Sunday, December 15, 2024

2023

Khotbah Minggu Keduapuluh empat setelah Pentakosta – 12 November 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu XXIV setelah Pentakosta – 12 November 2023 (Opsi 2)

 

 BIJAKSANA ATAU BODOH (Mat. 25:1-13)

 

 "Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya” (Mat. 23:12)

 

  

 

Tidak terasa dalam tiga minggu ke depan menurut kalender gereja, kita akan memasuki masa Adven. Firman Tuhan bagi kita saat ini Mat. 25:1-13, berbicara tentang gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh. Dituliskan, Kerajaan Sorga seumpama sepuluh gadis, pengiring yang menyongsong mempelai laki-laki dengan membawa pelita. Tradisi menanti pengantin pria sangat umum di Palestina. Dalam perumpamaan ini disebutkan dari sepuluh, ada lima gadis bodoh dan lima yang bijaksana. Gadis bodoh membawa pelita tetapi tidak membawa minyak, sedangkan gadis-gadis yang bijaksana membawa pelita dan juga minyak dalam buli-buli mereka (ayat 2-4).

 

 

 

Yang jelas semua gadis kemudian mengantuk dalam penantian, lalu tertidur. Tetapi di tengah malam, terdengar suara berseru: Mempelai datang! Songsonglah dia! Dan kita tahu, gadis bodoh tidak dapat menyalakan pelitanya, dan tidak ada seorangpun gadis bijaksana yang mau memberi minyak. Mencari kesempatan di saat genting memang sering upaya sia-sia.

 

 

 

Peribahasa tua mengatakan, menjadi bijaksana merupakan penerapan pengetahuan, dan menjadi taat merupakan penerapan kebijaksanaan. Hubungan jemaat dengan Kristus diibaratkan bagaikan sepasang mempelai (Mzm. 45; Hos. 2:18; Why. 19:7). Penyatuan dalam upacara sorgawi akan berlangsung ketika Tuhan Yesus datang kedua kalinya (K4). Oleh karena itu, mereka yang tidak mengenal Tuhan dengan benar, yang hidup dalam kegelapan, akan sulit menjadi bijak seperti peribahasa tersebut. Tuhan dalam gambaran orang-orang bodoh hanya samar-samar, antara ada dan tidak ada, dan mengandalkan “kata orang”. Tuhan bagi mereka bukanlah Pribadi yang penuh kasih tetapi dapat marah dan menghukum. Hukuman bagi orang bebal dan bodoh merupakan bukti kasih bagi orang taat dan bijak; Allah Mahaadil.

 

 

 

Dalam kehidupan, orang bodoh biasanya susah belajar dari orang bijak, sementara orang bijak akan terus belajar dari kebodohan orang lain. Itu kenyataan hidup. Dan kunci menjadi bijak adalah mengenal Kristus dengan berusaha terus merendahkan diri, takut akan Dia, bersikap hormat, menyapa melalui doa dan firman-Nya, dan melakukannya setiap hari. Mengenal Tuhan sebagai Pribadi yang berkuasa atas hidup, membuat kita bijak dalam mengarungi kehidupan, dengan segala mosaik problematik saat suka maupun di saat duka. Pengharapan kuat terhadap janji Tuhan, merupakan bukti ketaatan dan menunjukkan kita percaya penuh kepada-Nya.

 

 

 

Nas minggu ini mengingatkan kita tentang kedalaman dan kedekatan hubungan kita dengan Kristus, dan refleksi kerinduan kita untuk bertemu dengan-Nya menyongsong masa adven. Kedatangan Kristus tidak disangka-sangka, dan kita tidak tahu hari maupun saatnya, bagaikan pencuri di malam hari. Maka sikap kita hanya berjaga-jaga, selalu bersiap (ayat 13; Luk. 12:39; 2Pet. 3:10).

 

 

 

Menjalani hidup perlu perencanaan, disiplin dalam mewujudkan cita-cita. Ini akan membentuk karakter, sekaligus sikap hidup dalam menghadapi rintangan dan cobaan. Bagi yang lengah dengan mengabaikan ketaatan, saatnya untuk kembali menghidupkan nyala roh hubungan kita dengan Tuhan kita. Penyesalan di saat akhir, sering tidak berguna.

 

 

 

Jangan yang sudah dimulai dengan hal baik kita akhiri dengan hal yang bodoh, kata nasihat Warren Baffet, orang kaya dunia yang sederhana. Mari kita akhiri pertandingan hidup dengan iman dan setia (2Tim. 4:7). Jangan sampai ketika masa itu tiba, kita adalah bagian dari yang berteriak memohon membukakan pintu sorga, tetapi jawaban-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu” (ayat 12).

