Sunday, December 15, 2024

2023

Khotbah Minggu 22 Januari 2023

 Khotbah Minggu 22 Januari 2023

 SALIB ADALAH KEKUATAN ALLAH (1Kor. 1: 10-18)

 Bacaan lainnya: Yes. 9:1-4; Mzm. 27:1, 4-9; Mat. 4:12-23

 

Pendahuluan

Bacaan di atas merupakan respon Rasul Paulus setelah mendapat laporan dari utusan keluarga Kloë yang mungkin adalah anggota jemaat di Korintus tentang terjadinya perpecahan di antara jemaat. Sebagai orang yang pernah tinggal di sana dan membimbing banyak jemaat, Paulus memberikan nasihat dan ini menjadi pelajaran dan teladan kepada kita, bagaimana potensi-potensi perpecahan dalam gereja perlu dikenali, diungkapkan, dan kemudian diarahkan agar gereja tidak menghabiskan energi hanya untuk mengurusi hal seperti itu. Pusat perhatian gereja hanyalah kepada Tuhan Yesus Kristus, dan kita dipanggil untuk menjadi kekuatan Allah. Melalui nas bacaan ini, kita diberikan pelajaran sebagai berikut.

 

Pertama: Jangan ada perpecahan di jemaat (ayat 10-12)

Ungkapan “Bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh” merupakan pepatah atau adagium yang bisa diterima semua orang. Contoh sapu lidi sangat umum untuk menggambarkan hal ini. Barisan yang teratur dan saling terkait dan menopang, pasti menjadi pertahanan atau benteng yang kuat dan bagus. Kesatuan tembok batu bata atau simpul tali/kawat yang dipilin pasti akan lebih kuat. Demikian pula ungkapan kalau menggapai mimpi lebih baik dilakukan berdua/bersama dibandingkan dengan dilakukan sendiri-sendiri. Istilah sinergi adalah istilah generik yang memang manfaatnya tidak bisa terbantahkan. Namun, kalaupun ada yang berpikir bahwa sebuah lidi juga bisa bermanfaat, atau bermimpi juga bisa dilakukan sendirian, atau sinergi juga membawa efek samping, ya semua sah-sah saja. Namun dengan kesatuan dan kebersamaan dalam mencapai tujuan, dipastikan lebih efektif dan hasilnya jauh lebih baik.

 

Tetapi mengapa orang tidak mudah bersatu? Mengapa orang mau berselisih dan tidak melihat contoh di atas dan lebih memilih berpisah, bercerai atau perpecahan (schisma)? Orang lebih suka berpisah dan membangun sesuatu yang baru dengan kembali ke titik nol, dibandingkan dengan tetap bersinergi bersama-sama membangun yang sudah ada dan saling mendukung. Sepertinya semua hanya karena EGO atau EGOISME. Ini sifat yang lebih mementingkan diri sendiri, atau dorongan untuk menguntungkan diri sendiri dibandingkan dengan kepentingan orang lain. Fokus utamanya adalah kepuasan diri sendiri dan bukan menyenangkan orang lain, yang dalam hal ini menyenangkan hati Tuhan juga (Band. Gal. 5:20). Mereka melihat dirinya lebih utama dan penting sehingga bertindak lebih baik sendiri, dengan kadang berprinsip lebih baik jadi raja kecil daripada serdadu raja besar. Merasa diri penting sangat berbahaya, seperti kata T.S. Eliot, “Separuh rasa sakit yang terjadi di dunia ini hanya karena seseorang merasa dirinya penting.”

 

Itulah yang terjadi di jemaat Korintus. Keragaman anggota jemaat membuat adanya kelompok-kelompok, dan masing-masing kelompok ini berpendapat bahwa kelompoknyalah adalah yang terbaik, termasuk adanya kelompok Yahudi dan non-Yahudi. Mereka juga mendasarkan kelompoknya pada siapa yang membaptis, karunia yang mereka miliki, kaya miskin, sekelompok orang yang masih terlibat dengan masalah moralitas lama, dan sebagainya sehingga menimbulkan perpecahan dalam jemaat. Semua merasa dirinya utama dan penting. Padahal, perpecahan mendatangkan ketidaknyamanan bagi seluruh anggota lainnya, menjadi kelemahan, celaan (Mat. 12:26) dan batu sandungan, membawa kepahitan (Ibr. 12:15), dan kehancuran (Mat. 12:35). Mereka ikut dalam pertempuran di lapangan tetapi sebenarnya mereka tidak bertujuan memenangkan peperangan. Seseorang yang mengutamakan dirinya sendiri sebaiknya melihat dulu dosa-dosa yang sudah dilakukannya, dan bagaimana Yesus telah mati bagi dirinya dengan merendahkan diri dan menerima siksaan yang berat. Bagi Paulus, sikap perpecahan ini menyedihkan dan itulah dasar dari suratnya.

 

Kedua: Baptisan dan keutamaan denominasi (ayat 13-16)

Pada waktu surat ini ditulis, memang belum ada kitab Perjanjian Baru sebagai sebuah kitab suci referensi bersama. Jadi semua orang sangat tergantung kepada pengajar masing-masing. Ada yang merasa kalau murid Kefas (nama Petrus dalam bahasa Aram) adalah rasul yang paling berwibawa saat itu, ada yang merasa murid Paulus (sebab ia pernah tinggal disana), ada yang merasa murid Apolos dari Aleksandria yang pandai berpidato dan mengeluarkan kata-kata “berhikmat” dan senang pada keanggunan sastra (band. Kis. 18:24; 19:1), dan ada pula yang merasa menjadi murid Kristus langsung. Kemungkinan juga mereka ini dibaptis oleh masing-masing gurunya tersebut sehingga membedakan baptisan-baptisan yang ada dan mereka memiliki karunia-karunia yang berbeda kualitasnya. Dengan demikian mereka menjadikan Kristus yang terbagi-bagi, tidak lagi dalam satu tubuh-Nya.

 

Bagaimana pun Kristus tidak dapat terbagi-bagi berdasarkan baptisan dan guru atau pengajar, bahkan rasul sekalipun. Namun bagi jemaat Korintus mereka berpikiran adanya hubungan khusus antara yang membaptis dan mereka yang dibaptis. Mereka merasa pembaptislah yang menjadi pemilik hidupnya (karena berlatar belakang pemikiran budak), seolah-olah kewibawaan atau “kebesaran” nama dan kepintaran berpidato oleh orang membaptis itu menjadi sebuah keistimewaan dalam baptisan, semacam memiliki kekuatan rohani yang berbeda. Jelas ini cara berpikir yang salah. Bahkan mereka juga menjelek-jelekkan baptisan orang lain, bahwa baptisan oleh pihak lain itu tidak sah, tidak berwibawa, kurang memiliki Roh yang kuat, dan sebagainya, sementara baptisan mereka adalah yang penuh wibawa, penuh Roh, dan berdasarkan hikmat yang lebih besar, dan sebagainya. Inilah yang membuat mereka menempatkan diri sebagai kelompok eksklusif dan menjadi biang keladi perpecahan jemaat. Padahal, tujuan dibaptis adalah sesuai dengan perintah Kristus dan mencirikan mereka bukan manusia lama, dan mereka yang sudah dibaptis ke dalam Kristus akan menjadi manusia baru (band. Rm. 6:1-11).

