2020
2020
Kabar dari Bukit Minggu 13 September 2020
Kabar dari Bukit
MENGAMPUNI 70X7
Khotbah Mat. 18:21-35
"Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu" (Mat. 18:35).
Firman Tuhan hari Minggu ini dari Mat. 18:21-35 berbicara tentang pengampunan. Kisahnya tentang pertanyaan Rasul Petrus, “berapa kali harus mengampuni saudara” (yang berbuat dosa)? Yesus menjawab dengan perumpamaan tentang raja yang membuat perhitungan kepada hamba-hambanya. Ternyata ada hamba yang berhutang 10.000 talenta. Atas permohonannya, raja berbelas kasihan dan mengampuninya, tidak tega sampai hamba itu harus menjual anak istrinya untuk pelunasan.
Tetapi ketika hamba itu mendapati ada orang lain yang berhutang 100 dinar kepadanya dan belum bisa membayar, ia justru mencekik orang itu dan memasukkannya ke penjara. Maka marahlah raja tadi, memanggil hamba tersebut untuk diserahkan kepada algojo-algojo dipukuli sampai ia melunasinya.
Ada tiga pesan dalam nas ini bagi kita. Pertama, para Rabi Yahudi sesuai kitab Perjanjian Lama mengajarkan pengampunan hanya diberikan tiga kali. “Karena tiga perbuatan jahat Damsyik, bahkan empat... (Amos 1:3, 6, 9 dst; Ayb. 33:29-30). Artinya jika orang lain berdosa, sampai tiga kali boleh diampuni, tetapi keempatnya jangan dibiarkan saja. Tetapi Yesus Kristus berkata kepada kita, orang Kristen mengampuni hingga tujuh puluh kali tujuh kali. Itu sama dengan tidak terbatas! Panjang sabar, tidak ada ujungnya. Dan, itulah (istimewanya) Kekristenan!!!
Hal kedua, to forgive itu bisalah, tetapi bagaimana dengan to forget? Ya, memang, susah melupakan. Tim Lahaye dalam bukunya Anger is a Choice jelas-jelas mengatakan, “adalah kebohongan bila seseorang mudah melupakan rasa sakit yang dialaminya atas perbuatan orang lain.” Tetapi ia kemudian menjelaskan berdasarkan Yer. 31:34, mengampuni dan melupakan bukan berarti hilang dari ingatan Tuhan. Pesan pentingnya, agar kita tidak melakukan pembalasan atas perbuatan jahat orang lain. Jika kita melakukannya, maka kita sebenarnya jauh lebih jahat! “Pembalasan itu adalah hak-Ku, kata firman Tuhan (Rm. 12:19).
Tim Lahaye kemudian mengatakan itulah pengorbanan Kristiani, harga yang harus ditebus oleh orang percaya. Kita harus mampu mengendalikan pikiran (sisi otak), kemauan (sisi tindakan) dan emosi (sisi perasaaan). Jelas, sebuah perjuangan dan ada tujuannya. Perumpamaan yang diberikan Tuhan Yesus sangat kontras, yakni pengampunan hutang 1.000 talenta kepada raja berbanding 100 dinar, atau 1:500.000 menurut William Barclay. Ini sama dengan pengampunan yang diberikan kepada kita atas bebas dari hukuman di neraka dan memperoleh keselamatan kekal, dibanding dengan rasa puas membalaskan kejahatan orang lain kepada kita. Tidak seimbang.
Hal ketiga, kita perlu memahami perbedaan antara hukum gereja dan hukum negara. Masalah pencurian berat, penganiayaan, perceraian, dan lainnya memiliki sisi dan wilayah masing-masing. Ini perlu berhikmat membedakannya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hak kaisar dan hak Tuhan jelas berbeda (Kis. 25:8; band. Mat. 22:21). Pembelajaran untuk keadilan dan ketertiban kadang diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Sama seperti adanya disiplin gereja, yang penting tujuannya adalah pertobatan dan menjaga "kekudusan jemaat", dengan tetap semangat megampuni; bukan untuk menjatuhkan, atau senang melihat orang lain susah.
Tentu, kisah ini juga mengajarkan sisi lain, agar kita jangan ceroboh berulang kali memberi peluang orang lain berbuat kesalahan dan berdosa. “Berbahagialah orang yang murah hatinya”, kata Yesus (Mat. 5:7). Itu betul. Tetapi pepatah juga mengatakan, “hanya keledai yang jatuh dua kali dalam lubang yang sama.” Jadi jangan lalai. Tetapi jika itu terjadi, tetaplah mengampuni. Seperti kata William Arthur Ward, kita akan sama seperti binatang ketika menyakiti atau membunuh, kita sama seperti manusia lainnya ketika menghakimi, tetapi kita akan sama seperti Tuhan ketika mengampuni. Semoga Roh Kudus terus menguasai hati dan pikiran kita untuk mudah mengampuni dalam kasih. Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.
