Sunday, December 15, 2024

2022

Khotbah Minggu 27 Maret 2022

 

Kabar dari Bukit

 

 

MENJALANI KEHIDUPAN (Yos. 5:9-12)

 

 

"Dan berfirmanlah TUHAN kepada Yosua: "Hari ini telah Kuhapuskan cela Mesir itu dari padamu" (Yos. 5: 9a)

 

 

Sungguh lega rasanya ketika kita tiba di tempat tujuan. Apalagi dari perjalanan panjang yang melelahkan. Itulah gambaran yang diberikan Firman Tuhan di hari Minggu ini bagi kita, dari Yos. 5:9-12. Bangsa Israel dipimpin Yosua telah memasuki tanah Kanaan, negeri yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Beratnya perjalanan keluar dari Mesir, telah sirna. Kegembiraan merebak. Mereka pun merayakan Paskah (ay. 10), sebuah kelepasan dari ancaman kematian dengan tanda darah di pintu rumah (Kel. 12:22-23). Pertolongan Tuhan memang sempurna: umat melewati laut Teberau yang terbelah, petunjuk tiang awan atau tiang api, dan manna untuk makanan selama 40 tahun. Semua kesalahan pun telah hapus (ay. 9).

 

 

Kita pun semua dalam perjalanan kehidupan. Ada yang masih 40 tahun lagi atau kurang; tapi kelak ujungnya sama, semua menghadap takhta-Nya (2Kor. 5:10). Penulis tak dikenal mengatakan, hidup adalah perjalanan, bukan tujuan. Oleh karena itu, mari kita isi dan nikmati perjalanan kehidupan ini dengan hati bersyukur, semangat dan sukacita. Sesuai Alkitab, untuk itu ada beberapa prinsip yang perlu kita jalankan, yakni:

 

 

Pertama, urusan sehari lepaslah dalam sehari. Hidup jangan dibuat rumit. Doa Bapa kami mengatakan, berikanlah kami makanan hari ini yang secukupnya (Mat. 6:11, 25, 34). Tidak dikatakan untuk sebulan setahun bahkan untuk anak cucu. Tidak perlu khawatir atau takut berlebihan, sebab kekhawatiran tidak memberi andil dalam pemecahan masalah (Luk. 12:25). Bila datang masalah, usahakan menyelesaikan dengan sabar dan prinsip kebaikan. Bila datang penyakit, ya berobat. Bawa terus dalam doa, bila persoalan belum selesai atau sakit belum sembuh. Allah memberi mukjizat hanya bila diperlukan, sebagaimana manna diberikan selama perjalanan umat Israel. Ketika mereka tiba di Kanaan, mukjizat tidak lagi diperlukan, proses alam telah berjalan, mereka mengolah tanah untuk makanan (ay. 11-12).

 

 

Demikian juga bila hati terganggu akibat ulah orang lain. Mungkin ada rasa sakit fisik atau di hati. Kita boleh marah, tapi selesaikan sebelum matahari tenggelam. Kita boleh sedih, kecewa bahkan marah, tapi janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan (Rm. 12:17-18). Menjauhlah dari persoalan, sebab itulah cara berhikmat agar ujungnya damai sejahtera. “Carilah yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup,” itulah Firman-Nya (Amos 5:14a).

 

 

Kedua, buatlah rencana dalam menjalani hidup. Tuhan memerintahkan anak-anak-Nya membuat rencana (Luk. 14:28; Yak. 4:15). Hidup memang berserah, tapi sebaiknya tidak dijalani semau gue, kumaha engke, que sera, sera. Kita ada di dunia untuk misi Allah (Kej. 1:28; Mat. 28:19). Pasti ada yang bisa kita lakukan. Bila hanya bisa berdoa, ya buat daftar yang perlu didoakan; termasuk yang kita tidak sukai. Jangan takut rencana akan gagal, sebab kesuksesan bukan diukur dari hasil, tapi dari menikmati proses yang berjalan. Tetaplah pegang prinsip, manusia berencana dan berupaya optimal, Tuhan tetap yang menetapkan. Jangan fokus pada kesulitan, tetapi melihatnya sebagai tantangan, padang gurun yang mesti dilalui.

 

 

Ketiga, hidup perlu berbuah, menjadi garam dan terang, berkat bagi orang lain. Jika menerima berkat, nikmati dengan syukur. Tetapi jangan lupa, ada banyak orang susah di sekitar/keluarga kita. Masih banyak orang belum mendengar kabar kasih keselamatan, atau mereka yang masih suka kekerasan. Tanggungjawab kita berbagi dan mendukung langkah kasih itu. Jangan kesal bila perbuatan baik dibalas dengan hal buruk. Kehidupan, sama ketika kita menanam padi, rumput kadang ikut tumbuh. Tapi saat menanam rumput, tidak akan pernah tumbuh padi. Merayakan Paskah seperti umat Israel, berarti kita mengakui telah ditebus dengan darah Yesus, menjadi manusia baru milik-Nya, dan siap dipakai-Nya. Lewati babak demi babak kehidupan, dengan iman berpegang kepada Tuhan Yesus.