 

Hal ini juga yang menjadi pergumulan umat Kristen saat ini. Masih banyak gereja-gereja yang mengaku bahwa baptisannya (selam) sah dan baptisan yang lain (percik) tidak sah. Ada yang bahkan mengaitkan baptisan (selam) dengan syarat keselamatan sehingga mewajibkan baptisan ulang, yang berarti mengabaikan dan menihilkan baptisan sebelumnya. Mereka ini menyatakan bahwa baptisan kepada bayi dan anak-anak tidak sah. Sikap seperti ini jelas bukan meneladani Kristus dan para rasul yang merendahkan diri demi untuk pelayanan. Hal yang lebih mengkhawatirkan juga akibat dari pandangan ini, jemaat masa kini banyak yang menjadi lebih berpihak pada manusia (gembala, pendeta) yang menahbiskannya, bersedia bertengkar demi mengikuti pandangan yang “salah” tersebut, dan bukan berpihak pada Kristus, sumber kuasa Roh dalam baptisan. Ini bahayanya kalau orang hanya mendengar khotbah tanpa membaca ulang firman-Nya, akan ada fanatisme buta. Pesan pengkhotbah tidak lebih utama dan benar dari firman. Kekuatan bukan pada yang bercerita, tetapi pada ceritanya (get the story, not the storyteller). Kebanggan kita bukan pada pengkhotbah melainkan pada Tuhan Yesus. Inilah yang ditekankan oleh Firman-Nya melalui Rasul Paulus, agar kita tetap dalam kasih dan kesetiaan kita kepada Allah, berfokus pada Sumbernya yakni Tuhan Yesus, berfokus pada misi-Nya, dan bukan pada orang yang membaptis kita di dunia ini. Firman Tuhan berkata, membanggakan kelompok sesuai baptisan menunjukkan bahwa kamu adalah manusia duniawi yang bukan rohani (1Kor. 3:4).

 

Ketiga: Kita dibaptis untuk diutus (ayat 17)

Meski Paulus menyatakan bahwa dia dipanggil bukan untuk membaptis, baptisan bukan berarti tidak perlu. Tuhan Yesus memerintahkan baptisan (Mat. 28:19) dan juga dikhotbahkan oleh para rasul (Kis. 2:41). Baptisan sebagai “pengganti” dan sejajar dengan sunat merupakan pemersatu kita dengan Kristus. Pemersatuan itu disimbolkan dengan adanya air, baik itu dalam bentuk percikan maupun dalam bentuk diselamkan. Memang kata baptis berarti diselamkan, akan tetapi diselamkan dalam pengertian diselamkan secara rohani ke dalam Roh, bukan hakekatnya ke dalam air, sebab air itu hanyalah tindakan simbolis saja.  Pengertian dibaptis atau diselamkan dalam hal ini diutamakan dipersatukan ke dalam kematian Tuhan Yesus dan kebangkitan-Nya. Baptisan juga tidak ada hubungannya dengan pengudusan dan juga dengan keselamatan, sebab keselamatan itu hanya melalui pertobatan, iman, ketaatan, dan kasih karunia saja (band. Kis. 2:38). Itu hanya merupakan tanda dipersekutukan dan tidak ada salahnya bila dipakai sebagai persyaratan keanggotaan gereja tertentu, namun bukan pada keselamatan.

 

Rasul Paulus sendiri tidak terlalu berminat dalam membaptis sehingga ia katakan hanya membaptis beberapa orang saja. Tugas itu lebih ia berikan kepada pihak lain yang secara teologis memang siapa saja orang percaya dapat melakukannya, meski aturan gereja kadang menyebutkan harus dilakukan oleh hamba Tuhan yang ditahbiskan (Pendeta). Rasul Paulus lebih menekankan tugas dan pelayanannya dalam pemberitaan Iniil, sebab menurutnya untuk itulah dia dipanggil, bukan dipanggil untuk membaptis. Dalam pandangannya, sepanjang baptisan itu di dalam nama Tuhan Yesus (beserta Allah Bapa dan Roh Kudus), maka semua baptisan itu sudah sah dan mempersatukan kita dengan Dia. Dengan demikian, firman Tuhan yang disampaikannya lebih menempatkan kedudukan baptisan pada pengertian yang sebenarnya, bukan diartikan menjadi sesuatu yang membuat perbedaan baik dalam cara maupun dalam kualitas berkat dan karunia yang diterimanya. Oleh karena itu Rasul Paulus sebagai pembimbing mereka, dalam kekecewaannya dengan perpecahan karena baptisan ini sampai mengatakan: "Apakah yang kamu kehendaki? Haruskah aku datang kepadamu dengan cambuk atau dengan kasih dan dengan hati yang lemah lembut'?" (1Kor. 4:21).

 

Oleh karena itu seyogianya bagi kita yang diberi karunia berkata-kata dalam hikmat seperti Apolos dalam pengertian pandai berkhotbah, jangan melupakan bahwa fokus utama panggilan kita adalah untuk terus memberitakan Injil, bukan dengan membangun gereja yang baru, kelompok baru, menghimpun anggota untuk kepentingan diri sendiri, sehingga tujuan utama pemberitaan Injil menjadi terpinggirkan atau tidak fokus. Itulah sebabnya Rasul Paulus tidak mau terjebak dalam pidato atau khotbah yang menggebu-gebu, berkata-kata dengan bunga rampai hikmat duniawi, melainkan ia mengandalkan kekuatan Roh dalam pemberitaan Injil, agar semakin banyak orang yang bertobat, percaya, dan taat agar menerima kasih karunia itu (1Kor. 2:1, 4). Bagi dia, pemberitaan Injil dan Kristus yang disalib dan bangkit kembali merupakan hal yang utama, bukan mempersoalkan baptisan, bukan perbedaan karunia rohani, sebab hal demikian membuat salib Kristus menjadi sia-sia atau kosong kehilangan tujuannya.

 

Keempat: Pemberitaan salib itu kekuatan Allah (ayat 18)

Ada banyak makna salib bagi banyak orang. Ada yang membuat salib sebagai perhiasan di baju, digantungkan di leher; ada yang membuat sebagai hiasan di dinding rumah; ada yang membuat sebagai senjata atau bahkan menjadi tiang jemuran; tapi secara umum salib adalah simbol kekristenan, sebab Yesus mati di kayu salib dan curahan darah-Nya itulah yang menjadi penebusan dosa umat manusia. Alkitab berkata bukan lagi persembahan hewan dan percikan darahnya di bait Allah di Yerusalem yang dapat menghapuskan dosa manusia, melainkan hanya dengan mengakui dan percaya bahwa Yesus menderita dan telah mati bagi dia, kita sudah ditebus oleh-Nya, darah-Nya yang kudus telah menguduskan kita, dan bertobat serta taat akan firman-Nya, maka salib itu memiliki makna khusus dalam hidup kita.

