Sunday, December 15, 2024

Khotbah Minggu 14 September 2014

Khotbah Minggu 14 September 2014

 

Minggu XIV Setelah Pentakosta

 

JANGAN MENGHAKIMI SEBAB KAMU AKAN DIHAKIMI

(Rm 14:1-12)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kel 14:19-31 atau Kel 15:1b-11, 20-21 atau Kej 50:15-21; Mzm 114 atau Mzm 103:1-7, 8-13; Mat 18:21-35

 

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

Daftar selengkapnya khotbah untuk tahun 2014 dan tahun berikutnya dapat dilihat di website ini -> klik Pembinaan -> Teologi

 

Khotbah ini dipersiapkan sebagai bahan bagi hamba Tuhan GKSI di seluruh nusantara. Sebagian ayat-ayat dalam bacaan leksionari minggu ini dapat dipakai sebagai nas pembimbing, berita anugerah, atau petunjuk hidup baru.

 

Nas Rm 14:1-12 selengkapnya dengan judul: Jangan menghakimi Saudaramu

 

14:1 Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. 14:2 Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja. 14:3 Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu. 14:4 Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri. 14:5 Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri. 14:6 Siapa yang berpegang pada suatu hari yang tertentu, ia melakukannya untuk Tuhan. Dan siapa makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan ia juga mengucap syukur kepada Allah. 14:7 Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri. 14:8 Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. 14:9 Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup. 14:10 Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. 14:11 Karena ada tertulis: "Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah." 14:12 Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.

 

----------------------

 

Pendahuluan

Pada masa surat ini ditulis pengkut-pengikut Kristus di Roma masih banyak yang baru percaya dan mereka ini masih belum bisa membedakan kehidupan orang percaya dengan kehidupan dalam agama Yahudi. Bagi mereka hal yang dipercayai dan dijalani menurut Taurat seolah-olah masih berlaku dan ini jelas menjadi sumber perdebatan. Tetapi itu tidak mencerminkan bahwa mereka kurang percaya dan dapat dituduh beriman lemah, sementara mereka yang sudah hidup di dalam kebebasan Kristus atau mereka yang beriman kuat langsung dapat menghakimi apalagi menghina dengan merendahkan lainnya. Ini sangat mengganggu kesatuan jemaat dan damai sejahtera yang menjadi inti kehidupan orang Kristen. Setiap orang tidak dipanggil untuk menjadi hakim bagi orang lain, apalagi hal yang diperdebatkan seringkali tidak mendasar dan bukan merupakan pokok keimanan kita kepada Kristus. Untuk semua itu ada Hakim yang lebih benar dan adil bagi semua orang. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran sebagai berikut:

 

Pertama: Terimalah kelemahan dan perbedaan orang lain (ayat 1-3)

Ayat ini memberikan gambaran terjadinya perbedaan pendapat dalam jemaat di Roma tentang hal-hal tertentu yang dianggap belum terlalu jelas. Mereka senang berdebat dan berbeda dalam pandangan tentang bagaimana sikap yang benar di tengah-tengah masyarakat dan pemerintahan saat itu yang banyak menyimpang dari kehidupan orang Kristen. Mereka berdebat soal makanan yakni sayuran, daging dan darah, tentang memakan daging bekas persembahan pagan, atau soal merayakan hari-hari kebesaran pagan yang dijadikan hari kebesaran umat Kristiani. Mereka melihat cara memotong hewan yang dianggap masih menyisakan mengandung darah, sehingga akhirnya makan roti dan sayuran saja. Perbedaan soal makanan ini mungkin permasalahannya dari keinginan bebas dari batasan-batasan makanan dan pemahaman akan makna kebebasan dalam Kristus yang terbatas. Sebagian akhirnya mereka yang tidak mau makan daging atau sisa penyembahan berhala dianggap imannya lemah.

 

Akan tetapi bagaimana bisa terjadi orang Kristen sampai ikut memakan bekas makanan berhala saat itu? Seperti diketahui, sistim ritual zaman dahulu termasuk ibadah Yahudi, peranan korban persembahan sangat penting dan menjadi pusat ibadah, sosial dan kehidupan keseharian orang-orang di Roma. Prosesinya, setelah korban dipersembahkan kepada allah di kuil pagan, hanya sebagian daging korban itu yang dibakar. Sebagian lagi dagingnya umumnya sering dijual dan diperdagangkan di pasar, dan harganya di bawah pasar. Maka ada orang Kristen yang tidak peduli atau tidak tahu asal usulnya, membeli daging tersebut dan memakannya di rumah atau dengan teman-temannya. Sebagian lagi mengatakan orang percaya perlu bertanya asal usul daging tersebut sebelum membelinya; ini perlu untuk menghindari rasa bersalah (1Kor 10:14-33). Persoalan moril rasa bersalah ini menjadi berat bagi mereka yang pernah menyembah allah pagan dan ikut dalam ritual seperti itu. Bagi mereka, hal yang mengingatkan mereka akan allah pagan sebelumnya akan membuat iman mereka yang baru menjadi lemah. Tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa daging yang sudah dipersembahkan tidak masalah untuk dimakan, sebab mereka mempersembahkan kepada allah pagan yang tidak punya arti dan palsu. Rasul Paulus juga menjelaskan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (1Kor 8).