 

Selamat beribadah dan selamat melayani

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 5 November 2023

Kabar dari Bukit

 

 BERJALAN BERSAMA TUHAN (Yos. 3:7-17)

 

 ”Dan TUHAN berfirman kepada Yosua: "Pada hari inilah Aku mulai membesarkan namamu di mata seluruh orang Israel, supaya mereka tahu, bahwa seperti dahulu Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau" (Yos. 3:7)

 

 

 

Menurut Derek Prince dalam bukunya Faith to Live By, ada tiga kata (dalam bahasa Inggris) yang dimulai huruf "f" perlu dipahami bedanya: fact, faith, and feeling (fakta, iman, dan perasaan). Firman Allah adalah fakta dan tidak berubah. Iman adalah sikap terhadap firman Allah sebagai fakta dan mengakuinya. Sementara perasaan, sesuatu yang dapat berubah. Tetapi jika iman berdiri teguh, perasaan akan seirama dengan fakta. Sebaliknya, jika dimulai dengan perasaan daripada fakta dan iman, seringnya akan berakhir dengan masalah.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Yos. 3:7-17. Nas ini menceritakan persiapan Yosua memasuki Tanah Kanaan. Janji Tuhan kepada Musa juga diberikan kepada Yosua sebagaimana ayat pembuka di atas.

 

 

 

Ya, Tuhan selalu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Selain Yosua sebelumnya pengalaman sebagai pembantu Musa, ia juga diuji. Ada informasi bahwa orang Kanaan, Het, suku Hewi, Feris, Girgasi, Amori, dan Yebus akan menghadang. Mereka-mereka ini bangsa yang kuat dan berkubu (ay. 10; Bil. 13:28-33). Namun melalui hikmat kecerdikan Yosua dengan mengirim pengintai yang dibantu perempuan sundal Rahab, akhirnya mereka tahu situasi tanah yang akan dimasukinya (Yos. 2:1-24).

 

 

 

Setelah lolos ujian, Allah memberikan dukungan penuh melalui kuasa mukjizat-Nya, sebagai cara untuk membuat musuh gentar. Informasi bahwa mereka melewati Laut Teberau yang terbelah, sudah sampai ke telinga musuh (Yos. 2:10). Kini, Sungai Yordan menghadang di depan mereka dan airnya sedang meluap (ay. 1, 15).

 

 

 

Yosua kemudian menempatkan Tabut Perjanjian di depan sebagai simbol pimpinan Allah. “Segera sesudah para pengangkat tabut itu sampai ke sungai Yordan, dan para imam pengangkat tabut itu mencelupkan kakinya ke dalam air di tepi sungai itu - sungai Yordan itu sebak sampai meluap sepanjang tepinya selama musim menuai - maka berhentilah air itu mengalir.... Lalu menyeberanglah bangsa itu (ay. 15-16). Terbukti, mukjizat yang sama diberikan kepada Yosua bersama umat melewati sungai Yordan.

 

 

 

Menjalani kehidupan di dunia tentu ada hambatan atau pergumulan, kadang menakutkan. Semua ini perlu disikapi seolah menghadapi misteri dan tantangan iman. Akal manusia sangatlah terbatas untuk memahaminya. Oleh karena itu jangan mudah takut apalagi menyerah. Iman perlu teguh untuk mengalahkan perasaan sehingga fakta kuasa Allah menjadi nyata, sebagaimana dijelaskan Derek Prince.

 

 

 

Tabut Perjanjian berisi firman Allah (Kel. 25:16). Oleh karena itu, rajin-rajinlah memahami firman-Nya dengan setia. Pelihara kekudusan dengan berusaha menjauhi perbuatan dosa, sebagaimana Allah memerintahkan Yosua untuk menyampaikan kepada umat Israel, “Kuduskanlah dirimu, sebab besok TUHAN akan melakukan perbuatan ajaib di antara kamu” (ay. 5).

 

 

 

Langkah iman diperlukan ketika menghadapi tantangan. Firman Tuhan adalah perintah sebagai petunjuk. Mungkin tidak masuk akal, terlalu berat, namun tetaplah percaya. Allah kita tetap sama: kepada Musa, Yosua dan kepada kita yang percaya; kuasa Allah akan bekerja. Tidak selalu dalam bentuk mukjizat.