 

Bagi mereka yang mengutamakan penggunaan akal pikiran dalam mencerna penebusan Yesus di salib, itu tampak seperti hal yang tidak masuk akal. Kesannya, bagaimana mungkin seseorang mati di kayu salib bisa menggantikan segala dosa-dosa yang kita lakukan. Bagi mereka, yang terus mengutamakan penggunaan akal dan mengandalkan semua logika duniawi, ini dipandang sebagai kebodohan. Kesombongan intelektual mereka membuat mereka menolak, tetapi ketidakpercayaan itulah yang membuat mereka menjadi binasa. Nas minggu ini mengatakan, pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka. Mereka tidak sadar bahwa justru itulah keunikan dan kekhususan kekristenan, dengan kebenaran pengampunan dan keselamatan hanyalah kasih karunia dan anugerah.

 

Tetapi sebaliknya bagi kita yang percaya pada penebusan Yesus, mengakui salib itu adalah kekuatan Allah. Salib itu adalah tempat Allah memperlihatkan kasih-Nya dengan bersedia menderita dan menerima siksaan hingga mati demi untuk menebus dosa-dosa yang percaya kepada-Nya. Salib bagi kita bukan (hanya) ornamen, hiasan, atau simbol, namun salib sudah menjadi hakekat penebusan. Dengan demikian, pemberitaan salib menjadi kekuatan Allah, sebab apabila kita memberitakan penderitaan Tuhan Yesus, yang mati di kayu salib, dan kuasa-Nya berupa kebangkitan dan naik ke sorga, maka itu menjadi kekuatan bagi mereka yang belum mengenal Dia. Pemberitaan salib memberi hikmat dan kebenaran dengan kuasa yang menyertaiNya, menjadi pintu penerimaan bagi mereka yang belum merasa pasti selamat.

 

Penutup

Melalui nas minggu ini, kita diminta untuk terus bersatu dan saling membahu dalam mengabarkan Injil dan salib. Pemberitaan salib adalah kekuatan Allah. Kita tidak perlu berpisah dan menjadi terpecah, berdebat soal baptisan atau karunia-karunia rohani yang terbesar di hadapan Allah. Kita harus sepenuh hati memberikan kontribusi sesuai dengan yang diberikan Allah dalam hidup kita, yakni karunia-karunia tersebut. Rasul Paulus menekankan bukan indahnya kata-kata dalam khotbah, ajaran yang glamor, tetapi kembali ke tugas pokok dengan pertanyaan: Apakah diri kita dan gereja kita terus menginjili ke luar? Berjuanglah mendapatkan keharmonisan, jauhkan perdebatan yang tidak perlu dalam kelompok. Kristus yang utama dan nama ini yang ditekankan berulang-ulang pada surat Paulus ini.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 15 Januari 2023

Kabar dari Bukit

HIDUP INI KESEMPATAN (Yes. 49:1-7)

 Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi (Yes. 49:6b)

 Salam dalam kasih Kristus.

 

Semua orang percaya rasanya tahu lagu “Hidup ini adalah kesempatan”. Lagu ciptaan Pdt. Wilhelmus Latumahina ini di utube sudah dilihat 22 juta orang dalam satu versi saja. Sebuah pencapaian yang tinggi bagi lagu rohani berbahasa Indonesia.

 

Firman Tuhan bagi kita di hari Minggu ini adalah Yes. 49:1-7. Temanya: Hamba Tuhan sebagai terang di tengah-tengah segala bangsa. Ada yang menafsirkan nas ini khusus nubuatan tentang Mesias Tuhan Yesus. Tetapi dapat lebih umum, panggilan kepada semua, sebab Tuhan membutuhkan hamba-hamba menyatakan keagungan-Nya (ay. 3) dan menjadi terang.

 

Kita kembali ke lagu tadi dan menyimak liriknya yang sederhana: Hidup ini adalah kesempatan.... (lirik lengkapnya di bawah).

 

Melayani adalah kewajiban setiap orang percaya. Ada banyak ayat di Alkitab meneguhkannya: layanilah seorang akan yang lain (1Pet. 4:10-11); jangan fokus pada ego/diri, perhatikan orang lain (Flp. 2:4); kamu wajib saling membasuh kaki (Yoh. 13:14-15); hidupku bukan lagi milikku (Gal. 2:20), biarlah semua yang bernafas memuji Tuhan (Mzm. 150:6), dan lainnya. Menurut Alkitab juga, Tuhan memberikan 19 karunia rohani yang setiap orang pasti memilikinya, meski satu atau dua, dan itu dari satu Roh, satu Tuhan (1Kor. 12:4-5).

 

Alkitab juga tidak terlalu membedakan pelayanan itu mesti bagi orang percaya saja. Demikian juga tidak terbatas di jemaat atau gereja. Pelayanan bisa di tempat kita kerja, perkumpulan, di organisasi atau lembaga sosial kemanusiaan, bahkan di bidang bisnis usaha.

 

Bagaimana membedakan pelayanan dan pekerjaan? Paling mudah dilihat adalah motifnya. Gilbert Beers dalam buku Pola Hidup Kristen berpendapat, “motif kita melayani Allah dan orang lain jangan sekali-kali untuk memperoleh sesuatu dari pelayanan itu.” Artinya, jika motif melakukannya adalah materi atau imbalan lain, maka itu bukan lagi dari hati melayani; itu adalah pekerja yang mencari upah.

 

Dan jika dilihat dari sudut itu, maka tidak terlalu perlu tegas batasan melayani penuh waktu atau paruh waktu, sebab buah atau hasilnya yang dilihat. Meski dikatakan menjadi hamba Tuhan dan melayani adalah panggilan sejak dari kandungan (ay. 1 dan 5), kita menerjemahkan panggilan itu dapat saja dipenuhi pada setiap tahap kehidupan.

 

Pertanyaannya, mengapa orang tidak merasa bahwa hidup itu adalah kesempatan (yang singkat) untuk melayani Tuhan? Padahal, syair lagu tadi sangat jelas: “Jangan sia-siakan apa yang Tuhan b’ri.... Hidup ini harus jadi berkat.” Tentu Tuhan tidak harus memberikan kekayaan, mobil dan harta lainnya, atau hasil pelayanan berbuahkan kekaguman dan tanda-tanda mukjizat. Melayani memakai karunia rohani dapat melalui cara sederhana yakni melalui tangan, lidah dan mulut serta kemurahan hati.

 

Pertanyaan kedua, mengapa orang tidak bersedia melayani, mengambil kesempatan hidup yang singkat, padahal mengaku Yesus sebagai Tuhan? Nah, ini tentu faktor kedagingan yakni malas, tidak mau berkorban. Kedua, ada kesombongan, berpikir melayani itu memposisikan diri lebih rendah. Ketiga pusat hidupnya adalah dirinya, bukan Kristus. Dan tentu, keempat, tidak percaya adanya Tuhan dan penghakiman.

 

Syair lagu bagian terakhir meminta kita menjadi berkat bagi sesama, memenuhi panggilan menjadi terang agar semakin banyak diselamatkan dalam Tuhan Yesus (ay. 6b). Dan nas paralel minggu ini (lihat dibawah) mengatakan, Tuhan kita yang memanggil akan terus menyertai dan Ia setia (1Kor. 1:1-9).

 

Selamat melayani.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Kabar dari Bukit Minggu 8 Januari 2023

Kabar dari Bukit

AKU SELAMAT, TANDANYA? (Mat 3:13-17)

Lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan (Mat. 3:17)

Salam dalam kasih Kristus.