 

Firman Tuhan melalui Rasul Paulus ini mengingatkan secara tidak langsung agar mereka jangan terjebak kaku pada pendapat masing-masing. Perbedaan pendapat juga tidak perlu ditakuti dan dihindari tetapi diterima dan ditanggapi dengan kasih. Mereka jangan berharap juga setiap orang di dalam suatu jemaat selalu memiliki pendapat yang sama tentang segala hal. Justru melalui kekayaan perbedaan pendapat yang ada, mereka akan lebih memahami tentang apa yang diajarkan oleh Kitab Suci. Terima, dengarkan, dan hormati pendapat orang lain, itu yang penting. Kedewasaan iman membutuhkan proses yang panjang dan pembinaan. Perbedaan adalah wajar tetapi tidak perlu menjadi perdebatan panjang yang tidak akan membangun kesatuan jemaat, apalagi sampai membuat perpecahan dan pengelompokan, tetapi perbedaan justru sebagai sumber pembelajaran dan kekayaan dalam hubungan di antara jemaat. Misalnya, apabila seseorang menganggap orang lain berdosa atas perilakunya; akan tetapi orang yang "dihakimi" mengatakan bahwa yang menghakimi adalah mereka berpikiran sempit dan tidak punya pengharapan. Dalam situasi tersebut, siapa yang benar? Tentu kita sadari, beberapa pokok permasalahan dapat berubah dan dilihat berbeda sesuai latar belakang budaya, pendidikan dan kepercayaan masing-masing, akan tetapi apa yang disampaikan Rasul Paulus adalah suatu kebenaran yang dapat diterapkan bagi siapa saja. Ia tidak berusaha hidup di dalam kehidupan intelektual yang terasing di dalam menara gading. Ia menerapkan teologi ke dalam kehidupan sehari-hari yang nyata, melakukan sesuai dengan yang dikhotbahkannya. Sebagaimana kita ketahui, surat Roma yang begitu indah dan dalam ditulis dengan maksud lainnya yakni untuk mengumpulkan dana bagi korban kelaparan dan kekerasan yang terjadi di Yerusalem (Rm 15:25-27).

 

Kedua: Semua yang dilakukan adalah untuk Tuhan (ayat 4-6)

Apa yang menjadi perdebatan umat Kristen saat ini sehingga orang percaya dapat saling menghakimi? Apakah soal makanan? Soal cara beribadah dan bernyanyi? Soal perayaan natal yang megah atau paskah? Makan daging yang dicampur dengan darah? Soal tradisi budaya leluhur atau kain/barang tradisional yang dianggap sinkritisme? Minum anggur atau minuman beralkohol? Pertanyaannya: bagaimana sikap kita dengan mereka yang berbeda pendapat dengan kita? Menurut Rasul Paulus mereka yang lemah adalah orang yang baru di dalam iman dan sebagai orang percaya baru membutuhkan banyak aturan dan ketentuan. Rasul Paulus menasihatkan kepada mereka yang lemah dan juga yang kuat tentang perbedaan budaya dan kebiasaan, melihat soal makan atau tidak memakan makanan tertentu itu lebih kepada pilihan, bukan persoalan moral. Namun, pandangan dan sikap dalam  soal makanan bisa menjadi masalah moral ketika mereka menghakimi orang lain dengan tidak bijak dan benar. Demikian juga soal peringatan hari-hari penting, agar mereka tetap mendasarkan kepada penyembahan kepada Yesus Kristus, Tuhan kita semua.

 

Apa yang disebut dengan iman yang lemah? Rasul Paulus berbicara tentang iman yang belum dewasa bagaikan tubuh yang otot-ototnya belum dikembangkan dan siap menerima tekanan-tekanan dari luar. Misalnya, jika seseorang yang tadinya penyembah pagan dan menjadi Kristen, dia sangat mengerti dengan jelas bahwa Kristus telah menebus dan menyelamatkannya melalui iman dan allah pagan tidak memiliki kuasa itu. Begitu juga, dengan latar belakang kehidupan pagan, dia mungkin akan merasa tergoncang berat jika dia tahu memakan makanan bekas atau sisa penyembahan berhala merupakan keikutsertaan dalam penyembahan berhala tersebut (band. 1Kor 8:9-12; 9:22).  Jika seseorang Yahudi yang terbiasa mengikuti aturan-aturan hari besar dan suci bagi agama Yahudi, seperti Sabat beristirahat harus di hari Sabtu (Kej 2:2-3; Kel 20:11; Yes 58:13-14; band. Kis 20:7; 1Kor 16:2; Gal 4:10), hari berpuasa, dan kemudian kemudian menjadi seorang Kristen, dia sangat tahu bahwa ia diselamatkan karena iman dan bukan karena ketaatannya pada aturan-aturan ritual hari raya tersebut. Demikian juga ketika hari raya lainnya tiba, dia akan merasa hampa tidak berarti jika dia tidak melakukan sesuatu pada hari raya itu kepada Tuhan.

 

Hal yang perlu kita lihat, Rasul Paulus merespon kepada mereka yang imannya yang lemah dan kuat dengan penuh kasih. Kedua kelompok itu sebenarnya bertindak sesuai dengan kesadaran dan hati nuraninya, akan tetapi keberatan atau keragu-raguan mereka yang jujur tidak perlu dijadikan sebagai aturan baru di dalam jemaat. Kalau mereka yang ingin makan sesuatu yang menurut orang lain najis, maka tetap saja makan dengan cara yang tidak perlu "bangga" atau pamer apalagi harus berdebat dan berselisih. Lakukanlah semuanya dalam ucapan syukur (1Kor 10:30, 31; 1Tim 4:3,4). Bagi mereka yang mengutamakan aturan Rasul Paulus berkata: orang percaya yang imannya kuat sebaiknya menekankan untuk tidak membuat banyak aturan dan ketentuan (Kol 2:16-23). Mungkin beberapa hal pokok sangat penting bagi iman mereka dan perlu untuk didiskusikan, akan tetapi kebanyakan lebih kepada perbedaan pendapat pribadi dan tidak perlu dikukuhkan menjadi aturan baku jemaat. Prinsip orang percaya dalam bersekutu dan berjemaat haruslah: dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dalam segala hal, kasih. Yang penting, mereka melakukan semuanya dengan keyakinan yang penuh, dan berpegang pada prinsip mereka berdiri karena Allah berkuasa atas diri mereka.