Khotbah Minggu 13 September 2020
Minggu XV Setelah Pentakosta
JANGAN MENGHAKIMI SEBAB KAMU AKAN DIHAKIMI
(Khotbah Rm. 14:1-12)
Bacaan lainnya: Kel. 14:19-31 atau Kel. 15:1b-11, 20-21 atau Kej. 50:15-21; Mzm. 114 atau Mzm. 103:1-7, 8-13; Mat. 18:21-35
Pendahuluan
Pada masa surat ini ditulis pengkut-pengikut Kristus di Roma, masih banyak yang baru percaya dan mereka belum dapat membedakan kehidupan orang percaya dengan kehidupan dalam agama Yahudi. Bagi mereka, hal yang dipercayai dan dijalani menurut Taurat seolah-olah masih berlaku dan ini jelas menjadi sumber perdebatan. Tetapi itu tidak mencerminkan mereka kurang percaya dan dapat dituduh beriman lemah. Mereka yang sudah hidup di dalam kebebasan Kristus atau yang beriman kuat langsung kadang menghakimi dan merendahkan yang lainnya. Ini sangat mengganggu kesatuan jemaat dan suasana damai sejahtera yang menjadi inti kehidupan orang Kristen. Setiap orang tidak dipanggil untuk menjadi hakim bagi orang lain, apalagi yang diperdebatkan seringkali tidak hal mendasar dan bukan pokok keimanan kita. Untuk semua itu ada Hakim yang lebih benar dan adil bagi semua orang. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajarannya sebagai berikut:
Pertama: Terimalah kelemahan dan perbedaan orang lain (ayat 1-3)
Ayat ini memberikan gambaran terjadinya perbedaan pendapat dalam jemaat di Roma tentang hal-hal yang dianggap belum terlalu jelas. Mereka senang berdebat dan berbeda dalam pandangan tentang sikap yang benar di tengah-tengah masyarakat dan pemerintahan saat itu, yang dianggap menyimpang dari kehidupan orang Kristen. Mereka berdebat soal makanan yakni sayuran, daging dan darah, tentang memakan daging bekas persembahan pagan, atau soal merayakan hari-hari kebesaran pagan yang dijadikan hari kebesaran umat Kristiani. Mereka melihat cara memotong hewan yang dianggap masih menyisakan darah, dianggap tidak halal. Perbedaan soal makanan berangkat dari permasalahan keinginan bebas serta batasan-batasannya, pemahaman dan makna kebebasan dalam Kekristenan yang terbatas. Akhirnya mereka yang tidak mau makan daging atau sisa penyembahan berhala, dianggap imannya lemah.
Akan tetapi bagaimana bisa terjadi orang Kristen sampai ikut memakan bekas makanan berhala saat itu? Seperti diketahui, sistem ritual zaman dahulu termasuk ibadah Yahudi, peranan korban persembahan sangat penting dan menjadi pusat ibadah, sosial dan kehidupan keseharian orang-orang di Roma. Prosesinya, setelah korban dipersembahkan kepada allah di kuil pagan, hanya sebagian daging korban yang dibakar. Sebagian lagi dagingnya umumnya sering dijual di pasar, dan harganya jauh lebih murah. Maka ada orang Kristen yang tidak peduli atau tidak tahu asal usulnya, membeli daging tersebut dan memakannya di rumah atau dengan teman-temannya. Sebagian lagi berpendapat orang percaya perlu bertanya asal usul daging tersebut sebelum membelinya; ini perlu untuk menghindari rasa bersalah (1Kor. 10:14-33). Persoalan moril rasa bersalah ini menjadi berat bagi mereka yang pernah menyembah allah pagan dan ikut dalam ritual seperti itu. Bagi mereka, hal yang mengingatkan mereka akan allah pagan sebelumnya, akan membuat iman mereka yang baru menjadi lemah. Tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa daging yang sudah dipersembahkan tidak masalah untuk dimakan, sebab mereka mempersembahkan kepada allah pagan yang tidak punya arti alias palsu. Rasul Paulus juga menjelaskan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus (1Kor. 8).
Firman Tuhan dalam nas ini mengingatkan secara tidak langsung agar mereka jangan terjebak kaku pada pendapat masing-masing. Perbedaan pendapat juga tidak perlu ditakuti dan dihindari, tetapi diterima dan ditanggapi dengan kasih. Mereka jangan berharap juga setiap orang di dalam suatu jemaat selalu memiliki pendapat yang sama tentang segala hal. Justru melalui kekayaan perbedaan pendapat yang berkembang, mereka akan lebih memahami tentang hal yang diajarkan oleh Kitab Suci. Terima, dengarkan, dan hormati pendapat orang lain, itu yang penting. Kedewasaan iman membutuhkan proses yang panjang dan pembinaan. Perbedaan adalah wajar tetapi tidak perlu menjadi perdebatan panjang yang tidak akan membangun kesatuan jemaat, apalagi sampai membuat perpecahan dan pengelompokan. Perbedaan justru sebagai sumber pembelajaran dan kekayaan dalam hubungan di antara jemaat. Misalnya, apabila seseorang menganggap orang lain berdosa atas perilakunya; akan tetapi orang yang "dihakimi" mengatakan bahwa yang menghakimi adalah mereka berpikiran sempit dan tidak punya pengharapan. Dalam situasi tersebut, siapa yang benar? Tentu kita sadari, beberapa pokok permasalahan dapat berubah dan dilihat berbeda sesuai latar belakang budaya, pendidikan, dan kepercayaan masing-masing. Rasul Paulus menyampaikan tetap ada suatu kebenaran yang dapat diterapkan bagi siapa saja. Ia tidak berusaha hidup di dalam kehidupan intelektual yang terasing di dalam menara gading. Ia menerapkan teologi ke dalam kehidupan sehari-hari yang nyata, melakukan sesuai dengan yang dikhotbahkannya. Satu kata dengan perbuatan.