Kekristenan menyukai tanda. Dalam Perjanjian Lama banyak tanda yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, seperti pelangi sebagai tanda perjanjian Allah bahwa manusia tidak dihukum lagi dengan air bah. Umumnya tanda adalah sesuatu yang “menakjubkan, mengherankan, mukjizat”, yang sulit dicerna oleh pikiran manusia.

 

Hari ini Minggu peringatan pembaptisan Tuhan Yesus. Firman Tuhan sesuai leksionari adalah Mat 3:13-17, yakni pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis. Dan sesudah dibaptis, “Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (ay. 15-17).

 

Jelas itu sebuah tanda. Tetapi baptisan bukanlah tanda keselamatan. Satu orang yang tersalib di sebelah Tuhan Yesus, tidak disunat atau dibaptis, tetapi tetap diselamatkan masuk ke Firdaus (Luk. 23:43). Dan kalau kita baca lebih awal, baptisan memiliki kesejajaran dengan sunat sebagai tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya (Kej. 17:10-11; bdk. Mat 28:19). Baptisan air juga merupakan tanda pertobatan (Mat. 3:11), dalam arti kita mengikatkan diri dalam perjanjian dengan Allah (Rm. 6:3-5; Kol. 2:11-12).

 

Maka kini pertanyaan pokok, apakah kita membutuhkan tanda sudah diselamatkan? Bagaimana bentuknya? Janganlah suatu saat ada yang bertanya, misalnya, apakah kita pasti selamat masuk ke dalam kekekalan? Kita tidak bisa menjawab; atau menjawab dengan standar kosong: “saya pasti selamat karena beriman kepada Tuhan Yesus”, atau “keselamatan itu anugerah.” Jelas, iblis juga percaya, tapi pasti tidak selamat.

 

Oleh karena itu tidak ada salahnya kita berpikir tentang tanda, meski terlalu menekankan tanda termasuk dicela, sebagaimana Tuhan Yesus menegur orang Farisi, ahli Taurat dan orang Saduki (Mat. 12:38-42; 16:1-4). Kalau pun kita tidak menyebutnya sebagai tanda, bolehlah sebagai parameter yang bisa diukur dan dicermati, apakah kita sudah diselamatkan dan diterima oleh Tuhan Yesus?

 

Robert Schuller menulis dalam buku Pola Hidup Kristen tentang bukti penerimaan Yesus, yakni ada tiga hal yang perlu kita lihat. Pertama, pengakuan adanya kontrak atau perjanjian kita dengan Allah. Alkitab merupakan Perjanjian tersebut sehingga Alkitab merupakan pegangan kontrak perjanjian kita dengan-Nya.

 

Kedua, kita tahu dan merasakan Allah telah menerima kita, bila Dia berbicara dalam hati kita. Ini jelas tanda kedekatan dan hubungan yang hidup antara Bapa dan anak, Tuhan dengan kita umat-Nya. Ada terjalin persekutuan yang erat; Ada rasa damai sejahtera, tenteram saat kita berjumpa dengan Dia (Rm. 5:1). Tidak ada muncul rasa takut dan khawatir yang melanda.

 

Ketiga, memeriksa dan melihat kehidupan kita, apakah terus berubah dan semakin berperilaku terpuji? Pribadi yang diterima Allah adalah mereka yang terus berubah dan berbuah baik (Mat. 7:16-18).

 

Jika ketiga itu tidak tampak dan terbukti nyata dalam hidup kita, maka selayaknya memeriksa kembali komitmen kita. Apakah kita yakin iman yang diperlukan untuk diselamatkan dalam Yoh. 3:16 (bdk. Rm. 10:9-13). Kedua, memeriksa apakah kita benar sungguh-sungguh meminta Yesus masuk dan memimpin hidup kita?

 

Jangan juga terjebak dalam perasaan, sebab keselamatan tidak didasarkan pada perasaan; tetapi pada iman dan buahnya, yang tunduk berserah dan mengandalkan Tuhan dalam kehidupan yang kita jalani. Ya, tidak mungkin kita sempurna, tetapi kita mesti terus berusaha menjadi sempurna, sama seperti Bapa di sorga adalah sempurna (Mat. 5:48; band. 19:21). Hendaklah kita semua berkata, selamatlah jiwaku.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 15 Januari 2023 - Minggu II Epifani

 Khotbah Minggu 15 Januari 2023 – Minggu II Epifani

 

YESUS KRISTUS, TUHAN KITA, ADALAH SETIA (1Kor. 1:1-9)

Bacaan lainnya: Yes. 49:1-7; Mzm. 40:1-11; Yoh. 1:29-42

 

Pendahuluan

Surat 1 dan 2 Korintus ini merupakan penjelasan Tuhan kepada jemaat di Korintus melalui Rasul Paulus tentang masalah gereja yang muncul, yakni terjadinya perpecahan, ketidakdisiplinan, iri hati, masalah moral - mengingat Korintus adalah kota pelabuhan yang maju dan berkembang pesat. Rasul Paulus sendiri pernah tinggal di Korintus selama 18 bulan (Kis 18:1-18). Mengacu pada perkembangan kontekstual, gereja-gereja pada masa kini juga dipanggil untuk melihat dirinya: apakah selalu di jalan Tuhan? Dan, apakah selalu dalam panggilan tugas dan misi-Nya, yakni menjalankan persekutuan, kesaksian dan pelayanan sosial secara berimbang, dengan tidak hanya fokus ibadah minggu saja? Melalui bacaan kita minggu ini, kita orang percaya dan semua gereja kembali diingatkan beberapa hal sebagai berikut.

 

Pertama: Tuhan kita yang memanggil dan terus menyertai (ayat 1-3)

Nas ini juga menegaskan bahwa jemaat Korintus adalah jemaat Allah. Maksud intinya, sekumpulan orang percaya yang bersekutu adalah jemaat Allah, sekaligus jemaat Kristus (band. 2Kor. 1:1; Rm 16:16). Ini lebih penting ditekankan daripada menyebut jemaat sebuah denominasi, atau memperdebatkannya. Surat Paulus ini juga dibuka dengan kata yang indah, yakni "dipanggil menjadi kudus", yang merupakan contoh pengantar atau introduksi yang layak kita tiru dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Allah memanggil kita untuk kudus dan terpisah menjadi anggota kerajaan sorgawi. Hanya Dia yang bisa mengesahkan kita sebagai warga sorgawi sebab Dia telah menghapus dosa-dosa kita. Kita menerima kewargaan itu hanya apabila kita menerima Dia, percaya, berseru dan penuh pengharapan kepada-Nya.