 

Ketiga: Hidup bukan untuk diri sendiri (ayat 7-9)

Siapakah yang lemah dan siapa yang kuat? Kita umumnya lemah di satu bidang dan kuat di bidang lainnya. Iman kita dapat disebut kuat ketika kita hidup bersama-sama di sebuah kumpulan orang-orang berdosa dan kita tidak terpengaruh ikut ke dalamnya. Kita adalah orang yang lemah ketika kita menghindar dari sebuah kegiatan, tempat, atau pergaulan dengan orang lain demi untuk menjaga kehidupan rohani kita. Memang sangat penting mengenali setiap kelemahan dan kekuatan kita dalam karunia rohani. Bagi iman yang lemah, kita perlu hati-hati dan waspada dan jangan mencobai Allah. Apabila kita ragu, kita boleh bertanya: apakah saya cukup kuat melakukan hal itu tanpa nanti berdosa? Apakah saya mampu untuk mempengaruhi orang lain untuk lebih baik, atau malah saya yang akan terpengaruh oleh mereka? Tapi apabila iman kita lemah dan kita "ingin menonjolkan diri", maka sebenarnya kita adalah orang yang benar-benar bodoh. Sebaliknya, bagi imannya yang kuat, kita tidak perlu takut akan rusak oleh dunia; dan kita lebih baik ikut bergabung melayani Tuhan. Justru apabila kita sebenarnya kuat namun kita menyembunyikan dan mengabaikannya, maka kita sebenarnya tidak melakukan apa yang diperintahkan Kristus dilakukan di dunia ini.

 

Kita hidup berada di dunia ini bukan sebuah kebetulan, apalagi mengganggap sebuah "kecelakaan". Allah melalui Yesus memiliki rencana bagi setiap individu di tengah-tengah seluruh ciptaan-Nya. Memang seringkali manusia mengabaikan hal itu sehingga melihat hidup itu hanya kebetulan, sambil lewat, "dijalani saja", tanpa berusaha untuk mencari dan memahami rencana terbaik Tuhan dalam dirinya. Setiap orang dalam dirinya ada potensi berkat yang bukan hanya untuk dia sendiri tetapi bisa juga untuk orang lain meski dengan keterbatasan (band. Yoh 9:3 dab tentang anak yang lahir buta). Apalagi bagi mereka yang sehat fisik dan jasmani terutama yang diberi karunia rohani khusus termasuk kecerdasan, maka hidupnya pasti penuh dengan potensi berkat yang siap dibagikan kepada orang lain sesuai dengan rencana Tuhan. Maka kita akan mudah memahami bahwa kita hidup bukan untuk diri kita saja. Segala "kelebihan" yang kita miliki pasti dipersiapkan dan diperuntukkan untuk menutup "kekurangan" orang lain (2Kor 8:13-15). Sama halnya, kekurangan diri kita pasti akan bisa ditutup oleh kelebihan orang lain, sepanjang kita mengakui dan bersedia untuk kerjasama bersinergi.

 

Dengan demikian, kita dapat sebutkan bahwa kita ditebus dan diselamatkan ke dalam kerajaan-Nya adalah dalam rencana untuk kemuliaan Tuhan semata. Dengan ditebus dan diselamatkan maka sebenarnya kita sudah menjadi milik Tuhan sebagai Penebus, sama konsepnya dengan penebusan budak dari tuan yang lama. Kita ditebus dan dibebaskan dari budak dosa dan tuan kita yang lama yakni Iblis dan kita masuk dalam kerajaan baru yang damai sejahtera dan penuh kemuliaan. Dengan ditebus maka kita juga diangkat menjadi anak-anak-Nya yang akan ikut mewarisi bagian dari Kerajaan Allah (Yoh 1:12). Memang dalam hal ini, kembali kita diuji, apakah kasih penyelamatan itu kita sia-siakan dan hidup kita kembali kepada kehidupan yang lama, atau hidup kita dipakai untuk memenuhi panggilan dan rencana Tuhan masuk dalam pelayanan. Sebagian orang mungkin akan kembali terjerat godaan Iblis, sebagian lagi tetap berusaha setia tetapi tidak terpanggil untuk masuk dalam pelayanan, dan sebagian tetap setia dan masuk dalam pelayanan. Semua itu akan kita pertanggungjawabkan kelak setelah kita mati, sebab diri kita telah menjadi milik-Nya, maka hidup dan mati kita adalah menjadi milik-Nya dan itulah yang kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan kita.

 

Keempat: Janganlah menghakimi dan menghina saudaramu (ayat 10-12)

Firman Tuhan bertanya ke dalam lubuk hati kita terdalam: mengapa kita (harus) menghakimi? Mengapa kita sampai menghina yang imannya kita anggap lemah? Apa tujuan semua itu? Memang firman Tuhan memberi peluang "penghakiman" dalam gereja, akan tetapi mesti sesuai dengan prinsip Alkitab (Mat 18:15-20). Tuhan Yesus mengatakan apabila seorang jemaat kita anggap melakukan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, maka ada tahapan-tahapan "penghakiman" yang dilakukan, yakni:

  • Berbicara empat mata;
  • Berbicara dengan membawa orang lain sebagai saksi;
  • Membawa kepada sidang jemaat;
  • Mengeluarkan dari keanggotaan dan dianggap tidak mengenal Allah di dalam Tuhan Yesus (sebaiknya melalui proses panjang didahului dengan mendoakan dan mengingatkan dampak bila tetap berbeda pendapat).