 

 

Terakhir, puncak sukacita kita ada di akhir perjalanan, hidup sudah pasti bersama Bapa di sorga. Tiada yang lebih indah dari itu. Dunia ini akan berakhir, dan hari Tuhan pasti datang. Jangan pusingkan waktunya, sebab hari Tuhan yang tampak dekat itu saat kita dipanggil-Nya. Jangan sampai sudah susah di dunia, kelak di kehidupan lain juga susah terus dalam penderitaan. Bersyukurlah, ada tempat telah disediakan Tuhan Yesus. Dan, rayakanlah.

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita semua, amin.

Khotbah Minggu 27 Maret 2022

 

Khotbah Minggu Keempat Pra-Paskah

 

BERDOSA KEPADA TUHAN DAN KEPADA MANUSIA (Luk. 15:1-3, 11b-32)

 

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yos 5:9-12; Mzm 32; 2 Kor 5:16-21

 

 

Pendahuluan

 

Dalam memasuki minggu keempat pra-paskah ini kita terus diingatkan agar tetap melakukan hal yang berkenan kepada Allah, khususnya dengan cara lebih bersedia berkorban dan menahan keinginan daging untuk sesuatu yang lebih berharga di masa mendatang. Nats minggu ini bercerita tentang seorang ayah yang kaya memiliki dua anak, dan ternyata anak yang bungsu meminta agar dilakukan pembagian warisan meski ayahnya belum meninggal dengan tujuan ia bisa menikmati harta ayahnya tersebut. Anaknya yang sulung sementara tetap bertahan bersama ayahnya dan ikut bekerja bersama ayahnya, sampai kemudian adiknya kembali setelah menghabiskan harta bagiannya.

 

 

Perumpamaan (sebenarnya ini lebih tepat disebut sebagai kisah nyata) yang diberikan oleh Tuhan Yesus memberi kita pelajaran yang sangat berharga sebagai berikut.

 

 

Pertama: Jangan berpikir pendek (ayat 11b-16)

 

Apa yang dilakukan oleh anak bungsu tersebut tidak lain merupakan pikiran jangka pendek. Ia melihat ayahnya memiliki harta yang banyak dan mungkin merasa tidak bebas untuk menggunakan sesuai keinginannya. Ia melupakan bahwa apa yang diperoleh orang tuanya merupakan hasil usaha kerja keras yang panjang dan memerlukan kesabaran dalam memupuk dan menyimpannya. Sementara itu anaknya berpikir bahwa itu adalah hasil yang merupakan haknya, tanpa memperhitungkan bahwa hak tersebut sebenarnya belum saatnya dinikmatinya.

 

 

Tidak dijelaskan alasan mengapa ayahnya menyetujui pembagian tersebut, meski ada dugaan anaknya meminta pembagian harta tersebut dengan cara memaksa dan mengancam. Ada juga kemungkinan ayahnya tidak mau pusing dan berharap dengan pemberian pembagian tersebut, anaknya bisa berubah menjadi orang baik. Sebab menurut hukum Yahudi, anak bungsu hanya memperoleh 1/3 bagian dan biasanya hanya dapat diambil jika ayahnya sudah meninggal (Ul 21:16; band Im 25:23-28). Namun yang kita lihat, anaknya berpikir lebih baik ia menjual harta tersebut dan pindah kota, jauh dari saudara dan ayahnya sehingga bebas untuk menggunakan apa yang sudah dimilikinya.

 

 

 

Sangat mudah ditebak, dengan pengalaman yang sangat minim dalam mengelola uang, dan mungkin disertai keinginan besar untuk berfoya-foya dengan harta yang sudah dikuasainya, maka tidak perlu waktu yang lama untuk menghabiskan harta itu dan menjadikan ia miskin. Akhirnya, untuk bertahan hidup, ia rela bekerja sebagai penjaga ternak babi, sesuatu yang hina dan terkutuk bagi orang Yahudi (Im 11:7). Bahkan untuk makan saja, ia kadang harus mengambil makanan babi yang dijaganya. Benar kata perumpamaan, "laut pun kalau ditimba terus, akan menjadi kering," berlaku dalam kisah ini.

 

 

 

Pelajaran yang kita ambil adalah janganlah pernah berpikiran pendek, terlebih itu untuk kepuasan sesaat. Biasanya pikiran pendek ini lahir dari pendekatan emosi dan bukan akal sehat. Banyak contoh konkrit akibat berpikiran pendek, yang kemudian mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan. Pikiran pendek, seperti berpacaran yang berakibat hamil duluan, pikiran pendek dalam bekerja sehingga korupsi, pikiran pendek yang emosional sehingga terlibat dalam perkelahian, dan sebagainya. Ini semua jelas akan berbuah penderitaan dan kesengsaraan. Oleh karena itulah firman Tuhan mengatakan pentingnya buah Roh yang disebut dengan penguasaan diri (Gal 5:23). Penguasaan diri membuat diri kita bersabar, membuat perencanaan, berfikir logis dan panjang, sehingga bisa berbuah manis. Kita jangan melupakan prinsip dan pepatah yang mengatakan, "berakit-rakit ke hulu, berenang- renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, (barulah) bersenang-senang kemudian.”

