Sunday, December 15, 2024

2023

Khotbah Minggu Kesembilanbelas setelah Pentakosta - 8 Oktober 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu Kesembilanbelas setelah Pentakosta - 8 Oktober 2023 (Opsi 2)

 

 MENGENAL DIA DAN MENJADI SERUPA DENGAN DIA (Flp. 3:4b-14)

 

 

Bacaan lainnya: Kel. 20:1-4, 7-9, 12-20 atau Yes. 5:1-7; Mzm. 19 atau Mzm. 80:7-15; Mat. 21:33-46

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Apakah kita sudah utuh mengenal Kristus? Apakah kita sudah puas dengan pengenalan tentang Pribadi-Nya dan kuasa-Nya? Salah satu bahaya orang percaya adalah merasa telah mengenal dengan baik dan berhenti untuk mencari kebenaran yang lebih dalam akan Pribadi-Nya. Adalah benar bahwa kita telah dibenarkan karena iman dan itu hanya merupakan awal dari kebenaran penuh mengenai hubungan kita dengan-Nya. Apabila kita telah merasa puas mengenal-Nya, maka itu menjadi sebuah kemandekan dan menjadi sebuah bahaya, sebab gangguan yang lebih besar dapat terjadi dan pengetahuan kita menjadi terbatas khususnya dalam pengalaman bersama Dia. Melalui nas minggu ini kita diberi pengajaran tentang bagaimana mengenal Dia dan menjadi serupa dengan Dia.

 

 

 

Pertama: Percaya bukan pada hal-hal lahiriah (ayat 4b-6)

 

Sekilas, Rasul Paulus seolah-olah ingin menyombongkan diri dengan semua latar belakang dan prestasinya. Ia menjelaskan khususnya kepada umat non-Yahudi bahwa dirinya adalah orang yang istimewa dan sempurna secara lahiriah sebagai orang Yahudi tulen. Ia dari bangsa Israel (2Kor. 11:22), orang Ibrani asli yang artinya tidak tercampur dengan suku lain, disunat pada hari kedelapan (Luk. 1:59), dan orang Farisi yang berpendirian orthodok terhadap hukum Taurat. Ia dari keturunan suku Benyamin (Rm. 11:1), garis silsilah yang dianggap istimewa bagi orang Yahudi, sebab dari suku ini lahirnya Raja Israel pertama yakni Saul (1Sam. 10:20-24). Suku Benyamin dan Yehuda adalah suku yang kembali dari pembuangan dan merasa tetap murni (Ezr. 4:1). Rasul Paulus termasuk golongan kaum Farisi (Kis. 23:6), suku Yahudi yang dianggap paling religius dan saleh serta paling teliti dalam aturan-aturan hukum Musa yang begitu banyaknya. Mereka sangat ketat dalam pengamalan hukum taurat, adat-istiadat, ritual legalistik dan mengutamakan moralitas. Ia juga memiliki beberapa keistimewaan lainnya, seperti pendidikan yang bagus dan kewarganegaraan (untuk keunggulan lainnya lihat di 2Kor. 11; Gal. 1:13-24).

 

 

 

Begitu pula sebagai pemimpin Yahudi yang ortodok, Paulus sangat bersemangat menganiaya jemaat Kristen (Kis. 8:3). Ia bahkan mengejar umat Kristen hingga keluar Yerusalem untuk dapat dibunuh. Sepikiran dengan pemimpin-pemimpin agama Yahudi yang telah mapan, mereka melihat Kekristenan sebagai kegiatan sesat. Mereka melihat Yesus tidak seperti gambaran Mesias yang diharapkan, sehingga ucapan-Nya menyamakan diri-Nya dengan Allah dinilai sebagai tindakan menghina Allah. Ini dianggap sebagai kejahatan. Kesaksian Yesus bagi mereka dianggap palsu. Kemampuan-Nya membuat mukjizat dianggap bersumber dari kuasa jahat dan bukan karena Ia adalah Allah yang menjadi manusia. Di lain pihak, mereka juga melihat Kekristenan sebagai ancaman politik, yang dapat mengganggu hubungan yang baik antara pemimpin Yahudi dengan pemerintah Romawi. Banyak hal yang selama ini telah mereka nikmati dengan saling memanfaatkan dan menguntungkan bagi kedua belah pihak, itu dapat terganggu dan merugikan pemimpin Yahudi. Namun kemudian, Rasul Paulus menyadari kalau semua yang dia lakukan sebelumnya adalah salah, pengabdian kepada Allah berdasar Taurat yang ditafsirkan secara salah.

 

 

 

Tetapi kalau dilihat lebih dalam isi suratnya, ia sebenarnya ingin menekankan bahwa pencapaian manusia - betapa pun hebatnya, tidak memiliki arti dalam memperoleh keselamatan dari Allah dan kehidupan kekal. Ia menekankan perubahan statusnya menjadi orang percaya pada Kristus bukanlah atas apa yang dia capai (Kis. 9), melainkan anugerah Allah semata. Ia tidak menonjolkan keistimewaan yang dimilikinya sebagai hal khusus yang menyenangkan hati Tuhan, sebab dalam pandangannya itu ternyata sia-sia. Hal yang paling hebatpun dari seluruh keistimewaan dan prestasinya, sangat jauh dari standar kekudusan Allah. Rasul Paulus juga mengingatkan kesombongan Yahudi sebagai keturunan Abraham dan membuat mereka puas diri. Ia tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah tersebut, sebagaimana dikatakan Tuhan Yesus, “…Allah dapat menjadikan anak-anak Abraham dari batu-batu ini” (Mat. 3:9). Pertanyaan bagi kita: apakah kekristenan kita tergantung kepada kedudukan ayah/kakek kita, denominasi dan jabatan gerejawi, dan merasa sudah menjadi orang baik dan benar di hadapan Allah? Apakah kita menjadi manusia palsu dengan bermegah dalam persekutuan dan ibadah dengan menonjokan hal-hal lahiriah, seperti kekayaan, jabatan, atau hal lainnya? Semua tidak berguna. Kelebihan dan keistimewaan melalui pencapaian, reputasi, tidak dapat menghasilkan keselamatan, sebab keselamatan hanya datang dari iman kepada Yesus Kristus.

 

 

 

Kedua: Masa lalu milik masa lalu (ayat 7-9)

 

Sama seperti kecenderungan banyak orang, Rasul Paulus mengungkapkan hal yang sudah dia capai dalam hidupnya. Sejumlah kehebatan dan keistimewaan yang dicapainya dapat dianggap sebuah nilai dan memiliki harga. Itulah sebabnya Rasul Paulus berbicara tentang keuntungan dalam nas ini. Ia merasakan pencapaian, martabat dan kesuksesannya memiliki nilai dan harga. Namun ketika ia merasakan dirinya telah diselamatkan oleh Yesus, maka ia menganggap semua kelebihan dan pencapaiannya itu sebagai "sampah", dibanding dengan nilai yang dia dapatkan ketika menerima Kristus. Dia menganggap semua yang lalu itu tidak hanya sebagai kerugian, melainkan juga “keuntungan” yang dirampas dari yang seharusnya ia dapat peroleh sejak dahulu (band. Mat. 13:44-46). Namun ia tidak menyesalinya, karena baginya masa lalu adalah masa lalu, the past belongs to the past. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati dalam menilai prestasi masa lalu yang dianggap penting yang dapat mempengaruhi hubungan kita dengan Kristus. Menunda mengenal Kristus jelas salah, apalagi demi memprioritaskan yang lain sia-sia. Tidak satupun dari perbuatan baik, ketaatan pada hukum-hukum legalistik, pengembangan diri, disiplin, atau upaya badani lainnya yang dapat membuat kita benar di hadapan Allah. Kita tetap manusia berdosa yang tidak layak masuk dalam kerajaan-Nya yang kudus. Pembenaran hanya datang dari Allah dan kelayakan untuk masuk ke hadirat-Nya hanya melalui percaya kepada Kristus, sebab Kristus Yesus telah menggantikan dosa-dosa dan kelemahan kita dengan kebenaran yang utuh (2Kor. 5:21).