 

 

 

Berjalan bersama Tuhan pernyertaan-Nya selalu nyata sesuai janji-Nya, “Aku tidak akan meninggalkan engkau.... Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung (Yos. 1:6-8). Puji Tuhan atas kuasa dan kebesaran-Nya.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Khotbah Minggu Keduapuluh Tiga Setelah Pentakosta – 5 November 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu XXIII setelah Pentakosta – 5 November 2023 (Opsi 2)

 

 AJARAN DAN PENGAJAR (Mat. 23:1-12)

 

 "Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23:12)

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita Mat. 23:1-12, berbicara tentang Tuhan Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dalam pasal sebelumnya kita telah diberi tahu, Yesus beberapa kali mereka cobai dengan pertanyaan menjebak. Maka Ia pun berkata kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, “... turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (ayat 3). Kemudian dalam pasal ini, tujuh kali Tuhan Yesus mengecam mereka dengan mengatakan: “Celakahlah kamu....”

 

 

 

Tuhan Yesus mencela karena sifat kesombongan dan kepalsuan mereka. Ada tiga celaan sesuai ayat 4-10: Pertama, suka membuat beban-beban berat, tapi meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya. Contohnya adalah aturan-aturan rinci termasuk persembahan persepuluhan dari halaman rumah (ayat 23); kedua, mereka melakukan hanya dimaksudkan supaya dilihat orang, ingin dipuji, pamer dengan memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; ketiga, suka duduk di tempat terhormat dan dipanggil Rabi, pemimpin atau bapa.

 

 

 

Nas ini memiliki dua sasaran, yakni kepada para hamba Tuhan dan juga bagi orang percaya. Hamba Tuhan atau pribadi yang sering melayankan firman/renungan di mimbar termasuk memposting di WA Group atau Facebook, diminta untuk selalu menjaga wibawa dan kuasa yang diberikan Tuhan kepada kita. Perlu ada integritas, keutuhan, yakni satunya kata dan perbuatan. Alkitab mengingatkan: “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” (Yak. 3:1). Boleh berbangga, tapi tahu resikonya.

 

 

 

Untuk para pendeta yang diberi kuasa melakukan tumpang tangan dan mengatakan: “Atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus...,” perlu menyadari doa tumpang tangan memiliki makna yang dalam secara teologis (Kis. 8:15-17; 1Tim. 5:22). Hamba Tuhan dalam hal ini bertindak atas nama Tuhan kita. Janganlah memakai kuasa yang diberikan, tidak sejalan dengan panggilan dan tujuan pelayanan yakni untuk kemuliaan Tuhan. Dunia pelayanan bukanlah panggung untuk menonjolkan diri dan mendapatkan pujian, melainkan dengan rendah hati terus menjaga nilai-nilai luhur Ilahi, agar dihayati semua orang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 

Sasaran kedua bagi setiap orang percaya, yakni melihat ajaran yang diberikan dengan tidak terlalu melihat pribadi yang menyampaikannya. Tuhan Yesus sendiri tetap mengakui kedudukan kaum Farisi dan ahli Taurat. Berharap pada keteladanan mutlak dan kesempurnaan hamba Tuhan, jelas tidak mungkin. Jadi jangan sampai subjektifitas pribadi membuat kita berprasangka, dan akhirnya menghakimi yang tidak diinginkan oleh Tuhan.

 

 

 

Jangan juga terjebak dengan perasaan unggul denominasinya, gerejanya yang terbaik. Kita bisa masuk ke dalam dua dosa: memandang rendah nasihat/firman yang bagus, dan menghakimi yang menyampaikannya. Jemaat juga perlu menjaga doa tumpang tangan yang diterima sepanjang hidupnya, mulai dari saat dibaptis, sidi, menikah, masuk dalam pelayanan, doa berkat tiap hari minggu, atau liturgi peneguhan lainnya.

 

 

 

Nas Minggu ini mengajarkan kita hal yang paling pokok dalam kehidupan, tidak hanya berlaku dalam masa penghakiman nanti tetapi juga di masa kini: jika ingin lebih besar dan lebih hebat di antara orang lain, hendaklah siap berkorban dan siap menjadi pelayan. “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (ayat 12).

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

Khotbah Minggu Keduapuluh Tiga Setelah Pentakosta – 5 November 2023 (Opsi 1)

Khotbah Minggu XXIII setelah Pentakosta – 5 November 2023 (Opsi 1)

 

 HIDUP SESUAI DENGAN KEHENDAK ALLAH (1Tes. 2:9-13)

 

 Bacaan lainnya: Yos. 3:7-17 atau Mi. 3:5-12; Mzm. 107:1-7, 33-37; Mat. 23:1-12

 

 

 

Pendahuluan

 