Kedua: Semua yang dilakukan adalah untuk Tuhan (ayat 4-6)
Apa yang menjadi perdebatan umat Kristen saat ini sehingga orang percaya saling menghakimi? Apakah soal makanan? Soal cara beribadah dan bernyanyi? Soal perayaan natal yang megah atau paskah? Makan daging yang dicampur dengan darah? Soal tradisi budaya leluhur atau kain/barang tradisional yang dianggap sinkritisme? Minum anggur atau minuman beralkohol? Pertanyaannya: bagaimana sikap kita dengan mereka yang berbeda pendapat dengan kita? Menurut Rasul Paulus, mereka yang lemah adalah orang yang baru di dalam iman dan sebagai orang percaya baru membutuhkan banyak aturan dan ketentuan. Rasul Paulus menasihatkan kepada mereka yang lemah dan juga yang kuat tentang perbedaan budaya dan kebiasaan, melihat soal makan atau tidak memakan makanan tertentu itu lebih kepada pilihan, bukan persoalan moral. Namun, pandangan dan sikap soal makanan bisa menjadi masalah moral ketika mereka menghakimi orang lain dengan tidak bijak dan benar. Demikian juga soal peringatan hari-hari penting, agar mereka tetap mendasarkan kepada penyembahan kepada Yesus Kristus, Tuhan kita semua.
Apa yang disebut dengan iman yang lemah? Rasul Paulus berbicara tentang iman yang belum dewasa bagaikan tubuh yang otot-ototnya belum dikembangkan dan siap menerima tekanan-tekanan dari luar. Misalnya, jika seseorang yang tadinya penyembah pagan dan menjadi Kristen, dia sangat mengerti dengan jelas bahwa Kristus telah menebus dan menyelamatkannya melalui iman dan allah pagan tidak memiliki kuasa itu. Begitu juga dengan latar belakang kehidupan pagan, dia mungkin akan merasa tergoncang berat jika dia tahu memakan makanan bekas atau sisa penyembahan berhala adalah sesuatu yang salah (band. 1Kor. 8:9-12; 9:22). Jika seseorang Yahudi yang terbiasa mengikuti aturan-aturan hari besar dan suci bagi agama Yahudi, seperti Sabat beristirahat harus di hari Sabtu (Kej. 2:2-3; Kel. 20:11; Yes. 58:13-14; band. Kis. 20:7; 1Kor. 16:2; Gal. 4:10), hari berpuasa, dan kemudian menjadi seorang Kristen, dia sangat tahu bahwa ia diselamatkan karena iman dan bukan karena ketaatannya pada aturan-aturan ritual hari raya tersebut. Demikian juga ketika hari raya lainnya tiba, dia dapat merasa hampa tidak berarti jika dia tidak melakukan sesuatu pada hari raya itu kepada Tuhan.
Hal yang perlu kita lihat, Rasul Paulus merespon kepada mereka yang imannya yang lemah dan kuat dengan penuh kasih. Kedua kelompok itu sebenarnya bertindak sesuai dengan kesadaran dan hati nuraninya, akan tetapi keberatan atau keragu-raguan mereka yang jujur tidak perlu dijadikan sebagai aturan baru di dalam jemaat. Kalau mereka yang ingin makan sesuatu yang menurut orang lain najis, maka tetap saja makan dengan cara yang tidak perlu "bangga" atau pamer apalagi harus berdebat dan berselisih. Lakukanlah semuanya dalam ucapan syukur (1Kor. 10:30, 31; 1Tim. 4:3, 4). Bagi mereka yang mengutamakan aturan, Rasul Paulus berkata: orang percaya yang imannya kuat sebaiknya menekankan untuk tidak membuat banyak aturan dan ketentuan (Kol. 2:16-23). Mungkin beberapa hal pokok penting bagi iman mereka perlu didiskusikan, akan tetapi akhirnya kebanyakan lebih kepada perbedaan pendapat pribadi dan hal itu tidak perlu dikukuhkan menjadi aturan baku jemaat. Prinsip orang percaya dalam bersekutu dan berjemaat haruslah: dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dalam segala hal, kasih. Yang penting, mereka melakukan semuanya dengan keyakinan yang penuh, dan berpegang pada prinsip mereka berdiri karena Allah berkuasa atas diri mereka.
Ketiga: Hidup bukan untuk diri sendiri (ayat 7-9)
Siapa yang lemah dan siapa yang kuat? Kita umumnya lemah di satu bidang dan kuat di bidang lainnya. Iman kita dapat disebut kuat ketika kita hidup bersama-sama di sebuah kumpulan orang-orang berdosa dan kita tidak terpengaruh ikut ke dalamnya. Kita adalah orang yang lemah ketika kita menghindar dari sebuah kegiatan, tempat, atau pergaulan dengan orang lain demi untuk menjaga kehidupan rohani kita. Memang sangat penting mengenali setiap kelemahan dan kekuatan kita dalam karunia rohani. Bagi iman yang lemah, kita perlu hati-hati dan waspada dan jangan mencobai Allah. Apabila kita ragu, kita boleh bertanya: apakah saya cukup kuat melakukan hal itu tanpa nanti berdosa? Apakah saya mampu untuk mempengaruhi orang lain untuk lebih baik, atau malah saya yang akan terpengaruh oleh mereka? Tapi apabila iman kita lemah dan kita "ingin menonjolkan diri", maka sebenarnya kita adalah orang yang benar-benar bodoh. Sebaliknya, bagi imannya yang kuat, kita tidak perlu takut akan rusak oleh dunia; dan kita lebih baik ikut bergabung melayani Tuhan. Justru apabila kita sebenarnya kuat namun kita menyembunyikan dan mengabaikannya, maka kita sebenarnya tidak melakukan yang diperintahkan Kristus dilakukan di dunia ini.