 

 

 

Melalui nas ini juga diperbandingkan kebenaran manusia melalui ketaatan pada hukum Taurat dan perbuatan baik, dengan kebenaran melalui iman karena kepercayaan kepada Kristus yang merupakan anugerah Allah (Ef. 2:8). Hal yang diyakini Paulus adalah semua itu bukan kebenarannya sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Gal. 2:16; Rm. 3:21). Dengan kata lain, Rasul Paulus mengatakan kepercayaan itu sebenarnya adalah karunia iman yang diberikan Allah (1Kor. 12:9), bukan karena latar belakang atau prestasi. Tak seorang pun benar karena usahanya sendiri. Untuk bisa memahami hal itu, kita perlu melakukan perubahan radikal dalam cara berpikir dan pola hidup keseharian. Seperti Rasul Paulus yang meninggalkan semua masa lalunya, yakni keluarga, teman-teman, dan kebebasannya untuk dapat berada dalam Dia. Dengan cara itu ia berusaha mengalahkan pandangan umat Yahudi yakni dasar yang salah tentang kebanggaan mereka sebelumnya tentang keturunan Abraham dan hal yang mereka telah capai. Hal yang penting supaya memperoleh Kristus ialah bersedia dan terbuka menerima panggilan-Nya. Dengan menerima panggilan-Nya, mengenal-Nya, kemudian berada di dalam Dia melalui persekutuan yang menghasilkan kebenaran sejati sebagai karunia Allah (Flp. 1:10-11; 1Kor. 1:30). Semua hal yang dapat mengganggu proses pengenalan itu harus dibuang.

 

 

 

Kita bisa mendapatkan jalan untuk pengetahuan ini dan kuasa-Nya, namun kita harus rela berkorban untuk dapat menikmatinya dengan penuh. Apa yang bisa kita berikan dari hidup kita saat ini untuk dapat menerima dan lebih mengenal Kristus? Tapi apapun itu, mengenal Kristus lebih berharga dari semua pengorbanan itu (Yoh 17:3; Ef 4:13). Menyisihkan waktu dari semua kesibukan beberapa menit untuk dapat berdoa dan belajar firman? Atau beberapa dari semua rencana dan kesenangan pribadi? Pertanyaannya: Apakah kita siap mengubah drastis nilai-nilai yang kita miliki saat ini untuk bisa mengenal-Nya dengan lebih baik? Apakah kita bersedia menetapkan atau mengatur kembali jadwal tertentu di tengah-tengah kesibukan yang ada agar dapat menyisihkan beberapa menit setiap hari untuk bersekutu dengan-Nya dan belajar firman? Apakah kita mengubah rencana, sasaran, dan keinginan agar sesuai dengan hidup Kristus yang kita pelajari? Atau, perlu persetujuan teman atau keluarga? Apapun yang kita rubah dan serahkan, memiliki Kristus dan berada menjadi satu dengan Dia merupakan hal yang lebih berharga dibanding persembahan yang kita berikan. 

 

 

 

Ketiga: Mengenal Dia dan menjadi serupa dengan Dia (ayat 10-11)

 

Apakah kita mengenal Kristus dengan baik dan mengenal kuasa-Nya? Mengenal Kristus secara pribadi dan juga mengetahui Pribadi-Nya seperti yang dinyatakan dalam Alkitab, seyogianya menjadi tujuan akhir hidup kita. Berikut beberapa pedoman untuk kita bisa mengenal-Nya dengan baik:

 

  1. Dengarkan Firman-Nya melalui khotbah di gereja, radio, TV lainnya;
  2. Pelajarilah kehidupan Kristus dalam Injil. Lihat bagaimana Yesus menjalani kehidupan dan memberi respon terhadap yang lain (Mat. 11:29);
  3. Pelajarilah seluruh referensi bacaan yang berhubungan dengan pelayanan Kristus di dalam perjanjian baru (Kol. 1:15-2:15);
  4. Berusahalah membaca Alkitab dari kitab Kejadian hingga Wahyu. Alkitab bahasa Indonesia sehari-hari lebih baik mencernanya;
  5. Bertekunlah dalam doa dan menyembah-Nya, biarkan dan ikuti Roh Kudus mengulang kembali perkataan-perkataan Kristus (Yoh. 14:26);
  6. Beri respon atas segala pemberian-Nya dengan iman dan ketaatan penuh;
  7. Ambillah bagian dalam misi Kristus seperti pelayanan kasih atau memberitakan Injil, dan teladanilah pengorbanan dan penderitaan-Nya (Mat. 28:19; Flp. 3:10).

 

 

 

Rasul Paulus mengatakan bahwa tujuannya adalah mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya. Dengan mengenal kedua hal ini, ia berkeinginan menjadi serupa dengan Dia. Ada orang yang mengenal Yesus dalam pengertian hafal dan tahu riwayat hidup Yesus dan bahkan mengetahui segala mukjizat-Nya. Namun kalau sebatas menghafal seperti itu, pengenalan Pribadi dan khususnya kuasa kebangkitan-Nya belum terlaksana. Segala pengetahuan dan teori hanya menjadi efektif ketika kita mengalaminya secara pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita sudah mengalami mukjizat Yesus? Apakah kita sudah melihat hidup kita saat ini adalah sebuah mukjizat? Mengalami kuasa kebangkitan-Nya berarti memahami diri sendiri yang sudah lepas dari kuasa dosa, terus dalam proses pembaharuan budi, dan bersaksi atas karya Allah dalam hidup kita (Rm. 6:4; Ef. 2:5-6). Kuasa yang perkasa ini akan menolong kita untuk membaharui kehidupan rohani dan hidup yang baru, dan menjadi serupa dengan Yesus serta pikiran Kristus ada di dalam diri kita. Menjadi serupa berarti tetap taat, menyangkal diri dan menyalibkan manusia lama, menyebarkan kasih, mengambil bagian dalam penderitaan Kristus yakni kerelaan berkorban (Kis. 9:16; Rm. 6:5-6; 2Kor. 4:10; Kol. 1:24; 1Pet. 4:13).

 

 

 

Ketika kita bersatu dengan Kristus dan percaya kepada-Nya, hal yang lebih utama adalah kita mengalami kuasa kebangkitan-Nya dari kematian. Sebagaimana Yesus telah bangkit dari kematian, maka kita pun kelak dibangkitkan dari kematian sebab kuasa itu tetap ada pada Yesus. Sama seperti Kristus ditinggikan setelah kebangkitkan-Nya, kita juga menerima kemuliaan Kristus di suatu hari kelak (Why. 20:5 ,6; 22:1-7). Untuk kita dapat masuk ke dalam kehidupan kekekalan, kita harus terlebih dahulu mati dalam perbuatan dosa. Kita tidak dapat mengetahui kemenangan kebangkitan tanpa menerapkan penyaliban dosa-dosa pribadi. Sama seperti kebangkitan memberi kita kuasa Kristus untuk hidup di dalam Dia, penyaliban-Nya juga merupakan tanda kematian dari sifat-sifat keberdosaan kita. Ketika Rasul Paulus menuliskan, "supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati", sama sekali tidak memperlihatkan ketidakpastian atau keraguan. Sebagai orang yang di penjara, Rasul Paulus tahu bahwa ia akan mati segera, namun tidak merasa pasti bagaimana dan kapan saatnya ia akan bertemu dengan Tuhan: apakah dengan jalan hukuman mati atau kematian yang alami. Tetapi ia memiliki iman yang akan dibangkitkan dari antara orang mati dan kembali hidup (Ef. 1:18-20). Dia tidak ragu tentang dibangkitkan, tetapi pencapaiannya merupakan kuasa Allah dan bukan oleh dirinya.