 

 

 

Kedua: Penyesalan tidak pernah terlambat (ayat 17-19)

 

Hal yang positip dari si bungsu ini, ketika menyadari bahwa dirinya sudah tidak memiliki apa-apa, ia rela bekerja demi sesuap nasi, bahkan untuk ukuran yang hina bagi orang Yahudi. Ia tidak putus asa dan mengambil jalan pintas misalnya berbuat kejahatan atau bunuh diri. Ia menyadari betapa "bodoh"nya harus bertindak seperti itu. Ia berpikir kalau ia kembali, pasti ayahnya mau mempekerjakan dia sebagai hamba dan bisa menerima upah. Tidak seperti keadaannya sekarang untuk makan pun kadang-kadang mengambil jatah babi peliharaannya. Ia menyesal atas kekeliruannya dan memutuskan kembali kepada ayahnya. Dalam tahapan ini ia menyadari keberadaannya, yakni bagaimanapun juga ia adalah tetap anak ayahnya.

 

 

 

Pelajaran dari situasi ini adalah, seseorang baru menyadari keberadaan dan statusnya yang baik dan benar hanya ketika ia ada di dalam jalan Allah. Di dalam jalan Allah kita berpikir menjadi terang benderang, tidak terselimuti kabut gelap dari si iblis, sehingga kehilangan arah dan tujuan hidup. Ketika seseorang berpikiran jahat dan "picik", maka mata rohaninya akan tertutup, ia kehilangan pengenalan akan jati dirinya, tidak menyadari statusnya yang benar sebagai ciptaan baik dengan maksud tujuan baik.

 

 

 

Penyesalan tidak pernah terlambat. Better late than never. Dengan rasa takut-takut anak bungsu ini mencoba kembali ke tempat ayahnya, sambil berharap dari jauh semoga ayahnya mengasihinya, memberi kesempatan kerja, walau sebagai hamba orang upahan. Tetapi apa yang terjadi adalah, ayahnya cepat melihatnya dari jauh, yakni sebagai tanda berharap dan kerinduan anaknya yang hilang kembali. Begitu ayahnya melihatnya, hati ayahnya bersukacita dan menyambutnya dengan penuh syukur dan sambutan yang luar biasa. Pertobatan membuahkan hasil. Ayaknya member pengampunan, sebagaimana Allah merindukan setiap orang yang keluar dari jalan Allah untuk kembali kepada-Nya. Pintu pengampunan Allah tersedia. Inilah yang disampaikan dalam bacaan lain minggu ini, "Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN…." (Mzm 32:1-2).

 

 

 

Ketiga: Berdosa kepada Tuhan dan kepada manusia (ayat 20-24)

 

Sikap penyesalan anak bungsu ini didasari kesadaran bahwa ia telah berdosa kepada Bapanya di sorga dan juga kepada ayahnya. Ia menyadari sikapnya yang menuntut pembagian harta warisan yang belum pada saatnya dan menghabiskan uang penjualannya, jelas merupakan tindakan yang tidak berkenan kepada Allah. Hukum Allah telah diatur sedemikian saat itu bahwa selama ayahnya masih hidup, semua manfaat harta dan kekayaan mereka masih dinikmati dan diatur oleh ayahnya, sampai kemudian ia meninggal dan pembagian harta diperkenankan. Anak bungsunya lupa bahwa Allah memberi sesuatu atau berkat kepada seseorang pasti untuk tujuan menjadi alat sukacita dan berkat bagi orang lain, bukan untuk dirinya sendiri, sehingga nama Allah dimuliakan.

 

 

 

Anak bungsu ini sadar. Ia sadar mendukakan hati Bapa di sorga, sekaligus mendukakan hati ayahnya karena menghabiskan harta warisan dan menjadi miskin. Ia telah telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapanya. Kesadaran berdosa kepada Bapa di sorga biasanya lebih mudah dilakukan orang dengan datang untuk mohon pengampunan. Justru hal yang paling sulit dilakukan orang adalah menyadari bahwa ia juga bersalah dan "berdosa" kepada manusia serta berani datang untuk mohon pengampunan. Hal inilah yang bisa ditarik sebagai pelajaran dari cerita ini, ketika kita menyadari kesalahan kepada Bapa di sorga, maka mungkin kita harus menyadari adanya kesalahan kepada manusia yang perlu diselesaikan. Mari kita selesaikan kekurangan kita bukan saja kepada Allah di sorga, tetapi juga kepada manusia sehingga semuanya menjadi lebih mulus dan bersih.

 

 

 

Kita bisa berandai-andai apabila anak bungsu tersebut hanya datang kepada Bapa di sorga dan tidak datang kepada bapanya untuk meminta belas kasihan, maka pemulihan yang dialami anak tersebut tidak bisa total. Pemulihan total akan berbuah maksimal. Ini yang dialami anak bungsu itu, ayahnya memperlihatkan sukacita yang besar, diberi pemulihan yakni kehormatan (lambang jubah), kemenangan dan kuasa (lambang cincin), kebebasan dan status anak (lambang sepatu), serta peneguhan dan rasa syukur (lambang pesta). Sikap ayahnya ini merupakan cermin sikap Bapa di sorga yang menyambutnya juga dengan sukacita, tidak ada penghukuman dan tuduhan-tuduhan, melainkan lebih menekankan kepada kembalinya seorang anak yang bertobat dan mengakui kesalahannya.