 

Dengan demikian motivasi dan tujuan kita melakukan penilaian dan memberi nasihat (istilah yang lunak dari penghakiman) adalah bertujuan baik untuk kebaikan orang tersebut, dan bukan untuk memperlihatkan kehebatan dan kelebihan kerohanian kita. Dalam hal ini tidak ada peluang sedikitpun dari Alkitab untuk kita boleh menghina dan merendahkan (Luk 18:9).

 

Kita tidak perlu takut dan menghindar dari proses yang dinyatakan dalam Alkitab itu, apabila ada "tindakan" seseorang yang menjadi pergunjingan dan perdebatan. Kita juga tidak perlu tenggang rasa sebab itu adalah kasih yang berpura-pura dan malah menjerumuskan. Meski kita masuk dalam penilaian dan "penghakiman" gerejawi, kita bisa lolos dan beradu argumen dan keahlian, namun kita tetap akan menghadapi pengadilan Allah. Tak seorang pun yang akan bisa menghindar dari proses itu dan semua orang bertekuk lutut. Allah mencatat, mengingat, menimbang, memperhatikan, menetapkan dan memutuskan segalanya dengan adil dan benar. Tidak perlu ada saksi-saksi sebab Allah adalah Maha Kuasa. Allah tidak membutuhkan pandangan dan penilaian manusia yang subjektif serta sering terkotori oleh dosa. Setiap orang bertanggungjawab pada Kristus secara langsung, bukan kepada orang lain atau kepada gereja. Ketika kita berdiri di hadapan Yesus dalam pengadilan akhir zaman, kita juga tidak diperlukan mengurusi atau memberitahukan hal yang dilakukan oleh orang lain, semuanya hanya tentang diri kita sendiri (2Kor 5:10).

 

Akan tetapi gereja tetap perlu bersikap tidak kompromistis terhadap kelakuan yang jelas-jelas dituliskan dalam Alkitab, seperti perzinahan, homoseksual, pembunuhan, pencurian dan lainnya, akan tetapi terhadap hal-hal yang tidak prinsip gereja tidak perlu membuat aturan atau ketentuan baru di dalam jemaat. Hal yang perlu dihindari dan diajarkan terus menerus agar orang Kristen jangan melakukan penghakiman moral berdasarkan pendapat pribadi, suka atau tidak suka, standar budaya yang bias dan bukan berdasarkan firman Tuhan (Mat 7:1). Mereka tidak perlu mencari kemenangan atas pendapat dan keunggulan rohani untuk dipuji dan bercongkak, sebab mengutamakan menang dan kalah dalam kehidupan jemaat tidak sesuai dengan sifat kasih. Ketika mereka melakukan hal tersebut, mereka justru memperlihatkan iman yang lemah sebab tidak menyadari bahwa Allah berkuasa dan siapa sedia membimbing semua anak-anak-Nya. Kita saling menerima apa adanya. Setiap orang perlu menjaga hubungan yang baik dan penuh kasih dengan tetap berprinsip hanya ada satu Hakim yang adil dan benar dan memberikan ganjaran yakni Tuhan Yesus Kristus. Dia-lah satu-satunya yang memiliki hak dan kewenangan menghakimi manusia.

 

Penutup

Dari bacaan dan uraian di atas kita mengetahui bahwa Allah memberikan dan membiarkan perbedaan dalam kehidupan orang percaya sebagai suatu ujian, dengan maksud apakah kita akan pakai untuk menghakimi dan merendahkan orang lain; atau kita dapat melihatnya sebagai sumber kekayaan hikmat dari Allah. Kita yang merasa kuat dan dapat berdiri teguh harus dapat menerima perbedaan dan yang kita anggap lemah. Apa yang kita terima dan lakukan dalam kehidupan ini, bagaimanapun juga, adalah semua berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan untuk kemuliaan-Nya. Kita ditebus dan diselamatkan dari kematian kekal oleh Tuhan Yesus berarti kita telah menjadi milik-Nya. Kita hidup bagi Tuhan dan kita mati pun bagi Tuhan. Hidup dan mati kita semua dipersembahkan kepada Tuhan. Kita tidak dapat hidup untuk diri sendiri sebab Allah memberikan berkat dan karunia rohani itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Oleh karenanya jangan menghakimi apalgi menghina sesama saudara sebab kita juga akan dihakimi. Perintah nas ini adalah agar kita menerima perbedaan dengan prinsip Kekristenan: dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dan dalam segala hal, kasih.

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

(Dipersiapkan oleh Pdt. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min, Wakil Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode GKSI dari berbagai sumber dan renungan pribadi. Catatan untuk hamba Tuhan yang menyampaikan firman, menjadi lebih baik jika pada setiap penyampaian bagian khotbah diusahakan ada contoh atau ilustrasi nyata dari kehidupan sehari-hari, dan juga diselingi humor yang relevan. Ilustrasi dapat diambil dari pengalaman pribadi, orang lain, sejarah tokoh, peristiwa hangat saat ini atau lainnya, sementara contoh untuk humor dapat diakses melalui internet dengan mengetik kata kunci yang terkait didahului kata humor atau joke).