 

 

 

Keempat: Mengejar kesempurnaan keselamatan (ayat 12-14)

 

Paulus memiliki alasan untuk melupakan yang di belakangnya saat ia masih bernama Saulus - ia yang memegang jubah Stefanus martir pertama Kristen (Kis. 7:57, 58). Dirinya menerima anugerah ketika "ditangkap" oleh Kristus dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9). Ia ditangkap bukan karena kehebatannya, tapi dipilih seperti hewan yang ditangkap pemburu. Mungkin kita melakukan sesuatu di masa lalu yang membuat kita malu, dan saat ini hidup di dalam tarikan sebelumnya, dan tidak berkuasa hendak kemana kita pergi untuk berubah. Oleh karena pengharapan kita adalah Kristus, bagaimanapun, kita boleh melupakan semua kesalahan yang lalu dan melihat ke depan yang menjadi kehendak Allah. Jangan terjebak dalam masa lalu. Tetapi, tetaplah bertumbuh dalam pengenalan Kristus dan berkonsentrasi pada hubungan pribadi dengan-Nya. Yakin dan sadarlah bahwa kita sudah diampuni dan mulailah hidup dengan iman dan ketaatan. Lihat ke depan pada kehidupan yang penuh, sebab pengharapan kita ada dalam Kristus. Sebagaimana Rasul Paulus ingin berlari dalam perlombaan dengan memusatkan pikiran dan mengerahkan segala daya untuk dapat mengejar kesempurnaan dalam pengenalan itu (band. 1Kor. 9:24; Ibr. 12:1) maka demikianlah juga kita diminta fokus sungguh-sungguh mencapai sasaran.

 

 

 

Dalam persekutuan dengan Tuhan, ada tiga tahapan kesempurnaan yang terjadi:

 

1.      Kesempurnaan dalam hubungan: kita menjadi sempurna sebab kesatuan kekal kita dengan Kristus yang kekal sempurna. Ketika kita menjadi anak-anak-Nya, kita dinyatakan “Tidak Bersalah” dan dibenarkan, sebab Kristus Anak Allah telah menebus kita dengan lunas. Kesempurnaan yang dimiliki adalah mutlak dan tidak terubahkan, dan dengan hubungan yang sempurna memberikan jaminan bahwa suatu saat kelak kita akan sempurna penuh (band. Kol. 2:8-10; Ibr. 10:8-14)

 

2.      Kesempurnaan dalam pertumbuhan: Kita bertumbuh dan dewasa secara rohani jika kita sepenuhnya percaya kepada-Nya, terus berupaya mengenal Dia, menjadi dekat dengan-Nya, dan taat kepada-Nya. Ini berbeda dengan kesempurnaan dalam hubungan yang bersifat permanen. Pertumbuhan kita sesuatu yang dinamis dan berubah sesuai dengan perjalanan hidup, dan setiap hari kita semakin dewasa karena pertumbuhan itu. Kita semakin cepat dewasa apabila kita masuk ke dalam penderitaan-Nya. Perbuatan baik tidak membuat kita lebih sempurna, melainkan Allah-lah yang menyempurnakan sebab kita menderita oleh karena Dia.

 

3.      Kesempurnaan penuh. Ketika Kristus datang kembali (K4) membawa kita ke dalam kerajaan-Nya yang penuh, kita dimuliakan dan dijadikan sempurna seutuhnya (band. 1Kor. 13:10; Flp. 3:20, 21).

 

 

 

Setiap tahapan kesempurnaan ini diikat dengan dasar iman kepada Kristus dan semua yang telah Ia lakukan bagi kita, bukan karena hal yang kita lakukan. Kita tidak dapat menyempurnakan diri sendiri, sebab hanya Tuhan yang dapat melakukan-Nya di dalam diri kita sampai kelak Ia datang kembali.

 

 

 

Dalam kehidupan selalu banyak tantangan yang dapat menghalangi hubungan dan arah kita berjalan dengan Kristus (band. Mrk. 4:19; Luk. 8:14; 9:62; 17:32). Namun sebesar apapun itu, yang terbaik adalah mengarahkan hidup kita ke depan yakni panggilan sorgawi dan ini yang menyerap semua tenaga Paulus. Ini merupakan contoh bagi kita. Kita tidak boleh membiarkan mata kita jauh dari tujuan itu yakni kemuliaan sorga. Dengan tetap fokus sebagaimana seorang atlit dalam latihan, kita juga harus mengenyampingkan setiap hal yang dapat merusak atau mengganggu kita untuk menjadi serupa dengan Dia (1Tim. 6:12). Bersikaplah seperti Paulus, yang menyatakan dirinya belum sempurna dan pengenalan tuntas akan Kristus. Ia sadar telah ditangkap. Tapi ia terus mengejar kesempurnaan. Telitilah hal yang membuat kita tidak maju. Kita pun seharusnya menilai hubungan kita dengan Kristus lebih penting dibanding dengan yang lain, dan kedekatan dengan Kristus dijadikan tujuan tertinggi hidup kita.  Mari jadikan kerinduan kita terbesar mengenal Kristus dan mengalami persekutuan pribadi yang akrab dengan Dia. Itulah wujud anak-anak Tuhan sejati yang rindu mahkota sorgawi (2Tim. 4:8; Why. 2:10).

 

 

 

Penutup

 

Setiap orang memiliki latar belakang dan perjalanan hidup yang berbeda. Banyak orang berasal dari keturunan atau keluarga yang dianggap hebat dan memiliki tempat khusus di dalam pergaulan masyarakat. Demikian pula banyak orang yang merasa telah banyak melakukan perbuatan baik sehingga menganggap dirinya layak mendapatkan upah di kekekalan nantinya. Namun melalui nas minggu ini firman Allah mengajarkan agar kita tidak percaya pada hal-hal lahiriah dan keturunan yang menjadikan kita istimewa di hadapan Allah. Demikian juga dengan segala perbuatan dan prestasi tanpa dasar iman kepada Kristus, itu semua adalah sia-sia. Rasul Paulus menekankan bahwa semua masa lalunya yang dianggap penuh dengan keistimewaan dan prestasi itu dianggapnya sebagai sampah. Ia melupakan masa lalunya yang dianggap kelam dan juga tidak berharga. Tujuan hidupnya berubah menjadi lebih mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya, sebab dengan pengenalan yang lebih itu akan membawanya menjadi serupa dengan Dia. Itu tidak berlebihan sebab pengenalan Kristus tidak dapat berhenti dan terus berlangsung. Itulah yang kita kejar dalam hidup yakni: kesempurnaan dalam keselamatan melalui kesempurnaan dalam hubungan, kesempurnaan dalam pertumbuhan dan kesempurnaan penuh saat kita bertemu muka dengan muka dengan-Nya.

 

 

Selamat melayani dan selamat beribadah.

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 1 Oktober 2023

Kabar dari Bukit

 

 PERBAHARUILAH HATIMU (Yeh. 18:1-4; 25-32)

 

 ”Oleh karena itu Aku akan menghukum kamu masing-masing menurut tindakannya” (Yeh. 18:30a)

 

 Ada tiga pertanyaan besar bagi orang percaya terkait dosa. Pertama, konsekuensi perbuatan dosa terhadap kehidupan kita di dunia ini maupun pasca kematian. Alkitab berkata, upah dosa adalah maut (Rm. 6:23). Tapi apa selain maut? Pertanyaan kedua, terkait dosa turunan atau dosa asal, apakah kesalahan orangtua atau leluhur selalu ditimpakan kepada anak cucunya? Dan ketiga, apakah penderitaan seseorang di dunia otomatis akibat dosa-dosanya?