 

 

 

Keempat: Cara pandang yang salah (ayat 25-32)

 

Hal buruk yang tidak boleh ditiru dalam kisah ini adalah sikap dan perilaku anak sulung, yang memiliki sifat tidak mengasihi. Ketika ia mengetahui bahwa adiknya kembali dan ayahnya menyambutnya dengan pesta meriah, ia memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan. Anak sulung ini bahkan berkata, mengapa ia yang taat, melayani ayahnya dan tidak menuntut warisan, justru belum pernah disambut ayahnya dengan cara demikian? Sementara menurutnya, anaknya yang sudah menghabiskan harta ayahnya disambut dengan pesta meriah?

 

 

 

Sikap anak sulung ini jelas memperlihatkan apa yang dilakukannya selama ini terhadap ayahnya lebih merupakan "tugas dan kewajiban", bukan kasih kepada ayah dan saudaranya. Ia menekankan ketaatan dan bukan kasih. Ini yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus bahwa kisah ini mencerminkan sikap orang Farisi dan orang Israel, yang merasa mereka adalah “anak sulung” dan "anak yang dikasihi", tetapi sebenarnya lebih fokus pada dirinya, bukan menjadi teladan dan berkat sebagaimana rencana Allah bagi umat Israel. Anak sulung ini tidak dapat melihat bahwa adiknya telah kembali, saudaranya telah dipulihkan, dan adiknya yang mati telah kembali dihidupkan di hadapan Allah.

 

 

 

Anak sulung ini memperlihatkan sikap yang buruk, sepertinya ia menginginkan adiknya dihukum karena sudah menghabiskan harta ayahnya. Ia senang apabila adiknya dihukum. Apakah kita juga memiliki sifat demikian, yang senang melihat saudara kita atau orang lain dihukum? Mari kita belajar dari kasih Bapa yang telah mengalahkan dosa dengan kemenangan, maka kita juga harus dapat mengalahkan kesalahan dan kecemburuan dengan kasih yang sudah kita peroleh dari Allah. Allah telah mengasihi kita (terlebih dahulu) maka kita wajib mengasihi saudara kita (1Yoh 4:19). Kita diajar untuk melupakan kekurangan dan kesalahan orang lain yang sudah menyesalinya. Kita harus mengikuti firman Tuhan dalam bacaan lain minggu ini, "Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor 5:16-17).

 

 

 

Kesimpulan

 

Nats minggu ini merupakan kisah nyata yang dapat terjadi dalam kehidupan kita. Orang sering berpikir pendek dan mengambil kesimpulan tanpa menyadari dampak jangka panjangnya. Berfikir emosional tanpa penguasaan diri akan berakibat kesengsaraan. Hal itu dapat menimbulkan penyesalan dan semoga saja penyesalan itu tidak terlambat sehingga dapat dipulihkan, baik oleh Bapa di sorga maupun oleh sesama kita manusia. Tidak ada istilah terlambat untuk pertobatan dan tidak ada istilah dosa yang berat untuk tersedianya pengampunan. Kita juga diajar harus menghilangkan sifat marah dan cemburu, membanding-bandingkan, melakukan sesuatu sebagai suatu kewajiban, dan hitung-hitungan. Kisah minggu ini membuat mata kita terbuka dan menyadari maksud Allah yang baik dalam diri kita.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 20 Maret 2022

 

Khotbah Minggu Ketiga Pra-Paskah 2022

 

ADAKAH KESEMPATAN KEDUA? (Luk. 13:1-9)

 

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yes 55:1-9; Mzm 63:1-8; 1Kor 10:1-13

 

 

Pendahuluan

 

Nats ini diawali dua kisah yang tidak pasti detailnya, yakni: pertama, tentang pembunuhan orang Galilea yang darahnya dicampur oleh Pilatus dengan darah korban persembahan (ada kemungkinan pembunuhannya dilakukan dalam Bait Allah sehingga disebut dicampur); kedua, detail cerita kematian 18 orang yang mati ditimpa menara dekat Siloam. Sumber permasalahan kejadian ini menurut para ahli teologi, saat itu Pilatus berencana membangun saluran penyediaan air yang membutuhkan dana dan daya yang sangat besar. Pilatus menginginkan agar uang persembahan yang dibawa ke Bait Allah dipakai untuk dana pembangunan saluran air tersebut. Demikian juga diduga ada pekerja yang ikut membangun menara dan oleh karena sesuatu hal menara itu rubuh menimpa ke-18 orang tersebut. Tuhan Yesus mengambil dua kisah tersebut sebagai dasar untuk mencela umat Israel pada saat itu.

 

 

 

Melalui nats Firman Tuhan minggu ini, kita diberi beberapa pengetahuan dan hikmat sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Penghukuman adalah hak Allah (ayat 1-2)

 

Orang-orang Galilea yang terkenal fanatik dan keras berusaha menentang kebijakan Pilatus tersebut sehingga menimbulkan protes mungkin dengan demonstrasi. Pilatus yang terkenal keras dan sadis tidak mau mengambil resiko dan gangguan membantai mereka sehingga darahnya dicampur (atau tercampur) dengan persembahan yang diberikan pihak lain ke dalam Bait Allah. Kebijakan keras Pilatus ini mungkin untuk memperlihatkan kepada kelompok lain agar tidak melakukan gangguan-gangguan ketertiban. Sementara robohnya menara yang mengakibatkan meninggalnya 18 diduga karena mereka bekerja membantu Pilatus dan hal ini banyak yang tidak menyukainya. Kedua cara mereka meninggal ini yang menjadi bahan pengajaran Tuhan Yesus.