Kita hidup di dunia ini bukan sebagai kebetulan, apalagi mengganggap sebuah "kecelakaan". Allah melalui Yesus memiliki rencana bagi setiap individu di tengah-tengah seluruh ciptaan-Nya. Memang seringkali manusia mengabaikan hal itu sehingga melihat hidup itu hanya kebetulan, sambil lewat, "dijalani saja", tanpa berusaha untuk mencari dan memahami rencana terbaik Tuhan dalam dirinya. Setiap orang dalam dirinya ada potensi berkat yang bukan hanya untuk dia sendiri, tetapi juga untuk orang lain meski kadang dengan keterbatasan (band. Yoh. 9:3 dab tentang anak yang lahir buta). Apalagi bagi mereka yang sehat fisik dan jasmani terutama yang diberi karunia rohani khusus termasuk kecerdasan, maka hidupnya pasti penuh dengan potensi berkat yang siap dibagikan kepada orang lain, sesuai dengan rencana Tuhan. Kita sangat mudah memahami bahwa kita hidup bukan untuk diri sendiri saja. Segala "kelebihan" yang kita miliki pasti dipersiapkan dan diperuntukkan untuk menutup "kekurangan" orang lain (2Kor. 8:13-15). Sama halnya, kekurangan diri kita pasti bisa ditutup oleh kelebihan orang lain, sepanjang kita mengakui dan bersedia untuk kerjasama bersinergi.
Dengan demikian, kita dapat sebutkan bahwa penebusan dan penyelamatan ke dalam kerajaan-Nya adalah dalam rencana untuk kemuliaan Tuhan semata. Dengan ditebus dan diselamatkan maka sebenarnya kita sudah menjadi milik Tuhan sebagai Penebus. Kita ditebus dan dibebaskan dari budak dosa dan tuan kita yang lama yakni iblis dan kita masuk dalam kerajaan baru yang damai sejahtera dan penuh kemuliaan. Dengan ditebus maka kita juga diangkat menjadi anak-anak-Nya yang akan ikut mewarisi bagian dari Kerajaan Allah (Yoh. 1:12). Memang dalam hal ini, kita diuji, apakah kasih penyelamatan itu kita sia-siakan dan hidup kita kembali kepada kehidupan yang lama, atau siap dipakai memenuhi panggilan dan rencana Tuhan masuk ke dalam pelayanan? Ini bisa terbagi tiga denga gradasinya, sebagian orang mungkin akan kembali terjerat godaan Iblis, sebagian lagi tetap berusaha setia tetapi tidak terpanggil untuk masuk dalam pelayanan, dan sebagian tetap setia dan masuk dalam pelayanan. Semua itu kelak kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan setelah kita mati, sebab diri kita telah menjadi milik-Nya, maka hidup dan mati kita adalah menjadi milik-Nya.
Keempat: Janganlah menghakimi dan menghina saudaramu (ayat 10-12)
Firman Tuhan bertanya ke dalam lubuk hati kita terdalam: mengapa kita (perlu) menghakimi? Mengapa kita sampai menghina mereka yang imannya kita anggap lemah? Apa tujuan semua itu? Memang firman Tuhan memberi peluang "penghakiman" dalam gereja, akan tetapi mesti sesuai dengan prinsip Alkitab (Mat. 18:15-20). Tuhan Yesus mengatakan apabila seorang jemaat kita anggap melakukan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan, maka ada tahapan-tahapan "penghakiman" yang dilakukan, yakni tahapan:
- Berbicara empat mata;
- Berbicara dengan membawa orang lain sebagai saksi;
- Membawa kepada sidang jemaat;
- Mengeluarkan dari keanggotaan dan dianggap tidak mengenal Allah di dalam Tuhan Yesus (sebaiknya melalui proses panjang didahului dengan mendoakan dan mengingatkan dampak bila tetap berbeda pendapat).
Dengan demikian motivasi dan tujuan kita melakukan penilaian dan memberi nasihat (istilah yang lunak dari penghakiman) adalah bertujuan baik untuk kebaikan orang tersebut, bukan untuk memperlihatkan kehebatan dan kelebihan kerohanian kita. Dalam hal ini tidak ada peluang sedikitpun dari Alkitab untuk kita boleh menghina dan merendahkan (Luk. 18:9).
Kita tidak perlu takut dan menghindar dari proses yang dinyatakan dalam Alkitab, apabila ada "tindakan" seseorang yang menjadi pergunjingan dan perdebatan. Kita juga tidak perlu tenggang rasa sebab itu adalah kasih yang berpura-pura dan malah menjerumuskan. Meski kita masuk dalam penilaian dan "penghakiman" gerejawi, kita bisa lolos dan beradu argumen dan keahlian, namun kita tetap akan menghadapi pengadilan Allah. Tak seorang pun akan bisa menghindar dari proses itu dan semua orang bertekuk lutut. Allah mencatat, mengingat, menimbang, memperhatikan, menetapkan dan memutuskan segalanya dengan adil dan benar. Tidak perlu ada saksi-saksi sebab Allah adalah Maha Kuasa. Allah tidak membutuhkan pandangan dan penilaian manusia yang subjektif serta sering terkotori oleh dosa. Setiap orang bertanggungjawab pada Kristus secara langsung, bukan kepada orang lain atau kepada gereja. Ketika kita berdiri di hadapan Yesus dalam pengadilan akhir zaman, kita juga tidak diperlukan mengurusi atau memberitahukan hal yang dilakukan oleh orang lain, semuanya hanya tentang diri kita sendiri (2Kor. 5:10).