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu berbahagia ini adalah Yeh. 18:1-4; 25-32. Nas ini merupakan jawaban nabi Yehezkiel kepada umat Israel yang menyindir seolah-olah Tuhan berlaku tidak adil. Keluhan mereka dituliskan di ayat 2: “Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu?” Mereka merasa dihukum akibat dosa-dosa dari leluhurnya; kenapa kini mereka yang harus menanggung?

 

 

 

Nabi Yehezkiel kemudian menjelaskan hal itu tidak benar, dengan contoh yang bagus dan panjang. Jika seseorang berusaha berbuat benar, taat dan menuruti perintah Tuhan, maka ia akan hidup dan tidak dihukum. Tetapi jika anaknya berperilaku buruk, tidak mengikuti perintah-Nya dan terperosok ke dalam dosa serta tidak bertobat, maka ia harus mati; darahnya tertimpa kepadanya sendiri. Dan, jika kemudian anaknya (cucu orang pertama) insaf, menyadari perbuatan ayahnya tidak baik, tidak mengikutinya, serta berbuat benar sesuai perintah Tuhan, maka ia akan hidup (ay. 4-24, 26-28).

 

 

 

Jadi sangat jelas bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Memang ada dosa asal (Kel. 20:5; Ul. 5:9; Mzm. 51:7). Namun ini perlu ditafsirkan bahwa orang tua yang berbuat dosa akan menurunkan "kecendrungan" anak-anaknya berbuat dosa. Kecendrungan itulah yang terjadi dan menular. Jika kemudian anaknya menyadari dan memohon pengampunan dan pemutusan, berbalik dan bertobat, maka Tuhan tidak akan menimpakan hukuman kepadanya (ay. 19-21). Dengan demikian, Yehezkiel berkata, hukuman kepada mereka itu karena dosa sendiri yang terpengaruh dosa leluhurnya.

 

 

 

Demikian halnya jika seseorang mengalami penderitaan atau merasa kurang diberkati. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, dosa asal dan bawaan ayah dan leluhur, tidak diputus dan dibereskan seperti di atas. Kedua, penderitaan itu akibat perbuatan dirinya sendiri. Penghukuman terjadi karena prinsip keadilan Allah. Meski kita perlu sadari, Ia mengizinkan penderitaan di dunia bukan dalam kerangka penghukuman, tetapi lebih kepada pendisiplinan agar lebih taat dan dekat kepada Dia. Contoh populer adalah kisah Ayub. Jelas itu ulah iblis meski Allah ingin menguji kesetiaan Ayub (Ay. 1:1-12). Oleh karena itu, kita tidak dapat menghakimi orang yang mengalami penderitaan otomatis karena dosa-dosanya.

 

 

 

Sebaliknya mereka yang kelihatan "diberkati" di dunia, tidak otomatis merupakan bukti mereka taat dan tidak berdosa. Allah Mahaadil dan Mahatahu yang akan membalaskan sesuai dengan dosa dan kejahatannya (Yer. 23:2; Yeh. 7:3-4). Tidak ada yang dapat disembunyikan (Mrk. 4:22; Rm. 2:16), Tuhan tidak dapat dipermainkan (Gal. 6:7a) dan tidak seorang pun perlu memberi nasihat kepada-Nya (Yes. 40:13; Rm. 11:34). Semua jiwa adalah milik-Nya (ay. 4).

 

 

 

Kita hidup dalam era Perjanjian Baru yang menekankan apa yang kita tabur pasti itu yang akan dituai (Gal. 6:7). Jangan kita sesat dan mudah menghakimi. Tetapi ingatlah bahwa setiap perbuatan dosa menerima konsekuensinya. Apalagi berbuat dosa dengan sengaja, sangat jelas, tidak ada korban untuk menghapusnya selain hanya penghakiman dan kematian yang mengerikan (Ibr. 10:26-27a, Bil. 15:30). Kesengajaan itu tanda tidak taat dan setia.

 

 

 

Pesan penutup nas ini: “Bertobatlah dan berpalinglah dari segala durhakamu, ... dan perbaharuilah hatimu dan rohmu! (ay. 30-31). Yesus setia menanti keinsafan kita.

 

 

Tuhan Yesus memberkati kita, amin.

Khotbah Minggu Kedelapanbelas setelah Pentakosta - 1 Oktober 2023 (Opsi 2)

Khotbah Minggu XVIII setelah Pentakosta - 1 Oktober 2023 (Opsi 2)

 

MENGANGGAP YANG LAIN LEBIH UTAMA (Flp. 2:1-13)

 

 

Bacaan lainnya: Kel. 17:1-7; atau Yeh. 18:1-4, 25-32; Mzm. 78:1-4, 12-16 atau Mzm. 25:1-9; Mat. 21:23-32

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Dalam kehidupan sehari-hari prinsip umum yang mudah diterima ialah: berkawan lebih baik daripada bermusuhan, dan bersama-sama lebih baik daripada sendiri. Keakraban dan kesatuan yang didasarkan latar belakang dan tujuan yang sama, minat yang sama, seharusnya membuat hidup lebih indah dan setiap rintangan dan tantangan menjadi lebih mudah dilampaui. Akan tetapi hal yang seharusnya mudah itu sering menjadi sulit, ternyata banyak orang (termasuk orang percaya) lebih memilih bermusuhan atau memilih terasing dari persekutuan atau kelompok. Tidak dapat disangkal bahwa kecenderungan manusia untuk menonjolkan diri dan mengharapkan pujian, merupakan dorongan kodrati yang melekat dengan ego masing-masing. Pendorong semua itu adalah egoisme dan tidak adanya keinginan merendahkan diri dengan menerima orang atau pandangan lain yang berbeda. Melalui nas bacaan kita minggu ini, firman Tuhan melalui Rasul Paulus menekankan lahirnya sukacita karena melihat saudara seiman hidup dalam kesatuan, kesehatian, sepikir dan satu kasih. Inilah yang dicoba disampaikan Rasul Paulus sebagai pengajaran sebagai berikut.

 

 

 

Pertama: Sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan (ayat 1-4)

 

Pada awal suratnya di pasal 1, Rasul Paulus menjelaskan dengan lengkap perihal pentingnya ungkapan dan sikap rasa syukur, doa, pengorbanan dan perjuangan di dalam menjalani kehidupan. Tujuan semua itu dikatakannya, "sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus" (Flp. 1:10). Filipi adalah kota kosmopolitan. Komposisi anggota jemaat menunjukkan keragaman yang tinggi dengan latar belakang yang berbeda dan juga bidang pekerjaannya. Kisah Para Rasul pasal 16 menggambarkan wajah keragaman yang membuat jemaat unik di masa itu, yakni di antara jemaat ada Lydia orang Yahudi pengusaha kaya dari Asia (Kis. 16:14); seorang budak perempuan yang mempunyai roh tenung, mungkin orang pribumi Yunani (Kis. 16:16-17); seorang sipir penjara yang melayani kekaisaran Romawi dan mungkin orang Roma (Kis. 16:25-36). Dengan begitu ragamnya latar belakang anggota jemaat maka ada potensi perbedaan yang tinggi dan mempertahankan kesatuan kadang lebih sulit. Egoisme dan mementingkan diri sendiri kerap menjadi sumber pertikaian, dan sulitnya mengabaikan jahatnya si Iblis membuat perpecahan gampang terjadi.