 

 

 

Jalan pikiran manusia biasanya menghubungkan dan berkesimpulan bahwa cara penderitaan menjelang kematian yang lebih berat, maka dosanya di dunia lebih besar. Seseorang yang mati dengan sakit yang berkepanjangan kadangkala dikatakan karena dosanya banyak dan itu penghukuman Allah. Melalui dua kisah diatas, Tuhan Yesus menekankan bahwa penderitaan dan kematian yang dialami oleh orang-orang Galilea dan 18 orang tersebut memang semua karena dosa. Tetapi apa yang ditekankan Tuhan Yesus adalah dosa orang Galilea yang dibunuh secara sadis tidak lebih besar dosanya dibandingkan dengan yang mati tertimpa menara. Artinya, manusia tidak bisa memahami dan menyimpulkan cara kematian seseorang atau sekelompok orang dan menghubungkannya dengan banyak-tidaknya dosa-dosa yang dilakukannya. Semua adalah hak dan kewenangan Allah untuk menentukan cara mati seseorang dan juga kaitannya dengan bentuk dan jenis hukuman yang diterimanya kelak. Allah berhak menetapkan penghukuman dan Allah berhak pula untuk memberi pengampunan. Apa yang disebut penderitaan dan penghukuman dalam mata manusia melalui peristiwa cara mati seseorang, belum tentu sejalan dan sama dengan pikiran dan hikmat Allah.

 

 

 

Oleh karena itu seseorang yang sakit berkepanjangan sebelum dipanggil Tuhan, atau meninggal dengan cara yang tragis, tidak dapat kita katakan karena dosanya terlalu banyak. Demikian juga seseorang yang matinya tampak "mudah", belum tentu karena dosanya ringan. Hal yang sama apabila terjadi bencana alam atau sejenisnya dalam suatu daerah atau kelompok masyarakat, maka kita tidak dapat katakan itu adalah penghukuman Allah bagi mereka semua. Pola pikir seperti ini harus kita jauhkan. Allah memiliki hikmat sendiri dalam menetapkan segala sesuatunya dan kita percaya Allah kita adalah Allah yang Maha Bijaksana, Maha Adil dan Maha Benar.

 

 

 

Kedua: Bebas hukuman bagi yang bertobat (ayat 3-5)

 

Hal yang ingin ditekankan Tuhan Yesus dari kedua peristiwa tersebut adalah perlunya pertobatan untuk bebas dari dosa dan penghukuman. Kalau tidak ada pertobatan maka penghukuman menanti dan dapat seperti nasib orang-orang Galilea atau yang tertimpa menara tersebut. Penderitaan dan kematian jelas merupakan buah dari dosa. Namun ada penderitaan yang datang bukan dari kehendaknya, bukan pula karena dosa dan kesalahannya. Kisah anak lahir dalam keadaan buta mengajari kita demikian karena bukan karena dosanya maupun dosa orang tuanya (Yoh 9:1-3). Demikian pula dengan penderitaan para nabi dan para rasul yang dialami demi menyampaikan kebenaran firman Allah, tentu bukan karena dosa mereka banyak. Para hamba Tuhan saat ini juga masih mengalami hal itu di beberapa wilayah bumi ini.

 

 

 

Ini tentu berbeda. Namun, yang pasti semua ada dalam sepengetahuan dan hikmat Allah. Kesalahan dan dosa seseorang secara prinsip penghukumannya akan ditanggung oleh orang tersebut. Kesalahan beberapa orang atau kelompok, sebenarnya penghukuman dan penderitaannya hanya ditanggung oleh kelompok itu. Namun dalam beberapa kejadian, bisa saja dosa kelompok tersebut mengakibatkan adanya "penderitaan" pihak lain yang tidak ikut (banyak) berdosa. Ini bisa kita lihat seperti dalam peristiwa bencana alam, kecelakaan massal, peperangan dan sebagainya. Mereka mungkin hanya menjadi "korban". Yang perlu kita ingat bahwa Tuhan memahami semua itu dan akan memperhitungkan semuanya dalam kekekalan.

 

 

 

Tuhan membenci dan merasa jijik dengan dosa. Dengan dasar keadilan, Tuhan akan menghukum setimpal dengan perbuatan dosanya, dan ujung penghukuman itu adalah kematian selama-lamanya. Ini pentingnya pertobatan. Tuhan Yesus mengatakan, mereka semua akan binasa kalau tidak bertobat. Pengutaraan dua kisah ini mungkin juga ada hubungannya dengan rencana Tuhan untuk menghukum Israel dan umat Yahudi yakni hancurnya kota Yerusalem beberapa tahun kemudian (lihat khotbah minggu lalu). Pesan Tuhan Yesus kepada bangsa Yahudi menjadi jelas agar mereka berpaling dan dengan cara itu mereka mendapatkan belas kasihan dan anugerah Allah. Pertobatan adalah pintu bagi datangnya anugerah kebaikan Allah.