Akan tetapi gereja tetap perlu bersikap tidak kompromistis terhadap kelakuan yang jelas-jelas dituliskan dalam Alkitab, seperti perzinahan, homoseksual, pembunuhan, pencurian dan lainnya; terhadap hal-hal yang tidak prinsip gereja tidak perlu membuat aturan atau ketentuan baru di dalam jemaat. Hal yang perlu dihindari dan diajarkan terus menerus yakni agar orang Kristen jangan melakukan penghakiman moral berdasarkan pendapat pribadi, suka atau tidak suka, standar budaya yang bias dan bukan berdasarkan firman Tuhan (Mat. 7:1). Mereka tidak perlu mencari kemenangan atas pendapat dan keunggulan rohani untuk dipuji dan bercongkak, sebab mengutamakan menang dan kalah dalam kehidupan jemaat tidak sesuai dengan sifat kasih. Ketika mereka melakukan hal tersebut, mereka justru memperlihatkan iman yang lemah sebab tidak menyadari bahwa Allah berkuasa dan siap sedia membimbing semua anak-anak-Nya. Kita saling menerima apa adanya. Setiap orang perlu menjaga hubungan yang baik dan penuh kasih dengan tetap berprinsip hanya ada satu Hakim yang adil dan benar dan memberikan ganjaran yakni Tuhan Yesus Kristus. Dia-lah satu-satunya yang memiliki hak dan kewenangan menghakimi manusia.
Penutup
Dari bacaan dan uraian di atas kita mengetahui bahwa Allah memberikan dan membiarkan perbedaan dalam kehidupan orang percaya sebagai sumber kekayaan hikmat dari Allah. Kita yang merasa kuat dan berdiri teguh, harus dapat menerima perbedaan terhadap yang kita anggap lemah. Semua hal yang kita terima dan berikan dalam kehidupan ini, bagaimanapun juga, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan semata untuk kemuliaan-Nya. Kita ditebus dan diselamatkan dari kematian kekal oleh Tuhan Yesus, berarti kita telah menjadi milik-Nya. Kita hidup bagi Tuhan dan kita mati pun bagi Tuhan. Hidup dan mati kita dipersembahkan kepada Tuhan. Kita tidak dapat hidup untuk diri sendiri, sebab pemberian berkat dan karunia rohani dari Allah itu harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Oleh karenanya, jangan menghakimi apalagi menghina sesama saudara sebab kita juga akan dihakimi. Perintah nas ini adalah agar kita menerima perbedaan dengan prinsip dasar Kekristenan, yaitu dalam hal penting, kesatuan; dalam hal tidak penting, kebebasan; dan dalam segala hal, kasih. Tuhan Yesus memberkati.
Kotbah Minggu 6 September 2020
Minggu XIV Setelah Pentakosta
kasih adalah kegenapan hukum Taurat (Khotbah Rm. 13:8-14)
Bacaan lainnya: Kel. 12:1-14 atau Yeh. 33:7-11; Mzm. 149 atau Mzm. 119:33-40; Mat. 18:15-20
Pendahuluan
Nas minggu ini merupakan kelanjutan Roma pasal 13:1-7 tentang perintah tunduk pada pemerintah yang resmi berkuasa dari Allah. Salah satu sikap tunduk itu adalah kepatuhan dalam membayar pajak dan cukai sehingga tidak menjadi hutang berkepanjangan. Sikap ini didasari atas kebenaran dan kasih kepada pilihan Allah yang memerintah untuk dipergunakan bagi kepentingan masyarakat banyak, yang kemudian kita menerima manfaatnya sebagai warga. Selanjutnya nas minggu ini menekankan kasih yang lebih menyeluruh di dalam hidup umat-Nya, sebab sesuai yang dituliskan, kasih sejatinya adalah kegenapan hukum Taurat. Sikap kasih itu dijabarkan dari larangan berpura-pura hingga wajib diwujudkan segera dalam kehidupan saat ini sebab waktu yang sempit sebelum kedatangan Tuhan Yesus kedua kali. Melalui bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran tetang pelaksanaan kasih sebagai berikut.