 

 

 

Hal itu mudah sekali tampak. Banyak orang – termasuk orang Kristen, berusaha membuat hidupnya berkesan baik bahkan hebat di mata orang lain, yang tujuannya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Hal itu dapat kita lihat dari hal sederhana yang saat ini sedang berkembang yakni kesukaan selfie (foto diri sendiri), bahkan sudah tersedia alat khusus seperti tongkat untuk “menyenangkan dan memuji diri sendiri” tersebut. Foto-foto ini kemudian diunduh di Facebook atau sebagai profile picture di HP. Semua itu wajar sepanjang tidak berlebihan dan malah menjadi “kerjaan” rutin yang sia-sia. Sikap seperti ini disebut narsis, meminta perhatian orang lain. Sebaliknya Rasul Paulus menekankan pentingnya kekuatan rohani, meminta jemaat Filipi tidak fokus pada diri sendiri melainkan memberi perhatian dan mengasihi satu sama lain dan menjadi satu dalam Roh. Ia juga meminta agar jemaat sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan. Ambisi yang egoistis atau kesombongan yang sia-sia tidak akan membuahkan apa-apa. Padahal, ketika kita bekerjasama, sebenarnya kita peduli terhadap persoalan orang lain dan membuat persoalan orang lain menjadi persoalan kita bersama. Oleh karenanya, janganlah terlalu pusing mengurusi soal kesan baik dan dipuji melulu untuk kemegahan sendiri dan mengabaikan kasih di antara keluarga jemaat Allah (Rm. 12:10).

 

 

 

Ambisi yang egoistis tidak dikenal dalam kehidupan Kristiani. Egoisme dapat merusak, tetapi kerendahan hati yang tulus akan membangun jemaat. Memberi waktu dan perhatian kepada orang lain jelas panggilan utama bagi pengikut Kristus. Setiap orang harus siap berkorban dalam satu Roh untuk bersekutu dan saling mendukung. Alkitab berkata sifat rendah hati mengekresikan prespektif yang benar akan diri kita (Rm. 12:3). Rendah hati bukan berarti menempatkan diri kita di bawah dan bukan pula memberi hormat berlebihan kepada orang lain. Kita menempatkan kepentingan diri sendiri ke belakang dan memperlakukan orang lain penuh hormat dengan sopan santun yang lazim. Menganggap kepentingan orang lain lebih utama dari pada diri kita menghubungkan kita dengan Kristus yang telah memberi keteladanan dalam kerendahan hati (Flp. 2:3). Di hadapan Tuhan, kita adalah orang-orang berdosa, diselamatkan oleh anugerah-Nya, yang berarti kita diselamatkan karena kita semua berharga di dalam Kerajaan Allah. Rasul Paulus mendorong kita agar melawan egoisme, prasangka, cemburu yang membawa perselisihan dan perpecahan (Rm. 15:5). Memperlihatkan kepentingan orang lain yang tulus adalah langkah positif dalam menjaga kesatuan di antara jemaat. Sikap menganggap yang lain lebih utama menyatukan dan bukan kepentingan sendiri atau puji-pujian bagi diri sendiri yang sia-sia (Gal. 5:26). Roh Allah mampu bekerja bagi siapa saja yang bersedia memberikan dirinya sebagai agen pembawa damai sejahtera (Mat. 5:9; 2Kor. 13:13-dab; Kol. 3:12).

 

 

 

Kedua: Mengosongkan diri untuk merendahkan diri (ayat 5-8)

 

Yesus Kristus adalah Pribadi yang rendah hati, bersedia mengorbankan diri-Nya demi mematuhi keinginan Allah Bapa dan melayani manusia (Yoh. 17:4). Ia miskin supaya kita menjadi kaya (2Kor. 8:9). Inkarnasi adalah tindakan pre-eksistensi Anak Allah yakni Yesus yang rela menjadi manusia dan memiliki sifat-sifat manusia. Ia sudah ada sejak awal (Yoh. 1:1; 8:58; Kol. 1:15-17). Dia tidak meninggalkan ke-Allahan-Nya dengan menjadi manusia tetapi menyampingkan hak-Nya yang penuh kuasa dan dimuliakan (Ibr. 5:8). Untuk menggenapkan tujuan sesuai rencana-Nya, kesetaraan dengan Allah itu tidak dianggap sebagai harga yang harus dipertahankan (dalam ayat 6 dan 7 nas ini dipakai kata morphe untuk menjelaskan rupa yang menunjukkan suatu ungkapan permanen tentang sifat-sifat hakiki, sedangkan dalam ayat 8 dipakai kata schema yang lebih mengacu pada penampilan lahiriah yang bisa berubah-ubah). Hal yang membuat kemanusiaan-Nya unik adalah Ia bebas dari dosa. Di dalam kesejatian-Nya sebagai manusia, Yesus memperlihatkan kepada kita tentang karakter Allah yang dapat dimengerti dan dimaknai oleh manusia (untuk memahami inkarnasi lebih lanjut dapat membaca Yoh. 1:1-14; Rm. 1:2-5; 2Kor. 8:9; 1Tim. 3:16; Ibr 2:14; 1Yoh. 1:1-3). Yesus sebagai Anak Allah mengosongkan diri-Nya. Mengosongkan diri berarti membuat diri sendiri tidak sama sebagaimana adanya, seperti kita berbicara kepada anak kecil maka untuk lebih efektifnya komunikasi, kita juga harus bersikap seperti anak kecil, meski hal itu tidak menghilangkan diri kita sebagai orang dewasa. Dengan pengosongan diri-Nya itulah pengorbanan diberikan dan itu yang membuat terwujudnya keselamatan bagi kita semua orang percaya. Sikap pengosongan diri itu pula yang diminta dari kita untuk lebih mampu mewujudkan kasih kepada orang lain.

 

 

 

Pengosongan diri Yesus menghilangkan hak dan keistimewaan juga kerelaan menerima penderitaan, penganiayaan dan kematian yang terkutuk di salib. Mati di kayu salib adalah bentuk hukuman yang dilakukan oleh pemerintahan Romawi bagi penjahat berat. Penyaliban itu sungguh luar biasa menyakitkan dan merendahkan martabat. Seorang tahanan yang dipaku dan diikat di kayu salib biasanya dibiarkan sampai mati. Kadang kala kematian tidak datang cepat, perlu beberapa hari, dan kematian datang ketika berat tubuh yang melemah membuat semakin sulit untuk bernapas. Yesus menerima mati seperti itu sebagai lambang kutukan (Gal. 3:13). Sungguh mengherankan, manusia yang sempurna harus mati dengan cara yang memalukan agar kita tidak menghadapi penghukuman yang kekal. Yesus dari Nazaret telah menempatkan diri-Nya sesuai dengan tempat, waktu, dan keterbatasan manusiawi lainnya. Sikap kerendahan hati Yesus ini berarti mengabaikan diri sendiri dan membuatnya tidak berarti, dan di luar dirinya lebih penting dan rela untuk berkorban. Kepentingan diri sendiri merupakan hal terakhir. Keteladanan dari kerendahan hati Yesus ini memberi pelajaran penting bagi kita, sekaligus memberi peringatan bahwa kita adalah manusia berdosa, memiliki kelemahan diri, tidak layak untuk berbangga (Mat. 11:29; Luk. 18:9-14; Yak. 4:6).