 

Khotbah Minggu 7 September 2014

Khotbah Minggu 7 September 2014

 

Minggu XIII Setelah Pentakosta

 

kasih adalah kegenapan hukum Taurat

(Rm 13:8-14)

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Kel 12:1-14 atau Yeh 33:7-11; Mzm 149 atau Mzm 119:33-40; Mat 18:15-20

 

(berdasarkan http://lectionary.library.vanderbilt.edu/index.php)

Daftar selengkapnya khotbah untuk tahun 2014 dan tahun berikutnya dapat dilihat di website ini -> klik Pembinaan -> Teologi

 

Khotbah ini dipersiapkan sebagai bahan bagi hamba Tuhan GKSI di seluruh nusantara. Sebagian ayat-ayat dalam bacaan leksionari minggu ini dapat dipakai sebagai nas pembimbing, berita anugerah, atau petunjuk hidup baru.

 

Nas Rm 13:8-14 selengkapnya dengan judul: Kasih adalah kegenapan hukum Taurat

 

(13.8) Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi hukum Taurat. (13.9) Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengingini dan firman lain manapun juga, sudah tersimpul dalam firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (13.10) Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat. (13.11) Hal ini harus kamu lakukan, karena kamu mengetahui keadaan waktu sekarang, yaitu bahwa saatnya telah tiba bagi kamu untuk bangun dari tidur. Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita dari pada waktu kita menjadi percaya. (13.12) Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang! (13.13) Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. (13.14) Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.

 

----------------------------------

 

Pendahuluan

Nas minggu ini merupakan kelanjutan pasal 13:1-7 tentang perintah tunduk pada pemerintah yang resmi berkuasa dan dari Allah. Salah satu sikap tunduk itu adalah kepatuhan dalam membayar pajak dan cukai sehingga tidak menjadi hutang berkepanjangan. Sikap ini didasari atas kebenaran dan kasih kepada pilihan Allah yang memerintah untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat banyak, yang kemudian kita menerima manfaatnya sebagai warga. Selanjutnya nas minggu ini menekankan kasih yang lebih menyeluruh di dalam hidup umat-Nya, sebab sesuai yang dituliskan, kasih sejatinya adalah kegenapan hukum Taurat. Sikap kasih itu dijabarkan dari larangan berpura-pura hingga wajib diwujudkan segera dalam kehidupan saat ini sebab waktu yang sempit sebelum kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran tetang pelaksanaan kasih sebagai berikut.

 

Pertama: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (ayat 8-9)

Pertanyaan untuk nas ini adalah: Mengapa hutang dikaitkan dengan kasih. Dalam ayat-ayat sebelumnya kita diingatkan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban kita di dalam kehiduan sehari-hari dengan tepat dan benar, termasuk kepada pemerintah untuk pembayaran pajak, cukai, rasa takut dan hormat. Alasannya jelas; Kalau dalam hubungan dunia, kita mendapatkan hal dari pemerintah seperti perlindungan keamanan, fasilitas publik, dan lain-lain, maka untuk itu kita perlu membayar pajak dan bea (band. Mat 22:21). Dalam hal ini firman Tuhan mengatakan jangan kita berhutang apalagi “ngemplang” kepada pemerintah sebab kita sudah memerima kebaikannya. Hukum timbal balik dalam pengertian positip adalah sesuatu yang baik dan wajar. Maka kita juga yang sudah percaya pada Yesus dan menerima anugerah-Nya berupa penebusan dan keselamatan kekal, maka kita juga jangan sampai berhutang kepada Tuhan Yesus, sebab kasih Allah yang melimpah dicurahkan secara permanen kepada kita. Jalan terbaik untuk membayar hutang kasih kepada Allah itu adalah dengan memenuhi kewajiban kasih kepada sesama di samping terus mengikuti perintah-Nya serta menyembah dan memuliakan-Nya (1Yoh 5:2). Kasih Yesus selalu jauh lebih besar dari yang bisa kita berikan, Ia juga lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh 4:19) sehingga tidak mungkin terbayarkan meski dengan nyawa kita. Oleh karena itu dikatakan kasih kepada sesama disebut sebagai hutang, bahkan hutang yang tidak dapat dibayar habis dan untuk membayarnya hanya dengan jalan kasih saja.

 

Demikian juga dikatakan bahwa kasih terhadap sesama itu dimulai dan seperti kasih kepada diri sendiri. Kita tidak boleh berpikir bahwa mengasihi diri sendiri adalah salah. Mengasihi diri sendiri dalam arti memberi respek terhadap diri sendiri dan mengakui karunia rohani dari Allah di dalam diri kita, itu adalah sikap yang baik. Mengasihi diri sendiri dalam arti memelihara dan mengembangkan pikiran, tubuh, dan potensi diri kita, menggunakan seluruh karunia rohani tujuan yang baik bagi Tuhan, jelas akan menyenangkan hati Tuhan. Hal yang dilarang dan ditolak Tuhan adalah mencintai diri sendiri secara berlebihan, yang dalam hal ini itu akan menjadi tanpa ujung dan bisa tak habis-habisnya. Mengendalikan diri demi untuk dapat menyatakan dan mewujudkan kasih kepada sesama adalah pilihan orang Kristen. Hakekat kristiani adalah pengorbanan. Tidak ada arti dan makna yang lebih dalam dari KASIH di dalam bahasa Indonesia yang berarti MEMBERI. Kasih artinya memberi. Memberi artinya berkorban dan tidak menuntut apa yang menjadi bagian dan kepentingan kita. Apabila kita belum mampu member, maka bisa dengan meminjamkan yang kita punyai (Kel 22:25; Mzm 37:26; Mat 5:42). Kalau kita meminjam maka segeralah lunasi atau mengembalikan apa yang kita pinjam tanpa membuat orang lain sudah dan menderita (band. Mat 7:12). Oleh karenanya Firman Tuhan mengatakan, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh 3:18).