Pada bagian awal pasal 2 ini dijelaskan tentang bagaimana manusia yang tidak layak karena dosa dan kelemahannya dijadikan Allah layak untuk melayani-Nya, membawa dan menyiarkan kabar tentang Tuhan Yesus. Manusia pasti merasa bersyukur dan terhormat saat diberi tugas melayani, yang dapat dilakukan dengan pelayanan langsung maupun tidak langsung. Injil adalah karya Allah yang begitu dalam dan luas sehingga tidak seorang pun dapat mengklaim batasan dan cakupan pelayanan kabar baik tersebut, sepanjang semua dilakukan dengan kasih dan demi kemuliaan nama Tuhan Yesus. Hanya untuk dapat melakukan tugas pelayanan, diperlukan pola hidup yang mendukung, sehingga pelayanan tidak menjadi batu kerikil sandungan bagi gereja dan kemuliaan Tuhan Yesus. Melalui nas minggu ini kita diberikan pengajaran sebagai berikut:

 

 

 

Pertama: Hidup bekerja keras dan berkarya dengan Injil (ayat 9)

 

Allah menghendaki setiap orang percaya menjadi pembawa dan penyiar berita tentang keselamatan yang telah diperolehnya melalui Tuhan Yesus. Sukacita anugerah yang diperolehnya harus dibagikan kepada semua orang, khususnya bagi mereka yang belum pernah mendengar tentang kasih Allah yang begitu besar melalui Tuhan Yesus yang menebus manusia dosa umat yang percaya kepada-Nya. Pembawa berita dalam hal ini berarti utusan atau duta yang dalam Alkitab disebut dengan Rasul dan setelah para rasul menuliskannya, maka utusan disebut sebagai pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar (Ef. 4:11, kita mengabaikan adanya Rasul dan Nabi saat ini).  Kita tidak perlu membatasi gambaran penginjil harus pengkhotbah atau pemimpin kelompok Pemahaman Alkitab (PA), sebab dalam teori penginjilan juga disebut kalau tindakan perbuatan kasih yang didasarkan atas iman dan diekspresikan dalam nama Tuhan Yesus pada hakekatnya adalah perbuatan pekabaran dan penyiaran Injil. Kita juga tidak perlu menguji bahwa seorang penginjil atau pelayanan sosial harus disertai dengan kuasa-kuasa atau tanda-tanda mukjizat hebat (Mat. 10:1–4; Mrk. 16:20; Luk. 9:1-6), sebab karya mereka bisa menjadi mukjizat kecil dalam kehidupan orang lain. Kepada para rasul dan nabi benar telah diberikan kuasa itu yang kemudian menjadi dasar gereja, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru yang membuat Kekristenan menjadi seluas sekarang ini (Kis. 2:42–43, dll).

 

 

 

Adalah menjadi kebiasaan pada masa gereja mula-mula, apabila para penginjil atau pengajar (agama dan filosofi) datang ke satu kota, mereka mendapatkan “bayaran” atau tinggal di rumah-rumah pendengar/anggota. Mereka ini juga merasa mendapatkan suatu kehormatan dapat menjamu para guru ini. Namun kebiasaan tinggal itu umumnya hanya untuk beberapa hari saja, karena yang menjamu juga akan merasa terbeban berat bila terlalu lama. Apabila ada keinginan mereka untuk tinggal lama dan menjadi beban, maka dapat dipastikan mereka adalah penginjil dan guru-guru palsu. Meski Rasul Paulus mengatakan dalam suratnya yang lain, “Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu (Gal. 6:6; 1Kor. 9:13-14; 2Ko.r 11:9), semua itu harus dilakukan dengan sukarela dan kasih. Perlu juga diperhatikan pada masa itu sesuai pandangan Yunani, mereka yang bekerja dengan fisik dan kasar, dinilai sebagai kerja budak dan sangat rendah dibandingkan dengan mereka yang tugasnya lebih banyak berpikir dan di dalam ruangan.

 

 

 

Rasul Paulus memahami situasi itu sehingga merespon dengan tindakan nyata. Ia lebih memilih bekerja sebagai pembuat kemah/tenda (Kis. 18:3) sehingga tidak menjadi beban bagi orang percaya di Tesalonika (band 5:13). Ia memperlihatkan kerja keras dengan bekerja siang dan malam untuk dapat menghidupi diri mereka sendiri, mengatur waktu sebelum matahari terbit agar cukup waktu untuk memberitakan Injil. Rasul Paulus mengatakan, “Tetapi aku tidak pernah mempergunakan satu pun dari hak-hak itu” (1Kor. 9:15a; 2Kor. 12:13; 2Tes. 3:8). Sikap ini penting bagi semua pekerja hamba Allah agar tidak menuntut yang lebih banyak dari jemaat yang dilayani, sebab yang utama adalah bagaimana nama Tuhan diperluas dan dipermuliakan. Ini menjadi batu ujian motivasi, sebab seperti yang dikatakan Paulus, “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil (1Kor. 9:16b). Seorang pembawa dan penyiar Injil dengan firman dan/atau kasih yang layak bagi Tuhan, seyogianya memberikan pengajaran yang benar, membuktikan motivasi yang baik, dan siap memberikan pengorbanan dengan kerja keras sebagai wujud kasih yang besar terhadap jemaat.