 

Sebagaimana bacaan minggu lalu yang mengingatkan bahwa setiap orang sama seperti Paulus, kita dipanggil untuk menjadi bagian dari Misi Agung Yesus, sesuai dengan peran dan bentuk kontribusi yang dapat diberikan, yang semuanya atas kehendak Allah. Kita hidup di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai permasalahan nyata, baik masalah sosial ekonomi, kemiskinan dan penderitaan, hukum keadilan, sakit penyakit, penyebaran narkoba yang sedemikian menakutkan, dan masalah sosial lainnya. Dalam panggilan berpartisipasi itu, kita tidak perlu mempersoalkan besar-kecilnya peran yang diambil, juga tidak perlu sombong atau rendah diri dalam peran itu, sepanjang semua dilakukan dengan ketulusan dan sukacita, serta sudah merasa yang terbaik diberikan, dan semua bertujuan untuk menjadi kemuliaan bagi Tuhan. Keterlibatan dalam peran itu juga bukan untuk meninggikan diri atau mencari upah sorgawi yang lebih besar. Dasarnya hanyalah Ia telah mati bagi dosa-dosa kita, maka sewajarnya kita memberi yang terbaik bagi Dia.

 

Bagi warga Korintus yang demikian majemuk dalam pengertian penduduknya yang beragam suku bangsa, aneka budaya, bermacam profesi pekerjaan, perbedaan tingkat kesejahteraan sosial, dan lainnya, membuat kota Korintus memiliki daya tarik yang kuat. Oleh kekaisaran Romawi kota ini juga ditetapkan menjadi ibukota Akhaya (saat ini menjadi Negara Yunani). Korintus sebagai kota pelabuhan yang modern menjadi lalu lintas perdagangan dan transaksi bisnis, merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi dengan segala permasalahan yang muncul, seperti penggelapan dan korupsi, kekerasan dan pemerasan, kebiasaan bermabuk-mabukan, banyaknya penyembahan berhala, bahkan prostitusi masuk di kuil-kuil yang ada, termasuk di kuil besar Afrodite, sang dewi cinta. Semua ini merupakan ladang dan tantangan bagi orang percaya di Korintus untuk menjadi saksi dan teladan sesuai dengan panggilan yang diterimanya.

 

Kedua: Bersyukur atas anugerah kepada orang lain (ayat 4)

Damai sejahtera dan rasa syukur ibarat dua sisi mata uang. Damai sejahtera itu bukan karena kecukupan materi, keamanan, sering berolah raga, pengendalian makanan dan kesehatan, dan lainnya, yang lebih banyak menjadi ukuran dunia. Damai sejahtera dari Allah yang diam dan menetap di dalam hati orang percaya, itulah yang diminta dan lebih diutamakan, sebab memiliki kekhususan yakni bersumber dari Yang Mahakuasa (Yoh 14:27). Damai sejahtera yang demikian ini yang menghasilkan rasa syukur dan diekspresikan setiap hari. Bahkan, rasanya tidak cukup hanya dengan mengatakan syukur dan terima kasih sebagai balasan kebaikan yang diberikan oleh Tuhan, orangtua, para sahabat, rekan kerja. Ucapan dari mulut saja rasanya sebagai balasan kebaikan dalam perbuatan tidak akan berimbang. Oleh karena itu kita perlu memberikan yang terbaik dalam tindakan dan kesaksian (band. 2Tes. 2:13-15).

 

Melalui nas ini Paulus juga memberikan keteladanan dengan menyebut nama Sostenes (band. Kis. 18:17) yang diduga adalah jurutulisnya dan pernah bersama-sama tinggal dengannya di Korintus. Kerendahan hati dan lebih menonjolkan orang lain adalah sikap yang harus kita teladani darinya, yang juga merupakan ekspresi rasa syukur. Ia juga bersyukur bukan untuk dirinya sendiri, melainkan ia bersyukur atas anugerah dan berkat yang diterima orang lain. Ini hebat. Seringkali kita fokus bersyukur bahkan kadang mengadakan acara khusus pengucapan syukur untuk berkat-berkat yang kita terima, dan memang itu tidak salah. Pertanyaannya, sebagai ucapan syukur yang menjadi hal wajib dalam kehidupan sehari-hari, sudahkah terpikirkan kepada siapa kita ingin mengatakan syukur dan terima kasih pada hari ini? Lakukankanlah, jangan menunda.

 

Rasul Paulus bersyukur atas semakin banyaknya orang percaya, mengenal Tuhan Yesus dan memperoleh kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepada jemaat yang ada. Bersyukur atas anugerah yang diterima orang lain merupakan sikap berpikir positif yang jelas buah dari ketaatan pada Kristus. Bersyukur dan iri atau rasa tidak puas sebaliknya dua sisi yang bertentangan.  Berkat yang diterima orang lain harus kita ikut mensyukuri, bukan malah menimbulkan iri hati, cemburu atau sinis terhadap anugerah yang diperoleh orang lain. Jangan hanya melihat dan berpusat pada diri sendiri atau membanding-bandingkan berkat yang diterima dengan orang lain, tapi syukurilah semua yang sudah diperoleh. Ketika sikap bersyukur itu menjadi pola hidup dan bersatu dalam hati dan pikiran, maka buahnya akan tampak yakni perubahan dalam bersikap setiap hari. Kita akan lebih bersikap dan berpikir positif, jauh dari pikiran negatif, murah hati, penuh belas kasihan dan rendah hati. Kita n diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, dan itu semua membangkitkan syukur kepada Allah (2Kor. 9:11).

 

Ketiga: Menjadi kaya dalam segala hal (ayat 5-7)

Sikap selalu bersyukur sebagaimana dijelaskan di atas juga membawa kita ke dalam pola pikir kecukupan. Kecenderungan manusia yang selalu merasa tidak puas atas yang diterimanya, akan terpinggirkan dengan sendirinya. Sikap merasa cukup yang membuat perasaan tidak ada yang kurang, membuat sedemian rupa mudah diatur sehingga apapun keperluannya sudah didasari cukup tadi. Pola pikir demikian itu membuat seseorang tidak merasa berkekurangan, dan ini jelas menjadi sikap kaya dan berkecukupan, sebab merasa masih ada dari dalam dirinya yang bisa dipakai untuk keperluan lain, apakah itu menolong orang lain dan untuk menyenangkan hati Tuhan. Keprihatinan yang diwujudkan ke dalam bentuk pertolongan bagi orang lain, semakin menguatkan pengharapan yang mereka miliki.

 

Warga Korintus yang dihadapkan pada tantangan paganisme dan masalah moralitas yang begitu hebat saat itu, diminta harus berdiri kuat agar tidak ikut terimbas dan melakukan hal yang tidak berkanan kepada Tuhan. Firman Tuhan mengingatkan bahwa Allah memberikan dan membekali setiap orang dengan karunia-karunia, khususnya karunia rohani. Jemaat harus saling mendukung dalam menggunakan karunia-karunia itu. Tetapi jemaat di Korintus bukannya menggunakan karunia rohani yang ada, malah mereka berdebat tentang karunia-karunia itu, mana yang lebih hebat dan mana yang lebih baik di mata Tuhan. Menurut firman Allah, hal itu tidak perlu mempersoalkan benar-tidaknya jenis pelayanan sebagaimana diperdebatkan mereka, termasuk jenis pelayanan yang terbesar di mata Tuhan, yang akibatnya malah menimbulkan irihati dan pertentangan di antara jemaat sendiri (band. 1Kor. 12-14).