 

Mungkin kita memiliki rasa harga diri yang rendah, akan tetapi tidak mungkin membiarkan diri kita kelaparan. Baju yang kita pakai pun mungkin bisa sederhana saja. Kita juga pasti akan marah apabila seseorang mencoba menghancurkan rumah tangga kita, sebab kita mengasihi anak-anak kita. Ini semua adalah kasih yang kita butuhkan untuk sesama. Oleh karena itu pastikanlah bahwa ada ukuran plafon atau atap di atas kepala kita, agar kita tidak narsis besar kepala mencintai diri sendiri berlebihan. Kita perlu melihat apakah tetangga kita cukup makan bergizi, mereka memiliki pakaian yang layak, atau tempat tinggal yang layak huni? Apakah kita peduli dengan masalah ketidakadilan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat? Atau, apakah kita tergerak bilamana ada sebuah bencana sosial terjadi di wilayah tertentu dan tergerak memberikan sumbangan? Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri berarti kita secara aktif terlibat dan terbeban akan kebutuhan mereka tercukupi secara layak. Hal yang menarik dari kehidupan, justru mereka yang memberi perhatian pada orang lain lebih banyak disbanding kepada dirinya sendiri, sangat jarang menderita rasa harga diri yang rendah. Ada kebanggaan, optimisme dan percaya diri. Maka, wujudkanlah kasih itu sepanjang kita bisa (Yoh 13:34; Kol 3:14). Dengan mewujudkan kasih seperti itu, maka kita telah menjalankan hukum Taurat.

 

Kedua: Kasih adalah kegenapan hukum Taurat (ayat 10)

Allah mengasihi umat-Nya dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Dalam perjalanan keluar itu, Allah memberikan petunjuk dan pedoman hidup berupa hukum Taurat bagi bangsa Israel agar mereka tetap bebas merdeka dan selamat melalui kesetiaan pada hukum itu, dan seluruh umat manusia juga ikut diselamatkan melalui keteladanan bangsa itu. Hukum itu diturunkan kepada mereka melalui Musa dan itulah yang mereka pakai selama ribuan tahun. Inti hukum Taurat adalah “Sepuluh Perintah Allah” yang pada bagian pertama mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (perintah kesatu hingga keempat) dan hubungan manusia dengan sesamanya (perintah kelima sampai kesepuluh). Uraian rinci atas sepuluh perintah itu tersebar dalam kitab Keluaran, Bilangan, Imamat dan Ulangan, serta beberapa penegasan dan tambahan dalam kitab-kitab para nabi dan kitab puisi dan Mazmur. Namun kemudian oleh para ahli Taurat dan pemimpin Yahudi, mereka mengembangkan hukum-hukum itu sedemikian rupa yang lebih kepada kepentingan mereka sendiri dan bukan mengutamakan kepentingan Allah, sehingga hukum Taurat lebih dilihat sebagai kewajiban mutlak tanpa ada hikmat dan kasih. Hal ini dapat kita lihat pada aturan persembahan harus tidak bercacat yang mengakibatkan hewan dijual di depan Bait Allah (Mat 21:12), pembayaran persepuluhan hingga dari hasil tanaman di halaman (Mat 23:23), beribadah harus ke Yerusalem, dan sebagainya yang menghilangkan makna kasih sejati Allah.

 

Padahal, sangat jelas hukum Taurat diberikan bukan bermaksud membatasi kebebasan manusia, melainkan sebagai kaidah moral dan rohani untuk menjaga agar mereka tidak masuk dalam bahaya jeratan Iblis. Kita juga tahu betapa mudahnya untuk memaafkan kelalaian kita terhadap orang lain demi semata-mata karena kita merasa tidak memiliki kewajiban untuk menolong mereka; bahkan membenarkan tindakan kita untuk menyusahkan orang lain apabila secara legal hal itu memungkinkan. Sebagai orang berdosa kita akan lebih mudah memaafkan dan membenarkan diri sendiri. Padahal, kalau dilihat Im 19:18 sebagai sumber awal nas ini bahwa inti dan hakekat hukum Taurat adalah kasih, kasih kepada Allah dan kepada sesama, sebagaimana diungkapkan, "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perintah kasih kepada sesama ini merupakan lanjutan dari hakekat pertama hukum Taurat, yakni: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul 6:5). Kedua hakekat hukum inilah inti dari semua kaidah-kaidah itu dan kemudian ditegaskan kembali oleh Tuhan Yesus di dalam perjanjian baru (Mat 22:37-40; Mrk 12:30-31; Luk 10:27).

 

Perjanjian baru mengatakan bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:8). Hukum Taurat sebenarnya adalah ekspresi sifat Allah dalam bentuk perintah positip dan perintah larangan/negative (band. Kej 2:17; 1Kor 13:4-6; dan lainnya). Dengan demikian prinsip hukum dalam kehidupan orang Kristen harus mengikuti hukum kasih yang melampaui hukum moral, hukum adat dan hukum negara. Tuhan Yesus menetapkan kasih dan tidak meninggalkan celah kelemahan di dalam hukum kasih itu. Setiap saat kasih dibutuhkan, kita harus bisa melewati persyaratan hukum-hukum legal dunia dan meniru kasih Allah (band. Yak 2:8,9; 4:11 dan 1Pet 2:16,17 tentang hukum kasih Allah). Hal ini wajar, sebab tujuan hukum hanya dua, yakni:  ketertiban dan keadilan. Oleh karena hukum Allah hakekatnya adalah kasih, maka apa yang dituliskan dalam hukum Taurat pada dasarnya untuk tujuan ketertiban/keberaturan dan keadilan yang berdasarkan kasih. Dengan demikian, meski ada hukuman dalam sistim hukum Taurat, itu pada dasarnya untuk jalan menuju kebaikan dengan tujuan pertobatan. Memang dalam hal tertentu untuk mencegah dampak yang lebih luas, seseorang yang melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum Taurat dapat dihukum mati. Dalam hal ini kita melihat kasih diutamakan bagi mereka yang masih setia agar mereka tidak terjerat dalam perbuatan jahat yang sama.

