani ke Yerusalem, "merindukan pelataran-pelataran Tuhan; jiwa ragaku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup" (ay. 3). Selanjutnya dinyatakan, "Berbahagialah mereka yang tinggal di rumah-Mu, yang dapat terus-menerus memuji-muji Engkau. Berbahagialah manusia yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah! Apabila melintasi Lembah Baka, mereka membuatnya menjadi tempat yang bermata air;.... Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion" (ay. 5-8).

 

Kerinduan ini secara tradisi dan historis karena dulunya ada Tabut Perjanjian di tempat Bait Allah, meskipun pada penghancuran pertama, Tabut tersebut telah hilang. Kemudian Tuhan Yesus menegaskan, orang percaya tidak lagi menyembah Allah berdasarkan tempat, tetapi dalam Roh (Yoh. 4:21-24). Ada juga pergeseran teologis bahwa jemaat sendiri adalah Bait Allah ketika Roh Allah diam di dalamnya" (1Kor. 3:16–17); bukan di gedung gereja.

 

Kini, bagaimana dengan gereja kita di Indonesia? Apakah (gedung) gereja masih tetap sebagai pusat peribadahan? Adakah jemaat tetap rindu datang beribadah di hari Minggu? Yang jelas, pasca Covid-19, umat yang datang ke gereja telah turun. Akankah gedung gereja-gereja kita di Indonesia semakin sepi? Bagaimana pun, keberadaan gedung gereja tempat bersekutu jemaat sebagai Tubuh Kristus untuk menyembah-Nya, tidak dapat diabaikan. Alkitab jelas mengajarkan, jangan menjauhkan diri dari pertemuan ibadah bersama (Ibr. 10:25).

 

Ini sebuah tantangan yang besar agar hal yang terjadi di negara-negara maju tidak menular ke sini, gereja ditinggal dan semakin sepi. Beberapa penyebab di luar gereja memang tidak dapat dihindari, seperti perkembangan paham sekulerisme yang bersifat ingin praktis, era digital dan ibadah online, pandangan hal spiritual bersifat adalah pribadi, dan lainnya. Tetapi kelemahan lainnya dari dalam, seperti memudarnya kepercayaan umat terhadap pemimpin, gereja sibuk dengan koinonia tanpa berbuah diakonia dan marturia, terjadi sengketa dan perpecahan, ibadah dan khotbah yang tidak kontekstual, mestinya bisa dihindari. Ini tanggungjawab bersama. Semoga kita tetap rindu bergereja.

 

Selamat hari Minggu dan selamat beribadah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah (2) Minggu XX Setelah Pentakosta - 26 Oktober 2025

Khotbah Minggu 26 Oktober 2025 - Minggu XX Setelah Pentakosta (Opsi 2)

 

 AKHIR PERTANDINGAN (2Tim. 4:6-8, 16-18)

 

 “To God be glory forever and ever. Amen!” (4:18b)

 

             Firman Tuhan bagi kita pada Minggu XX setelah Pentakosta ini diambil dari 2Tim. 4:6-8, 16-18. Nas ini berbicara tentang hidup bagaikan sebuah pertandingan. Ketika mulai menjadi dewasa dengan pengakuan iman, kita sebenarnya telah masuk ke dalam arena pertandingan, bagian perjalanan kehidupan, hingga tiba saatnya semua usai, yakni kita dipanggil pulang menghadap-Nya, mempertanggungjawabkan "permainan" yang kita pertunjukkan.

 

 

 

            Jelas tidak masuk akal, bila kita ada di dunia ini hanyalah sebuah kebetulan atau proses alamiah semata. Manusia memiliki jiwa dan kekuatan akal untuk merencanakan dan memilih yang terbaik, yang mampu dikembangkannya sendiri atau bersama. Firman Tuhan memberi mandat budaya kepada manusia untuk meneruskan masa depan ciptaan Allah, dan mengelolanya dengan berkhikmat (Kej. 1:28). Oleh karena itu, setiap orang wajib mengambil bagian di dalamnya dan merumuskan tujuan hidupnya.

 

 

 

            Merujuk kepada ayat 1-5 sebelumnya, sangat jelas bahwa kita ada dan hadir di dunia ini mengemban misi Allah. Misi tersebut tidak terlepas pada rencana Allah menciptakan bumi dan segala isinya, yakni agar ciptaan-Nya itu tetap sempurna dan semua baik (Kej. 1:31). Allah menciptakan Taman Eden bagi Adam dan Hawa, untuk hidup tenteram sejahtera seturut rencana-Nya. Kehadiran iblis dalam seekor ular membuyarkan rencana tersebut, sehingga rencana lain dijalankan dan manusia perlu bersusah payah serta harus menderita dalam menjalani kehidupan di bumi ini (Kej. 3:16-19). Tetapi maksud Allah tetap, yakni menghadirkan kerajaan sorga di bumi dengan seluruh mosaik keindahan dan persoalannya.

 

 

 

            Hidup adalah pertandingan, dan yang ingin dicapai adalah kemenangan. Kemenangan tidak selalu harus dengan menyakiti. "Lawan" bisa berupa diri sendiri seperti disiplin dalam sebuah permainan golf. Diri sendiri juga perlu dikalahkan dengan mengalahkan ego, ambisi, keinginan daging dan tawaran keduniaan, atau kesombongan meninggikan diri. Lawan dapat berupa pihak lain dengan berbagai siasat dan kekuatan. Iblis adalah komandan semuanya. Tetapi bagi seorang pemenang, yang dasarnya kuat dalam iman, ia tentu dapat mengendalikan semuanya, tetap bertumbuh secara rohani. Tujuan akhirnya yakni: menjadi pemenang, penerima mahkota kebenaran (ayat 8).

 

 

 

            Masalah selalu ada. Lawan bisa saja lebih kuat untuk sesaat. Kita kadang-kadang ditinggalkan kawan dan merasa sendiri, nelongso (ayat 18). Tetapi seperti Rasul Paulus tekankan dalam akhir nas ini, tidak usah terlalu dikuatirkan. Allah selalu setia mendampingi dan menguatkan (ayat 17). Fokuslah dalam panggilan sorgawi, yakni menjadikan hidup ini adalah persembahan dan kesaksian, berbuah dan tetap teguh. Kematian sebagai akhir pertandingan bagi orang percaya, menjadi sebuah akhir kelepasan dari tugas-tugas di dunia, dan masuk ke dalam kehidupan sukacita abadi yang indah, yakni Kerajaan-Nya di sorga yang baka. Kini pertanyaannya: sudahkah aku ikut ambil bagian dalam pertandingan itu dan tidak hanya sebagai penonton? Sesal di akhir jelas tidak berguna. Bagi-Nyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin.

 

Selamat beribadah dan selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

 

Pdt. (Em.) Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min.

 

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 137 guests and no members online

Statistik Pengunjung

12986631
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
2609
6194
13570
12943169
16486
136103
12986631

IP Anda: 216.73.216.154
2025-11-04 10:50

Login Form