 

Demikian juga halnya dengan kita. Berbagai bekal, alat, dan senjata diberikan Tuhan, dalam wujud bakat, talenta, kelebihan dan keunggulan, dan berkat-berkat lainnya, semua itu adalah karunia rohani dan karunia khusus agar kita mampu menangkal semua hal yang jahat dan memberi yang terbaik. Tuhan memberi segala hal kemampuan untuk menjadi kaya dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasih (band. 2Kor. 8:7). Sebagai jemaat yang saling mendukung, persekutuan menjadi bagian dari Kristus, yang tidak akan kekurangan suatu karunia pun dalam melayani (ayat 7). Salam damai sejahtera yang disampaikan oleh Paulus akan menopang kekayaan rohani yang tersedia. Itu harus menjadi kerinduan semua orang saat itu dan bahkan menjadi kerinduan jemaat saat ini. Pertentangan hanya membuat orang kehilangan rasa damai dan semua orang pada dasarnya tidak menginginkannya. Mari kita pakai karunia-karunia yang sangat berharga itu bagi pelayanan di jemaat/gereja dalam perasaan damai sejahtera. Damai itu diperoleh bila melihat Tuhan Yesus, Raja Damai bagi semua orang, yang kesaksiannya telah diteguhkan banyak orang dalam Injil. Itulah maksud dan rencana Allah yang terus menyertai kita dalam melaksanakan panggilan itu.

 

Keempat: Ia setia sampai kesudahannya (ayat 8-9)

Semua ada kesudahannya. Ada awal dan ada akhir, alfa dan omega. Bumi dan segala isinya ini di antara galaksi alam semesta adalah sebuah "proyek" Tuhan. Sebuah proyek didefinisikan sebagai kegiatan atau proses yang ada awalnya dan ada akhirnya. Penciptaan bumi semesta alam dan isinya adalah sebuah proses, kemudian manusia memperoleh mandat budaya untuk mengeksplorasinya. Tapi bumi ini akan berakhir dan Allah membentuk bumi baru dengan langit yang baru dan kita menjadi bagian dari padanya. Kita memang tidak perlu terlalu pusing dengan planet antariksa jauh di luar sana, ada Dia yang memiliki dan mengurusi hal itu. Lebih baik kita fokus pada hal yang terbaik dilakukan dan diberikan pada bumi ini dengan segala isinya, sesuai dengan mandat dari Allah. 

 

Ini juga yang Paulus tekankan yakni pengharapan, dan pengharapan itu diletakkan pada jemaat. Pengharapan itu juga disertai adanya jaminan bahwa kita sudah disucikan hingga Kristus Yesus kembali datang kedua kalinya. Semua itu terjadi bukan karena usaha yang kita lakukan atau karena kehebatan diri kita, namun karena Kristus Yesus telah mati bagi kita dan kita percaya itu adalah penebusan bagi semua dosa-dosa kita. Kita harus terus berpikir sebagai orang yang berhutang kepada Yesus Kristus, atas berkat dan keselamatan yang sudah diberi dengan setia menjadi murid-Nya, taat dan terus setia berkarya bagi-Nya.

 

Kita memang perlu takut akan dosa dan orang Kristen juga tidak mungkin tidak berbuat dosa lagi. Akan tetapi jaminan adanya kasih karunia (1Pet. 1:2), hubungan dan kedudukan anak-bapak yang terus terjalin (Yoh. 1:12), penyertaan Roh Kudus dan kekuatan firman-Nya (Kis. 20:32), membuat kita tidak ragu akan janji-Nya (band 1Tes. 3:13). Pergumulan dan kesulitan yang kita hadapi pada masa ini, kegagalan yang kita alami pada masa lalu, itu bukanlah kisah yang sebenarnya. Tapi kita diajak agar tetap fokus pada kisah utama bahwa kita sudah diselamatkan dan menjadi warga sorgawi. Jangan semua rintangan dan hambatan membuat kita kehilangan rasa syukur dan sukacita. Ini juga seperti yang dikatakan William Barclay, “ketika hari penghakiman tiba, orang percaya tidak perlu takut menghadapinya. Kita datang menghadap Dia bukan dengan kebaikan yang kita lakukan, melainkan dibungkus oleh kebaikan-kebaikan yang Tuhan Yesus sudah lakukan, sehingga tidak ada yang bisa mendakwa, dan juga tidak ada tuduhan, kecuali hanya pembebasan. Sebab Ia yang memanggil kita, adalah Allah yang setia” (band. Ibr 10:23; 11:11).

 

Penutup

Nas minggu ini merupakan surat terbuka kepada jemaat di Korintus dan juga bagi kita jemaat masa kini, untuk menyegarkan panggilan-Nya melalui berkat dan karunia-karunia rohani yang kita miliki masing-masing. Kita diingatkan sebagai orang yang berutang kepada Yesus Kristus atas anugerah keselamatan dari-Nya, sehingga perasaan damai sejahtera, ucapan dan sikap bersyukur menjadi hal yang utama dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada gunanya mempertentangkan berkat dan karunia-karunia yang kita miliki, sepanjang semua bagi pelayanan-Nya dan semua akan menjadi kaya apabila bersatu. Ini akan membuat jemaat semakin kokoh dan berkarya dalam sinergi melaksanakan amanat Tuhan. Maka sebagai anggota persekutuan jemaat, pertanyaannya adalah: apakah sumbangan yang akan kita beri agar jemaat kita semakin berkarya bagi Tuhan? Yesus Kristus telah setia dan Ia tetap akan setia, maka kita pun marilah setia.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah Minggu 8 Januari 2023 - Tuhan Yesus Dibaptis

Minggu I Setelah Epifani - Tuhan Yesus Dibaptis

YESUS KRISTUS ADALAH TUHAN DARI SEMUA ORANG (Kis. 10:34-43)

Bacaan lainnya: Yes. 42:1-9; Mzm. 29; Mat. 3:13-17

 

Pendahuluan

Kisah yang ditulis Lukas ini menceritakan permulaan perluasan gereja ke wilayah Yudea dan Samaria, yang pemicunya oleh penganiayaan yang muncul termasuk Stefanus dibunuh. Perluasan ini terjadi bukan karena visi dan rencana gereja, tetapi karena pengaturan Allah dalam memperluas orang-orang percaya. Nas minggu ini berupa pelayanan Petrus dalam bersaksi tentang Tuhan Yesus. Ia berkhotbah kepada orang-orang percaya yang sudah tersebar, termasuk hal pertama pemberitaan Injil kepada orang bukan Yahudi. Khotbah Petrus merupakan respon atas pertanyaan Kornelius, seorang kafir yang merasa perlu menjadi orang Yahudi untuk memperoleh keselamatan, padahal keselamatan ada di dalam Yesus Kristus. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran sebagai berikut.