 

 

 

Kedua: Menguatkan hati seorang demi seorang (ayat 11)

 

Ketika seseorang menjadi pengkhotbah, maka tugasnya hanya sebatas dari mimbar atau saat pengajaran, meski sesekali perlu memperlihatkan kepedulian dan kasih pada mereka yang pernah diajarnya. Akan tetapi ketika ia menjadi seorang gembala yang bertanggungjawab penuh terhadap pertumbuhan rohani jemaat, maka ia memiliki tanggungjawab yang besar dan tidak mudah. Ada beberapa tanggungjawab seorang gembala yang secara umum dirumuskan sebagai berikut:

 

 

 

1.         Mengajarkan ajaran yang benar dan sehat (2Tim. 2:25, 3:14-17)

 

2.         Menumbuhkan iman jemaat (1Tim. 4:6-7, 16; 2Tim. 1:14)

 

3.         Mendisiplinkan jemaat (Mat. 18:17; 1Kor. 5:13)

 

4.         Menemukan karunia rohani yang tepat (kuasa Allah bekerja)

 

5.         Menjadi teladan (1Tim. 1:16) dengan hubungan yang penuh kasih

 

6.         Memberitakan Injil dengan metode-metode yang sudah terbukti dan memikul tanggungjawab dalam pertumbuhan

 

7.         Belajar dan bekerja keras terus menerus 

 

8.         Membangun struktur pelayanan yang tepat guna – adanya delegasi

 

9.         Berpikiran posibilitas (serba mungkin) dengan dinamis dan memberdayakan.

 

 

 

Pada bagian pertama pasal 2 ini Rasul Paulus memberikan gambaran pelayanan seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawat anaknya. Seorang ibu jelas merawat dan mengasuh dengan kelemahlembutan, sebagai bagian dari buah-buah Roh dan penyangkalan diri, dan memberi hidupnya kepada orang yang dikasihi. Seorang ibu yang merawat anaknya pastilah dengan sepenuh hati dan biasanya rela untuk meninggalkan pekerjaan atau kariernya. Pada bagian kedua pasal ini, Rasul Paulus sebaliknya mengibaratkan peran gembala seperti bapa terhadap anaknya. Seorang bapa yang mengasihi pasti tidak akan mengabaikan keamanan dan kepedulian terhadap anak-anaknya, yang membiarkan mereka berjalan ke situasi yang membuat anak-anaknya celaka dan bahkan jatuh fatal. Oleh karena itu, peran nasihat untuk membangun kedisiplinan itu sangat penting pada anak. Peran itu perlu ditambah dengan menghibur dan menguatkan apabila dalam kebimbangan, kesukaran atau kesedihan. Itu merupakan kombinasi yang baik dan ideal. Disiplin diperlukan bukan sebagai hukuman, melainkan untuk pengajaran dan kebaikan. Dengan demikian pasal 2 ini menjadi lengkap, yakni gambaran peran gembala seperti seorang ibu memberikan kasih dengan mengasuh dan merawat penuh kelemahlembutan, seperti seorang bapa memberikan nasihat dan latihan serta kedisiplinan (1Kor. 4:14, 20). Gambaran ini memang pengaruh dari budaya patrialkal Yahudi, yakni ayah bertugas menasihati dan ibu bertugas untuk merawat.

 

 

 

Dengan cara yang sama, kita juga perlu membawa mereka yang baru percaya dan menerima Tuhan Yesus di dalam kepak sayap perlindungan, sampai mereka bisa mampu berdiri teguh dengan imannya. Kita perlu membantu mereka yang imannya sulit bertumbuh menjadi cukup kuat untuk meyakinkan akan kebenaran firman. Seorang yang melayani (baik sebagai gembala, penginjil atau pelayanan lainnya) haruslah memberi perhatian seperti seorang ibu dan bapa, dengan merawat, menasihati dan menuntun satu per satu, sehingga orang percaya baru itu memiliki keteguhan iman dan dapat menjadi sumber buah yang baru. Seorang gembala atau penginjil (bahkan orang percaya yang baik) harus menempatkan jemaat dan orang percaya lainnya bagaikan seorang anak yang perlu bimbingan asuhan orangtua.