 

 

 

Memang, acapkali manusia berusaha membenarkan atau memberi maaf atas sikap buruk yang dimilikinya, seperti egoisme, kebanggaan, atau kejahatan lainnya; bahkan mengklaim hal itu adalah haknya. Mereka berpikir, "Saya boleh berbuat curang dalam ujian ini, setelah ini kan saya tidak di kelas ini lagi"; atau, "Saya boleh dong membelanjakan semua uang saya sebab saya sudah bekerja keras untuk itu"; atau, "Saya boleh melakukan aborsi, saya kan berhak mengatur tubuh saya sendiri." Akan tetapi sebagai orang percaya kita harus memiliki perilaku yang berbeda, yang mampu mengenyampingkan kepentingan kita sendiri untuk melayani dan memberi contoh bagi yang lain. Jika kita mengatakan mengikut Kristus, kita juga harus mengatakan kita hidup sama seperti Dia. Pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus harus ada dalam diri kita. Kita perlu ingat, kitalah yang memilih perilaku kita sendiri. Semua dapat dilihat, dicermati, dievaluasi dan bahkan diubah. Pilihannya, kita dapat menjalani kehidupan ini dengan berharap terus dilayani, atau kita mencari kesempatan untuk melayani orang lain. Inilah yang ditegaskan-Nya dengan berkata: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28; Mrk. 10:45). Apakah kita bersikap egois dengan terus melekatkan hak-hak kita, atau kita ingin melayani orang lain? Apakah kita hanya mencari puji-pujian yang sia-sia, terus mengurusi kepentingan diri sendiri dan melupakan kepentingan orang lain?

 

 

 

Ketiga: Segala yang ada bertekuk lutut dalam nama Yesus (ayat  9-11)

 

Ayat nas ini kemungkinan berasal dari lagu-lagu pujian di masa awal gereja. Pesannya paralel dengan nubuat dan penderitaan hamba dalam Yes. 53. Sebagai lagu pujian, maka pernyataan itu tidak berarti harus lengkap penggambaran tentang sifat dan pekerjaan Kristus. Beberapa karakteristik utama Yesus Kristus dipuja dalam pujian ini, yakni Yesus Kristus selalu ada bersama Allah sebab Kristus adalah sama dengan Allah dan Dia adalah Allah (band. Yoh. 1:1-dab; Kol. 1:15-19). Ia menjadi manusia mengorbankan hak keilahian dan keistimewaan-Nya untuk menggenapi rencana keselamatan dari Allah bagi seluruh manusia; dan Kristus tidak hanya menampakkan diri sebagai manusia, tetapi Ia menjadi manusia sejati untuk mengidentifikasi tanpa dosa. Semua itu dilakukan-Nya oleh kasih untuk Bapa-Nya dan untuk kita manusia yang mau bertobat dari segala dosa-dosa kita. Dalam kemanusiaan-Nya, Yesus mengalami penderitaan yang demikian hebat dan bahkan sampai meminta agar cawan penderitaan itu berlalu dari-Nya dengan memohon, “Ya Bapa-Ku, jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu! (Mat. 26:39, 42). Oleh karena ketaatan-Nya, Allah memuliakan-Nya dengan membangkitkan Yesus dari kubur dan mengembalikan kedudukan-Nya di sebelah kanan Allah Bapa, dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama dan digelar sebagai TUHAN, Kurios, nama Allah dalam Perjanjian Lama yang menurut pengertian Ibrani menunjuk kepada kedudukan dan kemuliaan (Kis. 2:36; Rm. 14:11; band. Yes. 45:23). Allah yang mengangkat-Nya ke sorga kemudian menunjuk Yesus berkuasa selamanya dengan menjadi Hakim bagi manusia (Ef. 1:21; Ibr. 1:4; Kis. 10:42; 17:31).

 

 

 

Perjanjian Lama menggambarkan Musa dan Salomo sebagai hakim-hakim yang penuh hikmat, di samping beberapa hakim-hakim pada masa sebelum raja-raja. Ini sama seperti hakim Artidjo Alkostar di Mahkamah Agung RI yang dianggap hakim "adil", memahami rasa keadilan rakyat dengan menghukum berat para koruptor bila mereka kasasi. Namun mereka semua adalah hakim di dunia. Sebagian bukti atau fakta mungkin tersembunyi dan tidak terungkap, sehingga bisa muncul rasa tidak adil. Ini berbeda dengan pengadilan akhir, sebab semua fakta terbuka. Yesus adalah Allah Mahatahu sehingga pertimbangan-Nya pasti adil. Oleh karena itu pada pengadilan akhir zaman, semua orang termasuk yang dihukum akan mengaku kekuasaan Yesus dan hak-Nya untuk memutuskan. Bukan hanya orang Kristen yang percaya, melainkan juga mereka yang tidak percaya atau menyangkal-Nya. Dengan kedudukan yang demikian diberikan Allah kepada Yesus, maka semua makhluk yang ada di bumi, di langit di atas, dan yang ada di bawah bumi akan bertekuk lutut untuk menyembah Dia (pengertian alam semesta raya pada saat itu terbagi atas tiga wilayah: bumi, langit sebagai atas bumi dan bawah bumi tempat yang gelap - band Kis. 5:3, 13). Dengan kedudukan yang demikian, Alkitab mengatakan bahwa ibadah agung universal akan dipersembahkan kelak kepada Yesus sebagai Tuhan (Why. 5:13; 15:3-4).

 

 

 

Bagi kita orang percaya, Yesus Kristus adalah Tuhan yang merupakan pokok pengakuan iman (Yoh. 13:13; Rm. 10:9; 1Kor. 12:3). Pembangkitan adalah karya unggul dari kuasa Allah (Rm. 1:4-dab). Manusia dapat memilih untuk mengaku Yesus sebagai Tuhan saat ini sebagai langkah komitmen kasih kepada-Nya, atau kita ”dipaksa” untuk mengakui Dia adalah Tuhan saat kembali-Nya kelak? Kristus dapat kembali setiap saat. Apakah kita sudah siap untuk bertemu dengan-Nya? Apakah kita bisa mempertanggungjawabkan tugas misi yang diberikan kepada kita sebagai utusan-Nya di lingkungan kita terdekat? Pengakuan lidah kita yang “mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah” merupakan sikap yang bersedia menjadi milik Tuhan untuk menjadi hamba yang berguna dan berbuah. Kita berbuah agar segala lidah mengaku Yesus adalah Tuhan. Kalau kita merasa belum berbuah selama ini atau belum maksimal, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan kepada sesama orang percaya (Mzm. 8:5-6; Yoh. 15:1-16). Semua yang kita lakukan adalah pekerjaan hamba dan tidak layak kita banggakan, sebab seperti dikatakan, “bagi kemuliaan Allah”. Kalau kita bermegah harus bermegah di dalam Allah (Rm. 7:18; Gal. 6:3; 2Kor. 10:17). Inilah dasarnya kita perlu memuji Kristus dan mengaku Ia adalah Tuhan dan menyerahkan hidup kita untuk melayaninya (Kol. 2:6).

 

 

 

Keempat: Allah yang mengerjakan kemauan maupun pekerjaan (ayat 12-13)

 

Alkitab mengatakan bahwa kita diselamatkan oleh kasih karunia dan bukan karena hasil usaha kita sendiri (Ef. 2:8). Artinya, anugerah keselamatan yang kita terima bukan karena prestasi dan amal usaha kebaikan yang kita lakukan, melainkan karena iman kepada Tuhan Yesus (Rm. 10:9-10). Dengan adanya iman tersebut maka kita menjadi milik-Nya. Jadi sederhananya, keselamatan bukan karena perbuatan baik, tapi karena iman, dan iman itu yang mengharuskan adanya perbuatan baik. Perbuatan baik saja tidak cukup, sebab dua hal yang penting: pertama, manusia selalu berdosa (dan dosa hanya dapat dihilangkan dengan iman dan pengampunan). Kedua, perbuatan baik mendorong manusia untuk bermegah (sementara iman mendorong terus untuk ketergantungan). Kita menerima keselamatan juga bukan hanya di akhir zaman atau di masa pengadilan, melainkan telah menerima keselamatan itu pada masa lalu ketika kita menerima baptisan kudus dan pengakuan percaya. Kita juga menerima keselamatan itu di masa kini dengan bersikap penuh percaya kepada Tuhan tentang perjalanan hidup kita, dan kita tetap mengerjakan keselamatan dengan bergantung kepada-Nya. Dan terakhir, kita akan menerima kegenapan keselamatan itu nanti pada akhir zaman bersama-sama dengan orang percaya lainnya.