Pertama: Allah tidak membedakan orang (ayat 34-35)

Hal yang paling menyulitkan pada masa awal gereja untuk pekabaran Injil adalah adanya konflik antara orang Yahudi dengan orang non-Yahudi. Pengikut awal Yesus umumnya orang Yahudi yang dalam pemikiran mereka kabar baik itu hanyalah bagi orang Yahudi saja. Bagi mereka, hal yang akan mengecilkan bilamana mengajak bangsa-bangsa lain menerima kabar baik itu. Bagi mereka, bangsa lain adalah najis di hadapan Allah. Mereka tetap berpikir bangsa Yahudi memiliki hak istimewa dan hanya mereka saja umat pilihan Allah. Oleh karena itu, para murid dan rasul tidak menunjukkan tanda-tanda adanya maksud untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia sebagaimana perintah Agung sebelum Yesus naik ke sorga (Mat. 28:19-20; Kis. 1:8), sehingga mereka lebih tetap tinggal di Yerusalem sambil bersaksi kepada orang-orang Yahudi saja. Meski dikisahkan dalam Alkitab bahwa Allah menunjuk Petrus untuk mengabarkan kepada orang Romawi, namun akhirnya ia juga berpikir ulang tentang hal itu (band. Gal. 2:11-14). Petrus melakukan penginjilan, tapi perasaannya lebih kepada Yahudi saja.

 

Namun Allah menetapkan bahwa kabar baik itu bagi seluruh bangsa. Allah menciptakan semua suku bangsa sebagai manusia yang setara dan tidak membedakan status dan warna kulit, kelahiran, atau status (band. Yak 2:1). Semua manusia telah berdosa sehingga semua harus diselamatkan. Kita harus menghilangkan seluruh hambatan yang mungkin terjadi, seperti bahasa, budaya, wilayah geografis, tingkat pendidikan dan kekayaan, hambatan fisik dan lainnya untuk maksud Tuhan itu. Diskriminasi ras adalah dosa yang jahat, dosa yang menghina gambaran Allah, dosa yang menegakkan kesombongan dan meninggikan diri sendiri. Pandangan atau tradisi yang bertentangan dengan prinsip Allah haruslah dihapuskan dan diganti dengan kebenaran firman Tuhan. Kita telah melihat kejahatan perbudakan, perlakuan rasis terhadap umat Yahudi di zaman Hitler, bahkan kita sudah merasakan kejahatan apartheid di Afrika. Perjuangan Mandela adalah perjuangan Tuhan Yesus. Allah tidak membedakan kasih-Nya kepada siapa pun bagi seluruh umat ciptaan-Nya.

 

Kita tidak dapat menghakimi mereka yang mempercayai sesuatu yang berbeda. Akan tetapi jelas kita tidak percaya pada penyembahan berhala (1Pet. 4:3), baik dalam bentuk tradisional maupun bentuk yang modern, seperti berhala pada pikiran manusia, berhala pada energi, harta kekayaan dan pendidikan, dan lainnya. Allah adalah Pengatur segala ciptaan dan berkenan kepada mereka yang rindu mencari-Nya dan bertobat, berbalik dari jalan yang jahat dan takut kepada-Nya dan berusaha hidup dengan benar di hadapan Allah (band. Rm. 2:6-11; Yoh. 15:10). Setiap bangsa yang rindu dan mencari Allah yang benar pada dasarnya siap menerima kabar baik tentang Yesus. Untuk itu perlu seseorang melakukan hal itu, sebab mencari Tuhan tidaklah cukup, tapi harus menemukannya. Bagaimana mungkin seseorang menemukan Tuhan kalau tidak ada yang menunjukkan jalannya? Allah meminta kita semua untuk menunjukkan jalan itu kepada mereka (Rm 10:14-15). Untuk itulah kita dipanggil-Nya menjadi umat dan utusan-Nya.

 

Kedua: Damai sejahtera dan berkeliling berbuat baik (ayat 36-38)

Pokok yang disampaikan Petrus dalam nas ini merupakan khotbah yang penuh kuasa dan mengandung pernyataan yang jelas tentang Injil. Kehidupan sempurna Yesus dan pelayanan-Nya, kematian-Nya di kayu salib, kebangkitan-Nya, yang seluruhnya itu disaksikan secara pribadi oleh Petrus. Petrus mengkhotbahkan perbuatan kasih-Nya, tindakan damai sejahtera-Nya. Ia melihat Yesus menyembuhkan penyakit, mengusir setan, dan membangkitkan orang dari kematian. Yesus baginya adalah penggenapan Taurat. Ia menyadari kuasa yang mengutus Yesus adalah kuasa dari Allah yang demikian besar. Kuasa itu tidak akan mengalahkan segala halangan, ancaman, penderitaan dan bahkan kematian sekalipun. Yesus melakukan penyembuhan bagi penyakit sebab tujuannya adalah menghilangkan rasa sakit dan penderitaan dari dunia ini. Yesus bertindak nyata dengan mengamalkan kebenaran yang dikatakan-Nya.

 

Adalah salah kalau kita berpikir Allah kita adalah Allah yang pemarah atau pendendam. Itu cara pandang umat Yahudi yang ketika datang kepada Allah harus dengan perantara dan penuh perasaan takut, dan mencoba "menebus" kesalahannya dengan berbagai hewan atau korban persembahan lainnya. Ia adalah Allah yang Mahakasih. Allah berkenan kepada semua orang ciptaan-Nya yang mengamalkan kebenaran. Kasih Allah telah dinyatakan melalui Yesus yang sudah menjadi manusia. Yesus telah menyampaikan seluruh pesan dari Allah dan pesan itu dalam firman yang memberitakan damai sejahtera di dalam Tuhan Yesus, Tuhan dari semua orang. Meski firman itu disampaikan kepada orang-orang Israel terlebih dahulu, tetapi firman itu adalah untuk semua, sebab Yesus datang untuk semua orang.

 

Manusia memang selalu lebih mudah merasakan pada akibat yang terjadi, dan agak sulit mencerna sebab-sebabnya. Manusia dengan cepat merasakan sakit ketika terjatuh kecelakaan, tanpa mau berpikir susah tentang mengapa ia terjatuh dan apa yang harus dilakukannya setelah terjatuh sehingga tidak masuk lobang kedua kalinya. Mengetahui sebab-sebabnya sangat membantu kita memahami hal yang terjadi dan makna dari semua kejadian yang kita alami. Demikian juga dengan Allah menjadi manusia. Kita mendengar kisah Yesus dan hal yang dilakukan-Nya. Yesus harus disalibkan padahal tidak bersalah dan tidak layak untuk itu. Tapi itulah kekejaman manusia. Hanya dengan memahami mengapa Allah menjadi manusia dan harus mati tersalib, maka kita dapat memahami bagaimana kita dapat ditebus oleh-Nya. Dengan mengakui kasih-Nya, damai sejahtera-Nya, maka kita juga perlu untuk berbagi kasih dan damai sejahtera itu kepada semua orang, yakni dengan berbuat kebaikan.

 

Ketiga: Menjadi saksi dan kesaksian (ayat 39-41)

Agama Kristen adalah agama yang berdasarkan sejarah yang jelas. Injil dan Kitab Suci bukan dongeng atau mistik, dan bukan pula dimaksudkan sebagai Yesus Sejarah dalam arti demithologisasi (menghilangkan hal-hal yang tidak rasional seperti mukjizat). Injil berisikan fakta-fakta tentang perjalanan hidup Yesus, kematian dan kebangkitannya. Para murid yang merupakan orang-orang pilihan Allah mengalami berbagai peristiwa nyata selama empat puluh hari bersama Yesus setelah kebangkitan-Nya, makan dan minum bersama, dan melihat dengan mata Ia naik ke sorga. Injil memberitakan karya Kristus, yang bukan pemikiran manusia, bukan gagasan-gagasan filosofis, meskipun hal yang diucapkan Yesus sebagian pemikiran filosofis.