Pertama: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri! (ayat 8-9)
Pertanyaan untuk nas ini adalah: Mengapa hutang dikaitkan dengan kasih. Dalam ayat-ayat sebelumnya kita diingatkan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban kita di dalam kehiduan sehari-hari dengan tepat dan benar, termasuk kepada pemerintah untuk pembayaran pajak, cukai, rasa takut dan hormat. Alasannya jelas. Kalau dalam hubungan dunia, kita mendapatkan dari pemerintah, seperti perlindungan keamanan, fasilitas publik, dan lain-lain, maka untuk itu kita perlu membayar pajak dan bea (band. Mat. 22:21). Dalam hal ini firman Tuhan mengatakan jangan kita berhutang apalagi “ngemplang” kepada pemerintah sebab kita sudah memerima kebaikannya. Hukum timbal balik dalam pengertian positif adalah sesuatu yang baik dan wajar. Maka kita juga yang sudah percaya pada Tuhan Yesus dan menerima anugerah-Nya, kasih Allah yang melimpah dicurahkan secara permanen, maka kita juga jangan sampai berhutang kepada-Nya. Jalan terbaik untuk membayar hutang kasih kepada Allah adalah dengan memenuhi kewajiban kasih kepada sesama di samping terus mengikuti perintah-Nya serta memuliakan-Nya (1Yoh. 5:2). Kasih Yesus akan selalu jauh lebih besar dari yang bisa kita berikan, Ia juga lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh. 4:19) sehingga tidak mungkin terbayarkan meski dengan nyawa kita. Oleh karena itu kasih kepada sesama disebut sebagai hutang, bahkan hutang yang tidak dapat dibayar habis dan untuk membayarnya hanya dengan jalan kasih saja
Demikian juga dikatakan bahwa kasih terhadap sesama dimulai seperti kasih kepada diri sendiri. Kita tidak boleh berpikir bahwa mengasihi diri sendiri adalah salah. Mengasihi diri sendiri dalam arti memberi respek terhadap diri sendiri dan mengakui karunia rohani Allah di dalam diri kita. Mengasihi diri sendiri dalam arti memelihara dan mengembangkan pikiran, tubuh, dan potensi diri kita, menggunakan seluruh karunia rohani tujuan yang baik bagi Tuhan, jelas sangat menyenangkan hati Tuhan. Hal yang dilarang dan ditolak Tuhan adalah mencintai diri sendiri secara berlebihan, narsis memuja berlebihan, dan itu akan menjadi tanpa ujung dan bisa tak habis-habisnya. Mengendalikan diri demi untuk mewujudkan kasih kepada sesama adalah pilihan orang Kristen. Hakekat Kristiani adalah pengorbanan. Tidak ada arti dan makna yang lebih dalam dari KASIH di dalam bahasa Indonesia yang berarti BERI. Kasih artinya memberi. Memberi artinya berkorban dan tidak menuntut bagian dan kepentingan kita. Apabila kita belum mampu memberi, maka bisa dengan meminjamkan yang kita punyai (Kel. 22:25; Mzm. 37:26; Mat. 5:42). Kalau kita meminjam maka segeralah lunasi atau mengembalikannya tanpa membuat orang lain susah dan menderita (band. Mat. 7:12). Firman Tuhan mengatakan, “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh. 3:18).
Mungkin kita memiliki penilaian diri yang tidak tinggi, tetapi tidak mungkin membiarkan diri kita kelaparan. Baju yang kita pakai pun mungkin bisa sederhana saja. Kita juga pasti marah apabila seseorang mencoba menghancurkan rumah tangga kita, sebab kita mengasihi anak-anak kita. Semua ini adalah kasih yang kita butuhkan untuk sesama. Oleh karena itu pastikanlah bahwa ada ukuran plafon atau atap di atas kepala kita, agar kita tidak narsis dan besar kepala mencintai diri sendiri dengan berlebihan. Kita perlu melihat apakah tetangga kita cukup makan bergizi, mereka memiliki pakaian yang layak, atau tempat tinggal yang layak huni? Apakah kita peduli dengan masalah ketidakadilan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat? Atau, apakah kita tergerak bilamana ada sebuah bencana sosial terjadi di wilayah tertentu dan tergerak memberikan sumbangan? Mengasihi orang lain seperti mengasihi diri sendiri berarti kita secara aktif terlibat dan terbeban terhadap kebutuhan mereka agar tercukupi secara minimal. Hal yang menarik dari kehidupan, justru mereka yang memberi perhatian lebih banyak pada orang lain dibanding kepada dirinya sendiri, sangat jarang menderita rasa harga diri yang rendah. Ada kebanggaan, optimisme dan percaya diri. Maka, wujudkanlah kasih itu sepanjang kita bisa (Yoh. 13:34; Kol. 3:14). Dengan mewujudkan kasih seperti itu, maka kita telah menjalankan hukum Taurat.
Kedua: Kasih adalah kegenapan hukum Taurat (ayat 10)
Allah mengasihi umat-Nya dengan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Dalam perjalanan keluar itu, Allah memberikan pedoman hidup berupa hukum Taurat bagi bangsa Israel, agar mereka tetap selamat dan bebas merdeka, dan seluruh umat manusia juga ikut diselamatkan melalui keteladanan bangsa itu. Hukum itu diturunkan melalui Musa dan itulah yang mereka pakai selama ribuan tahun. Inti hukum Taurat adalah “Sepuluh Perintah Allah” yang pada bagian pertama mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (perintah kesatu hingga keempat) dan hubungan manusia dengan sesamanya (perintah kelima sampai kesepuluh). Uraian rinci atas sepuluh perintah itu tersebar dalam kitab Keluaran, Bilangan, Imamat dan Ulangan, serta beberapa penegasan dan tambahan dalam kitab-kitab para nabi dan kitab puisi dan Mazmur. Namun kemudian oleh para ahli Taurat dan pemimpin Yahudi, mereka mengembangkan hukum-hukum sedemikian rupa yang lebih kepada kepentingan mereka sendiri, bukan mengutamakan kepentingan Allah; hukum Taurat lebih dilihat sebagai kewajiban mutlak tanpa ada hakekat hikmat dan kasih. Hal ini dapat kita lihat pada aturan persembahan harus tidak bercacat yang mengakibatkan hewan dijual di depan Bait Allah (Mat. 21:12), pembayaran persepuluhan hingga dari hasil tanaman di halaman (Mat. 23:23), beribadah harus ke Yerusalem, dan sebagainya yang menghilangkan makna kasih sejati Allah.