 

 

 

Ketiga: Kita dituntut untuk berbuah (ayat 6-7)

 

Tuhan Yesus kemudian memberi perumpamaan tentang sebuah pohon ara. Sebagaimana kita ketahui, biasanya di masa itu pohon ara ditanam di antara kebun anggur, sehingga akarnya secara tidak langsung mengambil "jatah" pokok anggur itu. Oleh karena itu pohon ara ini sangat diharapkan buahnya oleh pemilik kebun, yang biasanya mulai berbuah setelah 3 - 4 tahun. Namun pohon yang diceritakan Tuhan Yesus itu ternyata tidak berbuah. Pemilik kebun mengatakan lebih baik pohon itu ditebang sebab tidak memberi hasil. Sebagai pemilik tentu ia wajar bersikap demikian, sebab setiap usaha atau investasi wajar diharapkan memberi buah dan manfaat. Namun pengurus kebun meminta kepada pemilik kebun untuk memberi kesempatan setahun lagi, dan kalau tetap tidak berbuah, maka pohon itu dapat ditebang. Pengurus kebun berjanji untuk merawat dan memberi pupuk atas pohon ara tersebut.

 

 

 

Prinsip ini juga akan dipakaikan kepada kita. Pertobatan dalam poin kedua di atas tidak berhenti disitu saja. Tuhan sebagai Pemilik hidup juga meminta kita untuk berbuah dan memberi manfaat bagi Sang Pemilik. Allah berhak atas buah perbuatan kita karena kita ini milik-Nya. Melalui pertobatan kita dapat berhenti berbuat kejahatan dan melukai hati Allah, tetapi menurut Alkitab, dosa terjadi tidak hanya karena tidak berbuat kejahatan, melainkan juga karena tidak berbuat kebaikan padahal kita seharusnya mampu dan berkesempatan: "Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa" (Yak 4:17). Kitab Yesaya 55 yang merupakan bacaan lain dalam minggu ini juga mengingatkan agar kita memanfaatkan apa yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai berkat. Kita harus pakai berkat unuk kebaikan sesama. Pengunaan yang tidak sejalan dengan maksud Tuhan akan mengecewakan-Nya.

 

 

 

Ada yang menafsirkan pohon ara sebagai umat Israel saja. Tetapi perumpamaan ini tidak hanya berlaku bagi umat Israel atau pendengarnya saat itu, melainkan berlaku bagi siapa saja dan bagi kita semua orang percaya. Bertobat dan berbuah. Maka usahakanlah diri kita untuk berbuah agar tidak ditebang. Usahakan diri kita agar tidak dipotong-potong dan dibuang serta dibakar seperti perumpamaan pokok anggur (Yoh 15:1-6; band. Yes 5:1-4). Kita harus menyadari itu dan melakukannya.

 

 

 

Hal yang menarik lainnya adalah pengurus kebun. Siapakah pengurus kebun ini? Sebab tugas pengurus kebun adalah menjaga dan merawat pohon dikebunnya. Maka pengurus kebun dalam hal ini kehidupan seseorang, dapat sebagai orang tua, guru, hamba Tuhan dan lainnya, yang seharusnya terus menerus memelihara dan memupuk umat agar semakin berbuah dan berbuah banyak bagi pemilik kehidupan ini, yakni Tuhan Yesus Kristus. Secara prinsip mereka yang tidak bertobat atau "bertobat" tetapi tidak berbuah (ingat ayat yang mengatakan dari buahnyalah kita tahu apakah orang itu bertobat atau tidak), maka mereka akan dihukum dan ditebang. Ini tanggungjawab kita semua.

 

 

 

Keempat: Tuhan memberi kesempatan kedua (ayat 8-9)

 

Pengurus kebun dalam hal ini ikut bertanggungjawab secara langsung atas kehidupan moral dan spiritual diri seseorang. Merekalah yang seharusnya merawat, menyiram dan memupuk agar orang tersebut bisa berbuah bahkan lebat. Orang tua bertanggungjawab untuk membekali dan mendidik anak-anaknya menjadi anak yang berkenan kepada Tuhan. Demikian juga keluarga dekat ikut bertanggung jawab. Para guru diminta menanamkan nilai-nilai kebaikan melalui keteladanan dan pengajaran. Hamba Tuhan juga harus terus menerus memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umat untuk berbuah dan terus menyenangkan hati Allah sebagai Pemilik.

 

 

 

Tetapi tanggung jawab ini secara otomatis juga memberi keistimewaan bagi mereka untuk meminta khusus kepada Tuhan. Orangtua, keluarga dekat, guru, atau Hamba Tuhan, melalui ayat ini dapat berdoa dan memohon agar Allah memberi kesempatan baru kepada seseorang untuk dapat bertobat dan berbuah. Ini tentu di samping doa pribadi orang tersebut untuk memohon. Orangtua dapat berdoa bagi anaknya. Guru dapat berdoa bagi muridnya. Hamba Tuhan dapat berdoa bagi jemaat-Nya. Mereka adalah pengurus pohon itu, mereka adalah pengurus seseorang (dan umat) itu agar tidak langsung ditebang oleh Pemilik pohon. Meski kita harus sadari, semua doa dan permohonan itu tergantung kehendak-Nya yakni Tuhan kita Yesus Kristus. Manusia hanya meminta, tetapi seperti pengurus kebun yang meminta pohon ara diberi 1 tahun untuk kesempatan berbuah, dan Tuhan Yesus mengabulkannya.