 

Ketiga: Menanggalkan perbuatan kegelapan (ayat 11-12a)

Rasul Paulus menekankan pentingnya kasih kepada Allah dan sesama itu diwujudkan segera dan saat ini. Perbuatan kasih itu tidak boleh ditunda-tunda, sebagaimana hutang harus dibayar dengan segera. Konsepnya bukan "time is money" tetapi "time is love". Setiap kesempatan yang ada dimanfaatkan untuk menyatakan kasih, sekecil apa pun itu wujudnya, seperti pemberian senyum bagi semua orang yang kita temui. Segala keengganan dan kelesuan harus dibuang, apalagi kesombongan. Demikian juga dengan aturan-aturan yang membuat kita harus terhalang mengungkapkan kasih. Kisah orang samaria yang murah hati dapat kita ambil sebagai contoh, bagaimana seorang imam berjalan turun dari Yerusalem ke Yerikho dan ditengah jalan ia melihat seseorang tergeletak terluka korban perampokan. Imam tersebut melewatinya begitu saja karena berpikir ia akan najis bila tubuhnya kena darah; orang Lewi juga melewatinya begitu saja karena berpikir orang tersebut mungkin berpura-pura terluka dan punya rencana jahat. Keduanya sama sekali tidak terpikir dan tergerak untuk menolong korban itu. Namun yang dilakukan oleh orang Samaria sungguh penuh kasih; ia berhenti dan menolong, membawa korban itu ke penginapan, dan bahkan mengobatinya. Itulah kasih yang tidak boleh ditunda.

 

Rasul Paulus mengatakan bahwa waktu sudah sangat sempit sehingga jangan terlena dan terlelap, melainkan harus bangun dan sigap. Waktu sisa yang sempit diekspresikannya dengan mengaitkan pada kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Kalau kita lihat peristiwa kenaikan Tuhan Yesus sekitar tahun 33M dan surat ke jemaat di Roma ini ditulis sekitar tahun 55 – 57 M, maka sebenarnya waktunya baru sekitar dua puluhan tahun saja. Namun ia sudah berkata, “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang.” Istilah siang di sini jelas berarti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Ini juga yang dimaksudkan dalam kalimat "Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya." Meski kenyataannya bahwa Yesus tidak datang pada masa itu dan bahkan masa kini, hal itu tidak berarti bahwa hal yang disampaikan Paulus tidak benar atau bohong. Kita melihatnya dari dua sisi: pertama, Paulus merindukan secara pribadi kedatangan Yesus kembali dan ingin melihat Tuhannya itu kembali saat ia masih hidup, dan itu harus menjadi sikap kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mengatakan sebagaimana Doa Bapa Kami: “datanglah kerajaan-Mu” dan “jadilah kehendak-Mu”. Faktor kedua, Rasul Paulus mengambil istilah malam dalam nas ini berarti masa saat itu adalah masa yang sangat jahat ketika semakin banyak orang melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan hal itu sangat mengganggu hatinya untuk secepatnya berlalu.

 

Hal yang cukup menarik dari firman ini adalah kasih dihubungkan dengan perbuatan kegelapan. Kita juga heran dengan daftar yang dibuat oleh Rasul Paulus yakni perselisihan dan kecemburuan disejajarkan dengan dosa-dosa yang nyata-nyata berat, seperti pesta pora, mabuk, dan kemerosotan moral seksual. Hal ini tidak mengherankan sebagaimana Tuhan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit, Rasul Paulus juga menekankan sikap dan perbuatan sama pentingnya, dan kecendrungan yang membuat seseorang jatuh lebih dalam lebih baik dicegah dikorbankan sumbernya. Mata yang membuat dosa maka mata bila perlu dicungkil atau tangan yang menyesatkan lebih baik dipotong (Mat 5:29-30). Maka dalam hal ini sama seperti kebencian bisa mengarah pada pembunuhan, kecemburuan juga dapat menuju perselisihan dan nafsu untuk perzinahan, sehingga dosa itu disejajarkan dengan yang berat. Pokok penting yang bisa kita tangkap dari firman ini adalah, ketika Tuhan Yesus kembali, Dia ingin agar murid-murid hidup di dalam kasih dan menanggalkan kegelapan. Mereka yang hidup terlepas dari kasih akan masuk dalam kegelapan dan membuat jauh dari kekudusan. Kasih, sebaliknya, membuat seseorang tetap dalam terang dan berjalan di dalam kekudusan serta kekudusannya di bagian luar sama dengan di dalam (hatinya).

 

Keempat: Tuhan Yesus sebagai perlengkapan senjata terang (ayat 12b-14)

Rasul Paulus memahami kehidupan di dunia yakni dalam melawan kegelapan bukanlah hal yang mudah. Kelemahan tubuh dan daging dan kemampuan iblis menggoda membuat setiap manusia mudah terjerat dan tidak lepas dari kegelapan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa untuk melawannya tidak cukup dengan kemampuan roh manusia dengan keterbatasan emosional dan pikiran, sehingga perlu kekuatan dari luar dirinya. Dalam suratnya kepada jemaat Korintus ia mengatakan, "Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng" (2Kor 10:3-4). Dalam surat kepada jemaat di Efesus, ia kemudian menuliskan, "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; .... Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri. Senjata Allah yang disebutkan adalah:  berdiri tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kaki berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;  mempergunakan perisai iman untuk memadamkan semua panah api dari si jahat; menerima ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dan bertekun dalam segala doa dan permohonan (Ef 6:11-17).