Padahal, sangat jelas hukum Taurat diberikan bukan bermaksud membatasi kebebasan manusia, melainkan sebagai kaidah moral dan rohani untuk menjaga agar mereka tidak masuk dalam bahaya jeratan Iblis. Kita juga tahu betapa mudahnya untuk memaafkan kelalaian kita terhadap orang lain demi semata-mata karena kita merasa tidak memiliki kewajiban untuk menolong mereka; bahkan membenarkan tindakan kita untuk menyusahkan orang lain apabila secara legal hal itu memungkinkan. Sebagai orang berdosa kita akan lebih mudah memaafkan dan membenarkan diri sendiri. Padahal, kalau dilihat Im. 19:18 sebagai sumber awal nas ini, inti dan hakekat hukum Taurat adalah kasih, kasih kepada Allah dan kepada sesama, sebagaimana diungkapkan, "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Perintah kasih kepada sesama ini merupakan lanjutan dari hakekat pertama hukum Taurat, yakni: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul. 6:5). Kedua hakekat hukum inilah inti dari semua kaidah-kaidah itu dan kemudian ditegaskan kembali oleh Tuhan Yesus di dalam Perjanjian Baru (Mat. 22:37-40; Mrk. 12:30-31; Luk. 10:27).
Perjanjian Baru mengatakan Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8). Hukum Taurat adalah ekspresi sifat Allah dalam bentuk perintah positif dan perintah larangan/negatif (band. Kej. 2:17; 1Kor. 13:4-6; dan lainnya). Dengan demikian, prinsip hukum dalam kehidupan orang Kristen harus mengikuti hukum kasih yang melampaui hukum moralitas dunia, hukum adat dan hukum negara. Tuhan Yesus menetapkan kasih dan tidak meninggalkan celah kelemahan di dalam hukum kasih itu. Setiap saat kasih dibutuhkan, kita harus berusaha melewati persyaratan hukum-hukum legal dunia dan meniru kasih Allah (band. Yak. 2:8,9; 4:11 dan 1Pet. 2:16,17). Hal ini wajar, sebab tujuan hukum hanya dua, yakni ketertiban dan keadilan. Oleh karena hukum Allah pada hakekatnya adalah kasih, maka apa yang ditulis dalam hukum Taurat pada dasarnya untuk tujuan ketertiban/keberaturan dan keadilan yang berdasarkan kasih. Jadi, meski ada hukuman dalam sistem hukum Taurat, pada dasarnya itu untuk jalan menuju kebaikan dengan tujuan pertobatan. Memang untuk mencegah dampak yang lebih luas, seseorang yang melakukan tindakan yang tidak sesuai hukum Taurat dapat dihukum mati. Dalam hal ini kita melihat kasih diutamakan bagi mereka yang masih setia agar mereka tidak terjerat dalam perbuatan jahat serupa.
Ketiga: Menanggalkan perbuatan kegelapan (ayat 11-12a)
Rasul Paulus menekankan pentingnya kasih kepada Allah dan sesama diwujudkan segera dan saat ini. Perbuatan kasih tidak boleh ditunda-tunda, sebagaimana hutang harus dibayar dengan segera. Konsepnya bukan "time is money" tetapi "time is love". Setiap kesempatan dimanfaatkan untuk menyatakan kasih, sekecil apa pun wujudnya, seperti pemberian senyum bagi semua orang yang kita temui. Segala keengganan dan kelesuan harus dibuang, apalagi kesombongan. Demikian juga dengan aturan-aturan yang membuat kita harus terhalang mengungkapkan kasih. Kisah orang Samaria yang murah hati dapat kita ambil sebagai contoh, bagaimana seorang imam berjalan turun dari Yerusalem ke Yerikho dan di tengah jalan ia melihat seseorang tergeletak terluka korban perampokan. Imam tersebut melewatinya begitu saja karena berpikir ia akan najis bila tubuhnya kena darah; orang Lewi juga melewatinya begitu saja karena berpikir orang tersebut mungkin berpura-pura terluka dan punya rencana jahat. Keduanya sama sekali tidak terpikir dan tergerak untuk menolong korban itu. Namun yang dilakukan oleh orang Samaria sungguh penuh kasih; ia berhenti dan menolong, membawa korban itu ke penginapan, dan bahkan mengobatinya (Luk. 10:25-35). Itulah kasih yang tidak boleh ditunda.
Rasul Paulus mengatakan bahwa waktu sudah sangat sempit sehingga jangan lalai dan terlelap, melainkan harus bangun dan sigap. Waktu sisa yang sempit diekspresikannya dengan mengaitkan pada kedatangan Tuhan Yesus untuk kedua kalinya. Kalau kita melihat peristiwa kenaikan Tuhan Yesus sekitar tahun 33M dan surat ke jemaat di Roma ini ditulis sekitar tahun 55 – 57 M, maka sebenarnya waktunya baru sekitar dua puluhan tahun saja. Namun ia sudah berkata, “Hari sudah jauh malam, telah hampir siang.” Istilah siang di sini jelas berarti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya. Ini juga yang dimaksudkan dalam kalimat "Sebab sekarang keselamatan sudah lebih dekat bagi kita daripada waktu kita menjadi percaya." Meski kenyataannya bahwa Yesus tidak datang pada masa itu dan bahkan saat ini, hal itu tidak berarti bahwa hal yang disampaikan Paulus tidak benar atau bohong. Kita melihatnya dari dua sisi: pertama, Paulus merindukan secara pribadi kedatangan Yesus kembali dan ingin melihat Tuhannya itu kembali saat ia masih hidup, dan itu harus menjadi sikap kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mengatakan sebagaimana Doa Bapa Kami: “datanglah kerajaan-Mu” dan “jadilah kehendak-Mu”. Faktor kedua, Rasul Paulus mengambil istilah malam dalam nas ini berarti masa saat itu adalah masa yang sangat jahat ketika semakin banyak orang melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan hal itu sangat mengganggu hatinya untuk secepatnya berlalu.