 

 

 

Ketiga: Hidup sesuai dengan kehendak Allah (ayat 10, 12)

 

Di bagian ketiga ini kita menggabungkan ayat 10 dengan ayat 12 sebab keduanya memiliki hubungan yakni pola hidup dan keteladanan. Sebagai orang percaya, kita hidup dengan nilai-nilai baru sesuai dengan rencana Allah bagi seluruh umat yakni terciptanya keadilan dan kebenaran yang berdasarkan kekudusan. Adil dan benar merupakan tujuan utama semua hukum termasuk hukum Allah. Kesalehan dan kekudusan dalam hal ini memegang kata kunci, sebab hal yang biasa jemaat Tesalonika lihat adanya pemujaan terhadap dewa Aphrodit yakni dewa lambang kesenangan dan hawa nafsu di wilayah tersebut. Masalah moralitas dan seks termasuk prostitusi menjadi perhatian firman Tuhan agar orang Tesalonika khususnya mereka yang bukan orang Yahudi yang masih ikut terlibat ritual dewa tersebut menjadi bertobat (band. 4:5). Memang pada masa itu situasi lebih longgar, sebab masalah moralitas dalam konteks etika bukan menjadi bagian pengajaran agama, tetapi lebih kepada tugas para filsuf.

 

 

 

Rasul Paulus mendorong dan menguatkan jemaat Tesalonika untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya, sehingga mereka menjadi teladan yang akan diikuti oleh orang yang sesat dan belum menerima Tuhan Yesus. Mereka menjadi saksi melihat Rasul Paulus hidup dengan berlaku adil, saleh dan tidak bercacat selama tinggal di Tesalonika. Saksi mata ini penting, sebab Tuhan melihat hati dan motivasi yang kadang dapat dimanipulasikan oleh manusia (band. Rm. 1:9). Orang menilai kehidupan orang percaya sebatas yang dilihat mata. Sikap menjaga hidup agar tetap tidak bercacat sangat penting bagi orang percaya, sebab kita semua telah ditebus dan dibayar lunas. Kematian Tuhan Yesus di kayu salib sangat berharga sebagai pengganti dan penebus diri kita yang seharusnya mati karena dosa-dosa kita. Oleh karena itu, toleransi terhadap dosa harus nol, meski ketika jatuh kembali akibat kuatnya iblis dan kedagingan, Tuhan Yesus kembali membuka pengampunan, sepanjang dengan hati yang menyesal dan tulus. Sikap ini sangat berharga di hadapan Allah.

 

 

 

Mereka yang setia melakukannya sebenarnya yang dipanggil ke dalam kerajaan dan kemuliaan-Nya. Dipanggil dalam hal ini berarti berlakunya kedaulatan Allah untuk memilih dan menentukan (Rm. 8:28-29). Pengertian kerajaan dalam hal ini memiki dua dimensi (1Kor. 15:23-27), yakni dimensi saat ini dan saat nanti di kekekalan yang keduanya berhakekat damai sejahtera. Semua itu terjadi tatkala kita menempatkan Yesus sebagai Raja dan mengikuti perintah-Nya. Mereka yang hidup berdasarkan daging dan mengikuti keinginan iblis tidak layak menjadi anak-anak dan hamba-Nya, serta tidak berhak masuk ke dalam kerajaan-Nya (1Kor. 6:9, 10; Kol. 1:13; Ef. 5:5; Gal. 5:21). Kalau ada yang tidak bisa melihat kebaikan Tuhan dan tidak hidup dalam damai sejahtera serta tidak merasa berhutang untuk melayani-Nya, pasti ada yang salah dalam pikirannya. Maka kini, apakah masih ada bagian dalam hidup kita yang tidak sesuai dengan kehendak Allah? Kalau demikian halnya, apakah kita layak menjadi utusan dan saksi-Nya? Pernahkah kita bayangkan: Apa yang orang lain pikirkan tentang Tuhan Yesus dengan melihat yang kita lakukan? Apakah kemuliaan itu masih menjadi milik kita? Firman Tuhan mengatakan, Sebab itu aku menasihati kamu, “supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Ef. 4:1; band. 4:17).