 

 

 

Nats minggu ini mengingatkan kita, bahwa Allah yang Mahabaik itu dapat memberi kesempatan kedua. Allah dapat memberi waktu lagi atas dasar doa dan permintaan orang tersebut dan dari mereka yang mengurus dan memelihara kehidupan rohaninya. Tetapi kesempatan kedua dengan 1 tahun dari nats ini mungkin merupakan kesempatan terakhir, yang harus dipergunakan sebaik-baiknya. Sebab, kalau tidak, maka hukuman Allah berupa kapak sudah siap menanti. Memang, ada saatnya kasih karunia Allah dapat ditarik dan orang yang tidak mau bertobat akan dihukum tanpa belas kasihan (bd. Luk 20:16; 21:20-24).

 

 

 

Maka, tanyalah diri kita, periksa, apakah sudah berbuah? Mari kita renungkan dan ambil kesempatan itu. Siapa tahu, ini adalah kesempatan kedua dan kesempatan terakhir bagi kita sekalian.

 

 

 

Kesimpulan

 

Minggu ketiga pra-paskah ini kita diberi pengajaran yang sangat baik tentang hak Allah untuk memberi hukuman bagi yang tidak bertobat dan berbuah. Allah yang memiliki kehidupan maka Allah berhak atas buah dari kehidupan yang kita jalani. Nats minggu ini juga mengajarkan agar kita tidak menghakimi cara kematian seseorang, sebab Allah yang Maha Tahu dan Maha Bijak. Bagi kita yang penting adalah kembali ke jalan Allah dan memberi yang terbaik bagi Dia. Mungkin kita masih ada yang belum setia dan memberi buah, maka Allah yang Maha Pengasih itu dapat memberi kesempatan kedua bagi seseorang. Pergunakanlah kesempatan itu, sebab siapa tahu, ini adalah kesempatan terakhir.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati.

Kabar dari Bukit Minggu 20 Maret 2022

 

Kabar dari Bukit

 

 

KESEMPATAN KEDUA (Yes. 55:1-9)

 

 

Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN (Yes. 55: 8)

 

 

Mengapa bangsa Israel disebut sebagai umat pilihan Allah? Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu ini dari Yes. 55:1-9, menjelaskan hal tersebut. “Sesungguhnya, Aku telah menetapkan dia menjadi saksi bagi bangsa-bangsa, menjadi seorang raja dan pemerintah bagi suku-suku bangsa; sesungguhnya, engkau akan memanggil bangsa yang tidak kaukenal, dan bangsa yang tidak mengenal engkau akan berlari kepadamu, oleh karena TUHAN, Allahmu, dan karena Yang Mahakudus, Allah Israel, ….” (ay. 4-5).

 

 

Bangsa Israel ditetapkan Allah menjadi model sebuah komunitas dan bangsa, yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi. Tetapi mereka gagal sebagai teladan, gagal mengikuti pola hidup yang ditetapkan. Allah pun turun ke bumi, agar semua manusia diselamatkan, bukan hanya di Yerusalem, Yudea dan Samaria, tetapi juga sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8).

 

 

Nas minggu ini menuliskan, manusia sering melakukan hal sia-sia. “Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?” (ay. 2). Kesalahan ini membuat manusia terus haus dan lapar (ay. 1). Ayat ini menegaskan, keselamatan hanyalah anugerah Tuhan melalui iman, bukan karena perbuatan baik dan kehebatan pribadi (band. Ef. 2:8-9). Tetapi, itulah manusia dengan kelemahannya. Dengan rayuan si jahat, kita pun sering jatuh. Padahal, Tuhan Yesus berkata: “Akulah roti hidup, barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa datang kepadaku ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35). Ingatlah itu.

 

 

Firman-Nya membuka undangan dan kesempatan kedua. “Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!" (ay. 3). Itulah penawaran Tuhan yang baik, menyediakan pengampunan. Bila kita ikut jalan-Nya, maka “kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat” (ay. 2b). Woow, enak bangat ...!

 

 

Manusia hendaknya tidak berpikir: nanti saja, jangan saat ini, lagi sibuk, banyak persoalan. Firman minggu ini menegaskan, “Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” (ay. 7a). Artinya, jangan menunda. Bila terus merasakan ada yang tidak beres dan tidak benar dalam hidup keseharian kita, susah tidur dan banyak persoalan, mari mencari Tuhan. Pembebasan dan keselamatan tersedia pada Tuhan Yesus. Perlu diingat, pertobatan bukanlah yang mudah dilakukan. Perlu komitmen, keseriusan, dan latihan jatuh bangun. Oleh karena itu, jangan menunda!

 

 

Carilah Tuhan, dengan rajin membaca firman-Nya, rajin bersekutu dan berdoa, rajin menolong dan melakukan perbuatan baik bagi yang membutuhkan, dan tidak bermotivasi imbalan. Kita pasti menemukan Dia. Ingatlah, sumber kehidupan dan pusat perhatian kita hanyalah Tuhan Yesus. “Baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya” (ay. 7b).