 

 

 

Mengerjakan keselamatan itu perlu dilakukan dengan merasa takut dan gentar (Yes. 66:2; Ams. 3:7; 8:13). Takut dan gentar dalam hal ini maksudnya adalah bersungguh-sungguh. Takut dan gentar membuat kita malah tidak bersungguh-sungguh dan optimal. Rasa takut bersumber dari dua sisi yakni sisi di luar diri sendiri dan sisi dari dalam diri sendiri. Dari luar diri sendiri, ada yang melihat dunia dan kehidupan ini begitu menakutkan, bukan saja oleh sulitnya hidup karena persaingan dan kelangkaan, tetapi juga oleh meningkatnya kekerasan, penyakit, risiko dan perusakan lingkungan (band. Luk. 12:4-5). Dari dalam diri sendiri sering muncul pemikiran bahwa kita adalah orang yang tidak mampu, lemah dan tidak bisa meningkatkan diri. Seolah ada bisikan menerima saja apa adanya dan tidak perlu berusaha keras meningkatkan diri. Sikap ini jelas dari iblis yang merongrong diri kita dan mengabaikan peran dan kuasa Allah dalam hidup orang percaya. Kemampuan manusia memang terbatas, meski manusia sendiri tidak tahu batasnya. Bidang kehidupan manusia demikian luasnya untuk tempat bersekutu dan mengabdi. Kelemahan dalam satu sisi (misalnya, kecerdasan) dapat ditutupi dengan kekuatan emosi dan spiritual, demikian juga sebaliknya. Kelemahan fisik dapat ditutupi dengan kemauan dan latihan seperti dunia melihat “kehebatan” Stephen Hawking, terlepas dari karya-karyanya yang kontroversial yang menihilkan peran Allah.

 

 

 

Semua itu dapat terjadi bila kita melakukannya dengan penuh ketaatan dan sikap hormat kepada Allah (2Kor. 7:15; Kol. 3:22). Betul, kita selamat bukan oleh ketaatan. Ketaatan dan keselamatan dalam hal ini berhubungan dengan sikap tunduk dan patuh pada panggilan Tuhan untuk menunaikan tugas dan memelihara hidup kudus. Kita harus memiliki karakter melayani, dengan penuh kasih kepada Allah dan sesama, mengembangkan perilaku rendah hati saat melayani, dan bukan mencari puji-pujian atas usaha yang kita lakukan. Semua itu dapat terjadi, sebab Allah yang mengerjakan kemauan maupun kerelaan kehendak-Nya pada setiap orang (Ef. 1:5). Jadi, terwujudnya ketaatan yang kita berikan pun bukan hasil perjuangan kekuatan diri kita, melainkan oleh kuasa Roh Allah yang tinggal di dalam hati orang percaya yang memampukan hal itu (Rm. 8:14-17; Ibr. 13:21). Tindakan ketaatan adalah hasil mengikuti karya Roh di dalam diri kita yang bekerja mendorong roh kita sebagai manusia. Dalam hal ini bila semua berjalan dengan kesadaran penuh dari hikmat dan perenungan pribadi, maka untuk melakukannya kita tidak memerlukan pengawasan orang lain. Ini yang diminta oleh firman Tuhan, ketika Paulus tidak bersama dengan mereka, jemaat tersebut terus berusaha mengekpresikan kesatuan. Semua orang diminta menjadi "kawan sekerja Allah" (1Kor. 3:9) untuk menyempurnakan keselamatan yang kita miliki saat ini dan kelak di sorga.

 

 

 

Penutup

 

Kehidupan persekutuan Kristen semestinya berjalan bagaikan lingkaran spiral yang terus naik ke atas, bergerak menapak jalan yang lebih tinggi dan bukan kemunduran mengecil atau pengulangan yang sia-sia. Dalam jemaat yang beraneka ragam keanggotaannya, dengan berbagai latar belakang dan motivasi, memang tidak mudah untuk menciptakan kesatuan. Demikianlah yang terjadi pada jemaat Filipi pada masa awal-awal gereja. Mereka cenderung untuk menonjolkan egoisme masing-masing dan keinginan mencari puji-pujian yang sia-sia dan ini yang menjadi benih pemecah kesatuan mereka. Padahal sebagai jemaat yang dipanggil dalam pelayanan, kesatuan dalam sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan merupakan hal yang pokok sebagai pondasi pelayanan. Kita diberi pelajaran dan teladan oleh Tuhan Yesus dengan mengosongkan diri sebagai kunci untuk bersatu, dan kesatuan itu membuat nama Tuhan Yesus menjulang tinggi di atas segala nama. Dengan meninggikan Yesus, maka segala yang ada di alam semesta ini akan bertekuk lutut dalam nama-Nya, sebab Dialah yang menjadi Hakim segala bangsa. Tugas panggilan untuk meninggikan itu juga ada pada kita orang percaya. Melalui iman dan respon setiap orang, Allah mengerjakan kemauan maupun pekerjaan di dalam hidup kita bagi kemuliaan nama-Nya. Semangat Kristus adalah melayani dan kita telah dilayani-Nya. Apakah semangat melayani Dia sudah ada dalam hidup kita? Mari kita berdoa agar Roh Kudus bekerja dalam hidup kita dan memampukan kita melakukannya menjadi berkat bagi segala bangsa.

 

 

 

Selamat melayani dan beribadah.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu Kedelapanbelas setelah Pentakosta - 1 Oktober 2023 (Opsi 1)

Khotbah Minggu XVIII setelah Pentakosta - 1 Oktober 2023 (Opsi 1)

 JEBAKAN BETMEN (Mat. 21:23-32)

 “Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya" (Mat. 21:32)

 

Firman Tuhan bagi kita Mat. 21:23-32, berbicara tentang dua hal, yakni: pertanyaan para imam tentang sumber kuasa Yesus, dan perumpamaan tentang dua orang anak yang disuruh bekerja di kebun. Pada situasi pertama, Tuhan Yesus disudutkan dalam jebakan betmen. Mungkin kita tahu kenapa disebut jebakan betmen, karena si pahlawan Batman dengan ketulusan hatinya sering dijebak, dan berkata: “Shoot..., it’s a trap” (Sial..., ini adalah jebakan).

 

Akan tetapi Yesus tidak mau terjebak. Ini disebabkan sejak awal suasana hati-Nya telah galau dengan melihat banyaknya pedagang yang nakal di Bait Allah, dan Ia membalikkan meja-meja pedagang yang ada disitu (ayat 12-13). Demikian juga Ia mengutuk pohon ara karena tidak berbuah (ayat 18-19).

 

Para imam dan tua-tua bangsa Yahudi lantas bertanya, dengan kuasa manakah Yesus melakukan semua itu, dan siapa yang memberi kuasa kepada-Nya? Yesus tidak menjawab langsung, karena tahu itu adalah jebakan betmen. Tuhan Yesus malah bertanya balik kepada mereka tentang baptisan Yohanes, apakah dari sorga atau manusia? Jebakan dikembalikan, dan jawaban konyol pun keluar: “Kami tidak tahu”. Nah, kena deh.... Yesus pun akhirnya menolak menjawab pertanyaan mereka.