 

 

 

Keempat: Firman Allah bekerja di dalam kamu (ayat 13)

 

Rasul Paulus mengatakan bahwa firman Allah terus bekerja di dalam hati orang percaya. Ia menegaskan firman yang disampaikan (melalui pedengaran atau penglihatan - dengar, baca dan lihat), tidak semata-mata sebuah pidato atau informasi/dokumen, melainkan sebagai sumber kebenaran yang pasti dan teruji. Perjalanan panjang firman Tuhan Yesus yang diucapkan secara langsung maupun melalui inspirasi kepada para rasul yang menuliskan, serta didasarkan pada pengalaman hidup mereka, semuanya menjadi bukti bahwa firman yang tertulis itu bukan semata-mata perkataan manusia (1Kor. 11:23; 15:1, 3). Manusia sebagai penulis dipakai Allah sesuai dengan kehendak Allah dan rencana Allah sesuai dengan kepribadian dan lingkungan penulis. Proses kanonisasi yang demikian panjang, juga menjadi bukti Allah bekerja dalam semua hal itu, dan terutama semua itu merupakan perjalanan yang penuh dengan kisah tangisan derita dan air mata, tanpa sedikit pun dibalas dengan usaha kekerasan. Itulah firman Allah yang benar dan itulah Kekristenan.

 

 

 

Alkitab yang kita pegang di tangan kita penuh dengan kuasa yang nyata dan hidup. Firman telah mengubah kehidupan sebagian besar hidup manusia di bumi ini dan terus bertambah setiap hari. Selama 2000 tahun sejak Yesus mengucapkannya dan seluruh kisah di Kisah Para Rasul, menjadi bukti teruji meski sebelumnya ada yang meragukan bahwa itu isinya akan dilupakan orang. Oleh karena itu Rasul Paulus mengatakan, ia bersukacita sebab firman itu telah mereka terima. Firman itu bekerja ketika mulai diterima baik oleh pendengaran atau penglihatan, kemudian bekerja dalam hati manusia dengan dua cara: Pertama, melalui kesadaran manusia sendiri ketika firman itu didengar atau dibaca, kemudian direnungkan dan menghasilkan respon sambutan (Rm. 10:10, 17; 1Te 1:6). Kedua, sambutan terjadi atas kemauan manusia sendiri, meski ada kedaulatan Allah yang bekerja yang membuat manusia tunduk dan patuh atas kehendak-Nya dengan firman sebagai sarananya (band. Luk. 11:28; Rm. 1:16; 1Ptr. 1:23).

 

 

 

Maka bacalah firman Allah yang hidup itu dan teruslah membaca. Firman Allah adalah sebuah kekuatan yang mengubahkan (1Tes. 1:8; Ibr. 4:12). Memang akan terjadi peperangan rohani antara pikiran dan roh manusia dengan iblis jahat yang menggoda pikiran kita. Namun dengan kuasa pertolongan Roh Kudus, firman itu akan menang dan selalu benar. Oleh karena itu, dorong juga teman-teman yang lain untuk ikut membaca. Dorong yang belum mengenal Tuhan Yesus untuk membaca dan mengenal Tuhan Yesus. Bagi mereka yang melakukannya, yang sungguh-sungguh rindu untuk belajar, akan disentuh dan dipenuhi dengan kuasa, dan mereka tidak pernah menjadi manusia yang sama. Dengan firman itu, kuasa Allah bekerja sebagaimana dikatakan, “Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Flp. 4:9).

 

 

 

Penutup

 

Melalui firman Tuhan minggu ini kita diberikan pengajaran tentang perlunya bekerja keras dalam hidup ini sambil tetap dalam pelayanan. Setiap orang percaya mesti masuk dalam pelayanan meski dalam bentuk tidak langsung. Akan tetapi pelayanan yang sepenuhnya bagi pemberitaan Injil membutuhkan dukungan dan bersinergi, agar mereka dapat lebih berbuah banyak. Rasul Paulus sendiri memberi keteladanan dengan bekerja keras sebagai pembuat tenda agar tidak menjadi beban jemaat. Penginjil dan pelayan serta orang percaya harus peduli dengan sesama, memberikan perhatian dengan dukungan moril dan doa. Nasihat dan keramahan adalah wujud kasih seperti seorang bapa dan ibu bagi anak-anaknya. Tetapi yang terutama, setiap anak-anak Tuhan harus hidup sesuai dengan kehendak Allah, dengan berlaku saleh, kudus, adil dan benar. Sebab bila hal itu diabaikan, maka akan menjadi batu sandungan. Kita tidak perlu pesimis atau khawatir tidak mampu melakukan semua itu, tetap optimis dan bersyukur sebagaimana Rasul Paulus, sebab kita adalah orang-orang yang dipanggil dan firman Allah akan bekerja dengan kuasa di dalam hati setiap orang percaya, sehingga kita berhak atas kerajaan dan kemuliaan kelak pada masanya.

 

 

Selamat beribadah dan melayani.