 

 

"Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin" (Pkh. 1:14). Jangan lagi melakukan kesia-siaan, jangan lagi mengandalkan pikiran. "Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu" (ay. 8-9). Maka, datang dan mendekatlah, ikutlah Dia.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 13 Maret 2022

 

Kabar dari Bukit

 

 

KEKUATAN PERCAYA (Kej. 15:1-12, 17-18)

 

 

Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran (Kej. 15:6)

 

 

 

Semua ingin anak dan cucu kita lebih maju dan diberkati. Bila diri kita sekolah S1, kita pun berharap anak bisa S2 atau S3. Jika kita bekerja sebagai staf, wajar berharap anak-anak mencapai manajer bahkan direktur. Jika kita tinggal di perumahan sempit, maka kita berharap anak cucu kita bisa tinggal di perumahan yang nyaman. Itu wajar. Tapi yang terpenting, tentunya, anak cucu kita tetap menjadi pribadi/keluarga yang mandiri, dalam iman teguh kepada Kristus, dan menjadi berkat bagi orang lain.

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu ini dari Kej. 15:1-12, 17-18. Judul perikopnya: Perjanjian Allah dengan Abram; janji tentang keturunannya. Bagian awal menceritakan tentang kesedihan Abraham bahwa ia tidak memiliki keturunan (ayat 1-4). Kita tahu istrinya Sara mandul. “Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." Abraham pun percaya dan Tuhan memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran (ayat 5-6).

 

 

Adakah janji Tuhan yang kita pegang teguh? Sudahkah kita merasa bahwa Tuhan telah memberikan janji-janji-Nya kepada kita dengan mengikut Tuhan Yesus? Bila kita belum merasakan ada janji itu, maka sebaiknya kita membaca Alkitab lebih rajin. Mulai saja dari PB dan terus ke Mazmur, dan bila suka, teruskan ke PL. Alkitab adalah Buku Janji. Bacalah, dan ketahuilah, itulah janji Tuhan kepada kita anak-anak-Nya.

 

 

Kunci kedua, berusahalah agar janji itu melekat bersemayam dan menguasai hati akal pikiran kita. Isi Alkitab jangan dilihat sekedar pengetahuan. Untuk itulah Abraham patut kita teladani. Percayalah Abram kepada Tuhan dan Tuhan melihat itu sebagai kebenaran. Disini kita melihat KEKUATAN PERCAYA. Abraham bahkan meminta tanda atau jaminan (ay. 8). Ia telah melihat manusia memiliki kemampuan yang terbatas, tetapi Allah memiliki Kuasa yang tidak terbatas. Allah pun memberikan peneguhan atas janji-Nya (ayat 9-10, 17).

 

 

Buah percaya Abraham dijelaskan dalam Alkitab PB di tiga bagian, yakni Rm.4:3; Gal. 3:6 dan Yak. 2:23. Kitab Roma menjelaskan dengan penerimaan Abraham, maka Allah menjadi Bapa kita dan kita adalah anak-anak-Nya. Kitab Galatia menjelaskan, dengan kita mengikuti Abraham maka kita juga menjadi anak-anak Abraham, karena kita hidup dari iman (Gal. 3:8). Kitab Yakobus menjelaskan bahwa dengan kita percaya seperti Abraham, maka kita akan menjadi Sahabat Allah. Luar biasa.

 

 

Namun hidup tidak berhenti hanya di percaya saja. Percaya adalah dasar dan pegangan. Untuk itu kita diminta melakukan sesuatu, yakni ketaatan. Abraham taat ketika Allah memberi perintah kepadanya untuk mempersiapkan persembahan yang terbaik. Ia patuh taat dan menjaganya (ay. 9-12). Memang perlu bukti bahwa iman percaya mewujud dalam perbuatan. Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 2:17). Setelah percaya perlu ketaatan dan kesetiaan sebagai anak-anak Allah dan sahabat Allah. Percaya, taat setia, dan memberi yang terbaik, itulah prosesnya.

 

 

Tuhan juga tidak selalu memberi dengan mudah dan mulus. Kadang jalan yang panjang, sebagaimana kepada Abraham. Firman-Nya, beberapa generasi akan melewati perbudakan dan penderitaan (ay. 13-16). Namun tertundanya janji merupakan ujian dan latihan agar kita bertekun dan tetap setia. Kita diminta memegang teguh bahwa Allah akan menggenapkan janji-Nya dalam hidup kita. Ia Allah yang Maha Kuasa.

 

 

Abraham yang sudah tua, takut. Kita pun mungkin takut atau khawatir tentang anak-anak kita; juga terhadap orang yang kita kasihi. Mari belajar dari Abraham, PERCAYALAH kepada Allah. Bila merasa kurang kuat percayanya, berserulah, "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" (Mrk. 9:24). Serahkanlah kepada-Nya. Berusahalah taat meski melalui jalan yang berat. Berikanlah yang terbaik untuk menyenangkan hati-Nya. Ia akan memberi yang kita tidak pernah pikirkan (ay. 18; band. Mzm. 37:5).

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 301 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8565245
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
3293
73300
76593
8223859
716530
883577
8565245

IP Anda: 172.70.142.182
2024-12-16 03:42

Login Form