 

Bagaimana kita mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang? Pertama, hendaklah kita dipersatukan dengan Kristus melalui baptisan, seperti dikatakan firman, "Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus" (Gal 3:27). Ini memperlihatkan tanda kebersamaan kita seperti umat Kristen lainnya dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus. Kedua, kita bertekun di dalam pengetahuan dan pemahaman firman. Firman bukanlah semata-mata kata-kata, melainkan memiliki kuasa untuk merubah hidup kita. Ketiga, kuasa Roh Kudus yang kita miliki melalui pengakuan iman dan baptisan serta di dalam firman yang hidup, kita berusaha terus menerus meneladani kualitas Yesus di dalam kehidupan kita di dunia ini, yakni di dalam kasih, kerendahan hati, kebenaran dan pelayanan. Artinya, kita berusaha melakukan peran (role-play) yang sama seperti yang dilakukan Kristus dahulu pada situasi kita saat ini (Ef 4:24-32; Kol 3:10-17). Orang Kristen sekarang diminta menjadi "anak-anak siang" yakni sifat dan perbuatan yang sesuai dengan dekatnya Kerajaan Allah (Ef 5:14; 1Tes 5:6, 10; Yak 5:8; 1Yoh 2:18)

 

Dengan perlengkapan senjata terang di dalam Kristus, maka kita tidak mudah mengikuti keinginan nafsu dalam setiap kesempatan untuk membawa kita ke dalam dosa. Namun ada hal yang perlu kita perhatikan dalam nas ini yakni bahwa pemakaian senjata terang itu hanya akan efektip bekerja terus menerus apabila kita terlebih dahulu meninggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan. Artinya, ada roh pertobatan dan kerinduan dalam hati seseorang untuk datang kembali kepada Tuhan yang mendahului pemakaian senjata terang tersebut. Senjata terang hanya akan bekerja efektip apabila senjata itu berada di tangan yang percaya dan terang di dalam Kristus, sebab apabila tidak setia, maka senjata itu tidak akan efektip pemakaiannya. Ketaatan dan komitmen orang percaya adalah bukti kasih kepada Allah. Bilamana masih kuat hasrat yakni emosi dan motivasi untuk menyenangkan tubuh dan daging dan merawatnya sebagaimana diingatkan melalui firman ini, maka pembaharuan dan penyucian tidak akan berhasil. Keinginan ke dalam kegelapan akan membuka pintu memuaskan keinginan dosa. Oleh karena itu kita tetap dalam sikap waspada (band. Luk 12:35; Mat 24:42-44).

 

Penutup

Kehendak Allah yang disampaikan Rasul Paulus bagi orang percaya adalah pikirannya harus terus menerus dibaharui dan ini perlu diingat dan dilakukan dengan benar. Kasih Allah yang sudah diberikan kepada kita berupa penebusan dan keselamatan harus kita kembalikan dengan mengasihi Allah dan khususnya diwujudkan kepada sesama manusia. Untuk itu pelaksanaan kasih tidak boleh berpura-pura dan menarik keuntungan dari kasih yang diberikan. Pemahaman kasih ini sangat penting sebab kasih adalah kegenapan hukum Taurat dan menjadi hukum utama di dalam kehidupan orang percaya. Untuk dapat mewujudkan kasih dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu meninggalkan dunia lama yakni menanggalkan segala kegelapan, sehingga kasih yang kita lakukan tersebut benar-benar adalah tulus dan bagian dari kasih kita kepada Allah. Kita harus memberi garis pemisah antara kebenaran dan kejahatan, antara hidup lama dengan hidup baru. Hal ini perlu dilakukan segera dan saat ini sebab waktunya sudah sempit yakni akan datangnya Tuhan Yesus kembali. Maka melalui komitmen yang sudah ada, kita memerlukan senjata-senjata agar tidak terperosok lagi di dunia kegelapan itu. Oleh karenanya, senjata-senjata terang yang paling ampuh dan efektip adalah yang bersumber dari Kristus. Mari kita renungkan: Bagaimana kasih nyata di dalam hidupku? Apakah kasihku berpura-pura, tertunda dan kudus? Apakah aku memakai senjata terang dari Kristus?

 

Tuhan Yesus memberkati.

 

(Dipersiapkan oleh Pdt. Ir. Ramles Manampang Silalahi, D.Min, Wakil Sekretaris Umum Badan Pengurus Sinode GKSI dari berbagai sumber dan renungan pribadi. Catatan untuk hamba Tuhan yang menyampaikan firman, menjadi lebih baik jika pada setiap penyampaian bagian khotbah diusahakan ada contoh atau ilustrasi nyata dari kehidupan sehari-hari, dan juga diselingi humor yang relevan. Ilustrasi dapat diambil dari pengalaman pribadi, orang lain, sejarah tokoh, peristiwa hangat saat ini atau lainnya, sementara contoh untuk humor dapat diakses melalui internet dengan mengetik kata kunci yang terkait didahului kata humor atau joke).

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 36 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8561955
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
3
73300
73303
8223859
713240
883577
8561955

IP Anda: 172.70.142.90
2024-12-16 00:01

Login Form