 

Terkait kuasa dan otoritas Tuhan Yesus, kita lihat kembali renungan beberapa minggu yang lalu. John Stott dalam bukunya Why I am a Christian menyebutkan, otoritas Yesus terjadi karena Ia memisahkan diri-Nya dari semua orang, menempatkan diri-Nya dalam katagori moral dimana hanya ada diri-Nya sendiri. Semua orang ada dalam kegelapan, dan Ia adalah terang dunia. Ada orang banyak yang kelaparan, dan Ia adalah Roti Hidup. Orang-orang kehausan, dan Ia adalah Air hidup. Semua orang berdosa, dan Ia mampu mengampuni dosa-dosa mereka.

 

Yesus Kristus adalah Allah sejati sekaligus manusia sejati. Karya-Nya adalah karya Allah seperti meredakan angin ribut, membangkitkan orang mati, memberi makan 5.000 orang, dan puluhan mukjizat lainnya. Paul Enns dalam bukunya The Moody Handbook of Theology menyebutkan hal ini sebagai kesatuan hipostatik, Yesus datang dan mengambil natur manusia tanpa kehilangan natur Ilahi-Nya. Meski memiliki dua natur, tetapi Ia tetap SATU Pribadi. “Ia adalah Nabi, Imam dan Raja. Ketiga jabatan Kristus ini merupakan kunci pada tujuan inkarnasi,” tulis Paul Enns.

 

Yesus Tuhan menjadi manusia menjadi khusus, spesial, dan utama. Ia adalah Gembala yang baik, yang pergi ke padang gurun mencari domba-domba yang hilang. Ia menyebut diri-Nya sebagai Juruselamat dan sekaligus Hakim, menjadikan diri-Nya sebagai tokoh utama pada hari penghakiman. Mungkin sedikit "sombong" tetapi tetap rendah hati, sebagaimana Ia menjawab jebakan betmen para imam di atas.

 

Bagian kedua nas minggu ini tentang seseorang yang mempunyai dua orang anak laki-laki yang disuruh bekerja di kebun ayahnya. Anak sulung disuruh dan menjawab: Ya, tetapi ia tidak melakukannya. Anak kedua disuruh menjawab: “Tidak Mau”, tetapi kemudian menyesal dan pergi bekerja di kebun ayahnya (ayat 28-30). Jelas saat Yesus bertanya, yang melakukan kehendak ayahnya adalah anak yang kedua. Yesus kemudian mengatakan kepada para imam dan tua-tua, begitulah para penjahat yang menyesal, “pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah” (ayat 31b).

 

Kita semua manusia berdosa, tidak saja karena melanggar perintah-Nya, tetapi juga tidak melakukan kehendak-Nya berbuah seperti pohon ara dan berbuah lebat seperti pohon anggur. Tetapi Tuhan Yesus dengan kuasa-Nya melalui nas ini membuka pintu bagi penyesalan dan pertobatan. Mari kita tanggap mengakui itu semua, dengan bertobat ingin terus dibarui dan semakin berbuah. Jangan menunggu besok untuk kembali ke jalan-Nya dan berbuah lebat bagi sesama. Kita tidak tahu saat penghakiman, atau berharap bisa “berjudi” seperti penjahat di sebelah Tuhan Yesus yang di saat terakhir dibawa masuk ke Firdaus. Percaya dan taat adalah dua syarat utama (Mat. 7:21; Yoh. 3:36). Jalan kebenaran telah ditunjukkan kepada kita hari ini (ayat 31-32). Tetapi bila tetap bebal, jangan kaget dan kelak dengan konyol mengatakan di hari akhir: Ini adalah jebakan betmen! Kena deh....

 

Selamat melayani dan beribadah.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 24 September 2023

Kabar dari Bukit

 

RESIKO BERSUNGUT-SUNGUT (Kel. 16:2-15)

 

”Dan besok pagi kamu melihat kemuliaan TUHAN, karena Ia telah mendengar sungut-sungutmu kepada-Nya” (Kel. 16:7a)

 

 

Setiap orang pasti pernah bersungut-sungut, meski dalam hati dan tidak disadari; timbul saat ada kemacetan, antrian panjang, pelayanan yang tidak baik, kecewa, kenyataan dan harapan berbeda, merasa tidak diperlakukan adil (bdk. Mat. 20:10-12), atau munculnya masalah yang tidak terduga. Buruknya, sungut-sungut dapat membawa ke arah perasaan kesal, geram, dan amarah tidak terkendali.

 

 

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu kemenangan ini adalah Kel. 16:2-15. Ini kisah bangsa Israel yang bersungut-sungut saat perjalanan keluar dari Mesir, setelah bekal makanan yang mereka bawa mulai habis. Tentu mencari makanan di tengah padang gurun tidaklah mudah. Itulah sumber sungut-sungut mereka kepada Musa dan Harun yang memimpin perjalanan.  “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan” (ay. 3).

 

 

 

Ya, salah satu ironi manusia adalah ingin enak tapi tidak mau susahnya; berharap perubahan lebih baik, tapi ketika ada masalah dan tantangan, yang muncul adalah bersungut-sungut. Untuk sungutan bangsa Israel, Tuhan memakluminya, mungkin karena ini yang pertama. Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu.... Pada waktu senja kamu akan makan daging dan pada waktu pagi kamu akan kenyang makan roti; maka kamu akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, Allahmu." (ay. 4, 12).

 

 

 

Ternyata dari kisah Alkitab kita tahu, bangsa Israel ada tujuh kali bersungut-sungut selama perjalanan keluar tersebut. Tuhan pun menghukum dengan berbagai cara, termasuk membakar kemah mereka, mengitari padang gurun 40 tahun, dan tidak ada yang ikut masuk ke tanah Kanaan kecuali Yosua dan Kaleb (Bil. 11:1-30; 14:30; 15:30).

 

 

 

Inilah pelajaran penting dari nas ini. Tuhan pasti memegang janji-Nya, peduli, penuh kasih, dan menolong umat-Nya terus bertumbuh. Tapi ada harga pengorbanan yang harus dibayar jika menginginkan perubahan. Ada toleransi dan aturan yang harus diikuti, sebagaimana bangsa Israel diuji. “Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak. Mereka hanya boleh memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari.” Hanya untuk Sabat boleh dibawa pulang dua kali lipat banyaknya (ay. 4-5).

 

 

 

Meninggalkan zona nyaman yang dimiliki memang tidak mudah. Namun jika kita ingin bertumbuh, Tuhan pasti membuka jalan dan ingin melihat kita berhasil. Bila keberhasilan mulai tampak kemudian muncul masalah baru, jangan langsung bersungut-sungut, menyalahkan orang lain apalagi Tuhan. “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum....” (Yak. 5: 9).

 

 

 

Bersungut-sungut tidak menyelesaikan masalah; tidak perlu kesal apalagi marah. Terima keadaan dan bila dapat diselesaikan, ya bagus. Senjata melawan sikap bersungut-sungut hanyalah kesabaran dan pengendalian diri (Gal. 5:22-23). Lihat juga cara bersyukur dibalik masalah yang ada (1Tes. 5:18). Perlu latihan dan kontemplasi, membangun kematangan rohani yang membuat hal tidak mengenakkan ditanggapi positif. Tuhan tahu persoalan kita dan tidak akan membiarkan berlalu tanpa campur-tangan-Nya.

 

 

 

Ketahuilah, sungutan adalah dosa, sebagaimana Tuhan menghukum bangsa Israel. Firman-Nya berkata, “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela..., sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Flp. 2:14-15).

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 74 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8562167
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
215
73300
73515
8223859
713452
883577
8562167

IP Anda: 172.70.147.156
2024-12-16 01:03

Login Form