 

Allah menetapkan para murid dan rasul melihat peristiwa kebangkitan-Nya dan Allah juga melalui Roh Kudus menetapkan mereka dapat bersaksi dengan menulis Injil dan surat-surat, agar kita menjadi percaya. Kesaksian dan khotbah Petrus dalam nas minggu ini menguatkan para pendengarnya dan inilah yang dituliskan oleh Lukas melalui Kisah Para Rasul ini. Kita pun yang membacanya, merenungkannya, merasakannya, dan mengalami pertemuan pribadi dengan Yesus melalui pertolongan Roh Kudus, mendapatkan inspirasi dari kisah itu, menghayati, dan kemudian percaya, menjadikan kita saksi yang bisa dipercaya. Semua itu menguatkan iman orang-orang yang mendengar dari kita. Kita yang dipanggil untuk menjadi saksi bagi-Nya adalah yang sudah menerima kasih karunia itu dan merasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Yesus bukan hanya seorang tokoh fiksi bagi kita, tokoh sebuah dongeng atau cerita. Bagi kita yang dipanggil, Yesus adalah Tokoh yang selalu hidup, guru, teladan, dan Pribadi yang terus menyertai. Para pendeta, pengkhotbah dan guru-guru sekolah minggu adalah mereka yang sudah merasakan itu dan mengalami perjumpaan hati dengan-Nya. Mereka yang bersaksi adalah yang dapat membayangkan penderitaan Yesus, dan mengakui bahwa Yesus mati untuk dia, dan telah memberi jalan hidup yang baru. Oleh karena itu, kita perlu untuk bersaksi sebagaimana murid-murid sudah bersaksi dan menuliskan kisah-Nya.

 

Iman timbul dari pendengaran (Rm. 10:14, 17) maupun dari penglihatan (Yoh. 20:27-29; band. 1Pet. 1:8). Iman yang sama dimiliki oleh para murid dan para rasul diharapkan dari kita, sehingga kita dapat bersaksi sama seperti mereka, dan semua itu hanya melalui pembacaan dan perenungan Injil dan perjumpaan hati kita dengan Yesus. Kita menjadi saksi melalui para rasul tentang Tuhan Yesus yang alami di bukit Golgota. Kita menjadi saksi tentang kebangkitan-Nya. Memang kita tidak menyaksikan Ia bangkit dan makan minum bersama para murid, akan tetapi melalui kesaksian mereka itu dan kuasa Roh Kudus, kita dapat menyatakan yang sama dengan kesaksian mereka. Mereka telah dipilih Allah untuk bersaksi dan kita juga dipilih Allah untuk bersaksi bagi-Nya. Allah telah mengutus Yesus untuk menebus dosa semua orang yang hidup dan mati dan semua rasul menyatakannya demikian. Maka kita pun hendaklah mengatakan yang sama, bahwa mereka yang percaya pada-Nya akan menerima pengampunan.

 

Keempat: Hakim atas segala bangsa dan mendapat pengampunan (ayat 42-43)

Semua orang akan dihakimi dengan adil oleh Allah yang Mahakasih, tidak ada pengecualian. Pengadilan itu dilakukan dengan Yesus sebagai Hakim, sebab Ia telah menerima kuasa dari Allah Bapa (Yoh. 5:22). Agama lain juga mengakui peran sentral Yesus dalam penghakiman akhir zaman. Semua kecongkakan dan kesombongan akan dimusnahkan. Pada penghakiman, sebagian orang akan dihukum dan sebagian orang akan diberi upah, mereka yang ada dalam Kristus dan taat serta berkarya bagi-Nya. Penghakiman itu nyata dan pasti mendebarkan, sebab itu gambaran pengadilan dalam Why. 6:14-17 cukup mengerikan. Melalui kebangkitan-Nya, Yesus Kristus ditinggikan dan sebagaimana disebutkan dalam ayat 36, Yesus adalah Tuhan dari semua orang. Ia berkuasa atas orang percaya dan orang yang tidak percaya atau tidak pernah mendengar akan Dia.

 

Injil berisi pemberitaan tentang penghakiman pada masa mendatang atas orang yang hidup dan yang mati. Pada akhir zaman pasti ada orang yang masih hidup dan banyak yang sudah mati. Alkitab berkata yang mati akan dibangkitkan untuk sama-sama menerima penghakiman (1Tes. 4:13-14). Akan tetapi oleh Yesus yang telah bangkit, pengampunan dosa diberikan kepada semua orang yang percaya kepada-Nya. Ia adalah Mesias atau Yang Diurapi yang sebenarnya dinantikan bangsa Israel, dan yang menjadi pembuka tabir bagi semua keselamatan bagi bangsa-bangsa. Dari Alkitab kita tahu bahwa Ia dapat mengalahkan iblis oleh karena itu Ia adalah Tuhan, Kurios atau Yehova. Manusia tidak dapat mengalahkan iblis dan tidak dapat pula menghapus dosa-dosanya, baik melalui usaha kebaikan atau persembahan. Nyawa Yesus itu mulia sehingga kita tidak hanya menghargai kematian-Nya dan kuasa kebangkitan-Nya dengan perbuatan baik, melainkan juga ketaatan dan menyerahkan seluruh hidup kita bagi-Nya.

 

Penyerahan seluruh hidup inilah yang membangun hubungan spesial antara orang percaya dengan Yesus dan melahirkan sebuah persahabatan.  Hubungan spesial ini jelas menjadi dasar pemulihan atas segala kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh seorang sahabat. Dalam kehidupan manusia, seorang sahabat pasti membela sahabatnya, apalagi Yesus adalah Sahabat Sejati. Ia juga Penasihat Ajaib sehingga mampu untuk membebaskan kita dari segala tuduhan. Ia tidak akan mempermalukan kita. Ini yang menjadi dasar dari pengampunan dan pembebasan kita dari segala penghukuman.

 

Penutup

Khotbah Petrus yang menjadi nas kita minggu ini merupakan undangan bagi semua orang untuk percaya kepada Yesus agar memperoleh pengampunan dosa. Allah tidak membeda-bedakan dan mengasihi semua orang bagi yang takut kepada-Nya dan melakukan hal yang benar. Mereka yang percaya kepada-Nya akan dipanggil untuk membawa damai sejahtera dari-Nya dan berkeliling membagikan kebaikan sebagaimana dilakukan Yesus. Dalam melakukan kebaikan itu kita juga bersaksi bahwa Ia adalah Juruselamat bagi semua orang. Kesaksian para rasul sama kuatnya dengan kesaksian kita, dan semua itu dimampukan karena pertolongan Roh Kudus yang menyertai kesaksian kita. Maka persoalannya kembali kepada kita, bagaimana kita meresponnya? Semoga kita siap dan ketika akhirnya tiba waktunya, semua orang akan dihakimi-Nya dan kita adalah umat yang dibebaskan-Nya.

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 765 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8566126
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
4174
73300
77474
8223859
717411
883577
8566126

IP Anda: 162.158.189.32
2024-12-16 04:05

Login Form