 

 

Tuhan memberkati kita sekalian, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 29 Oktober 2023

Kabar dari Bukit

 

 ADIL DAN DOSA KEPADA DIRI

 

 ”Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia" (Im. 19:17)

 

 Kadang kita dihadapkan pada situasi keberpihakan: membela yang lemah, atau membela yang benar? Kecendrungan psikologis menuntun kita membela yang lemah. Itu wajar, sebab muncul empati, rasa iba; dan itu tidak buruk. Seorang tokoh perfileman mengatakan, “suatu karunia besar bagi manusia memiliki kekuatan empati.” Teolog Carl Jung bahkan menyebutkan, “bila empati hilang, maka dunia akan menderita.”

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu yang berbahagia ini adalah Im. 19:1-2, 15-18. Ini bagian kitab Imamat pasal 17 – 25 yang berbicara tentang kekudusan, dengan perintah tegas dan berulang: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (ay. 2). Kita tahu Kitab Imamat adalah peraturan rinci bagi para imam dan umat Israel dalam menjalani ibadah dan upacara keagamaan, agar mereka memiliki hubungan yang baik dengan Allah.

 

 

 

Mengacu kepada kitab Ibrani Mitzvot sebagai rincian Sepuluh Perintah Allah (Kel. 20:3-20), ada 613 perintah yang dituliskan dalam Taurat; terdiri dari 248 "perintah positif" yakni untuk dilakukan, dan 365 "perintah negatif" yakni dilarang dilakukan. Dengan banyaknya perintah itu, maka semua manusia berbuat dosa (Rm. 3:23) menjadi satu hal yang tidak dapat disangkal.

 

 

 

Nas hari minggu ini merupakan bagian Imamat yang terdiri dari tujuh perintah “jangan” dan dua perintah “lakukan”. Sembilannya bermuara menjaga kekudusan, dengan cara menghormati hidup dan hak orang lain. Tentu ini suatu yang unik; kekudusan dikaitkan dengan hidup sesama. Dan ini membawa kita pada kesimpulan bahwa kehidupan rohani berhubungan dengan kehidupan sosial; ibadah dan ritual tidak terpisahkan dari keseharian kehidupan.

 

 

 

Pesan pertama yang disampaikan adalah kita perlu berlaku adil terhadap semua orang, tidak berbuat curang termasuk dalam peradilan (ay. 15a). Untuk ini kita diwanti-wanti agar jangan membela orang kecil tidak sewajarnya (ay. 15b). Artinya, perlu menjaga empati agar tidak bertentangan dengan kebenaran (ay. 15). Ini memang tidak mudah, berupaya menyelaraskan peran otak kiri dan otak kanan, kesepadanan hati dan akal pikiran.

 

 

 

Pesan kedua, agar kita jangan membuat susah orang lain dengan memfitnahnya (ay. 16a), mengancam hidupnya (16b). Memang fitnah dapat lebih kejam dari pembunuhan, apalagi muncul dari rasa benci di dalam hati (ay. 17a).

 

 

 

Pesan ketiga, janganlah hal jahat disimpan di hati. Dikatakan, “janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena orang lain, janganlah engkau menuntut balas (ay. 18a), dan janganlah menaruh dendam terhadap sesamamu (ay. 18b). Semua itu malah merusak diri sendiri. Namun sebagai anak-anak Tuhan, kita tetap diminta berterus terang menegor mereka (ay. 17b), meski dibagian lain dinyatakan dengan lemah lembut dan kasih (Luk. 17:3; 2Tes. 3:15).

 

 

 

Pesan keempat, untuk lebih memahami semuanya, perlu melihat motivasi yang merupakan akar tindakan kita; motivasi baik, maka hasilnya akan baik, dan selanjutnya berkenan kepada Allah. Pasal 19 ini ditutup dengan kesimpulan umum yakni hukum kasih yang kedua, yakni kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (ay. 18c, bdk. Mat. 22:39).

 

 

 

Tuntutan hidup kudus memang tidak mudah. Namun dengan pertolongan Roh kudus, maka tidak ada yang mustahil. Kita mungkin tidak akan pernah sempurna, namun kita harus terus berubah dan berusaha serupa seperti Tuhan Yesus yang memberikan teladan hidup. Meski kadang kita jatuh dan menjadi kecewa atau timbul omongan orang lain, janganlah terlalu pusing. Yang utama, kita semangat dan terus berupaya menjadi lebih baik dari kemarin. Itulah hakekat dan sejatinya Kekristenan.

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 34 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8562033
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
81
73300
73381
8223859
713318
883577
8562033

IP Anda: 162.158.163.93
2024-12-16 00:37

Login Form