Hal yang cukup menarik dari firman minggu ini adalah kasih dihubungkan dengan perbuatan kegelapan. Kita juga heran dengan daftar yang dibuat oleh Rasul Paulus yakni perselisihan dan kecemburuan disejajarkan dengan dosa-dosa yang nyata-nyata berat, seperti pesta pora, mabuk, dan kemerosotan moral seksual. Hal ini tidak mengherankan sebagaimana Tuhan Yesus dalam khotbah-Nya di bukit, Rasul Paulus juga menekankan sikap dan perbuatan sama pentingnya, dan kecenderungan yang membuat seseorang jatuh lebih dalam lagi, lebih baik dicegah meski harus dikorbankan sumbernya. Mata yang membuat dosa maka mata bila perlu dicungkil atau tangan yang menyesatkan lebih baik dipotong (Mat. 5:29-30). Ini sama seperti kebencian bisa mengarah pada pembunuhan, kecemburuan menuju keributan, dan nafsu menuju perzinahan, sehingga dosa sikap disejajarkan dengan perbuatan. Pokok penting yang bisa kita tangkap dari firman ini adalah, ketika Tuhan Yesus kembali, Dia ingin agar murid-murid hidup di dalam kasih dan menanggalkan kegelapan. Mereka yang hidup terlepas dari kasih dan masuk ke dalam kegelapan membuat jauh dari kekudusan. Kasih, sebaliknya, membuat seseorang tetap dalam terang dan berjalan di dalam kekudusan serta kekudusannya di bagian luar sama dengan di dalam (hatinya).
Keempat: Tuhan Yesus sebagai perlengkapan senjata terang (ayat 12b-14)
Rasul Paulus memahami bahwa hidup di dunia untuk melawan kegelapan bukanlah hal yang mudah. Kelemahan tubuh dan daging dan kemampuan iblis menggoda membuat setiap manusia lemah, mudah terjerat dan tidak lepas dari kegelapan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa tidak cukup untuk melawannya dengan kemampuan roh manusia dengan keterbatasan emosional dan pikiran, tapi perlu kekuatan dari luar dirinya. Dalam suratnya kepada jemaat Korintus dituliskan, "Memang kami masih hidup di dunia, tetapi kami tidak berjuang secara duniawi, karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng" (2Kor. 10:3-4). Dalam surat kepada jemaat di Efesus, ia kemudian menuliskan, "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis.... Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri.... (Ef. 6:11, 13). Senjata Allah yang disebutkan adalah: berdiri tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kaki berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; mempergunakan perisai iman untuk memadamkan semua panah api dari si jahat; menerima ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dan bertekun dalam segala doa dan permohonan (Ef. 6:14-17).
Bagaimana kita mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang? Pertama, hendaklah kita dipersatukan dengan Kristus melalui baptisan, seperti dikatakan firman, "Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus" (Gal. 3:27). Ini memperlihatkan tanda kebersamaan kita seperti umat Kristen lainnya dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan Yesus Kristus. Kedua, kita bertekun di dalam pengetahuan dan pemahaman firman. Firman bukanlah semata-mata kata-kata, melainkan memiliki kuasa untuk mengubah hidup seseorang. Ketiga, kuasa Roh Kudus yang kita miliki melalui pengakuan iman dan baptisan serta di dalam firman yang hidup, akan terus menerus berusaha meneladani Tuhan Yesus di dalam kehidupan kita di dunia ini, yakni di dalam kasih, kerendahan hati, kebenaran dan pelayanan. Artinya, kita berusaha melakukan peran (role-play) yang sama seperti yang dilakukan Kristus dahulu pada situasi kita saat ini (Ef. 4:24-32; Kol. 3:10-17). Orang Kristen sekarang diminta menjadi "anak-anak siang" yakni sifat dan perbuatan yang sesuai dengan dekatnya Kerajaan Allah (Ef. 5:14; 1Tes. 5:6, 10; Yak. 5:8; 1Yoh. 2:18).
Dengan perlengkapan senjata terang di dalam Kristus, maka tidak mudah lagi bagi kita mengikuti keinginan nafsu dalam setiap kesempatan untuk membawa kita ke dalam dosa. Namun ada hal yang perlu kita perhatikan dalam nas ini, yakni pemakaian senjata terang hanya efektif bekerja terus menerus apabila kita terlebih dahulu meninggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan. Artinya, ada roh pertobatan dan kerinduan dalam hati seseorang untuk datang kembali kepada Tuhan. Senjata terang hanya akan bekerja efektif apabila senjata itu berada di tangan yang percaya dan terang di dalam Kristus, sebab apabila tidak setia, maka senjata itu tidak akan efektif pemakaiannya. Ketaatan dan komitmen orang percaya adalah bukti kasih kepada Allah. Bilamana masih kuat hasrat yakni emosi dan motivasi untuk menyenangkan tubuh dan daging dan merawatnya, maka pembaharuan dan penyucian tidak akan berhasil. Keinginan ke dalam kegelapan akan membuka pintu memuaskan keinginan dosa. Oleh karena itu, tetaplah dalam sikap waspada (band. Luk. 12:35; Mat. 24:42-44).
Penutup
Kehendak Allah yang disampaikan Rasul Paulus bagi orang percaya adalah pikiran kita harus terus menerus dibaharui dan ini perlu dilakukan dengan benar. Kasih Allah yang sudah diberikan kepada kita berupa keselamatan harus dikembalikan dengan mengasihi Allah dan khususnya diwujudkan kepada sesama manusia. Untuk itu pelaksanaan kasih tidak boleh berpura-pura dan menarik keuntungan dari kasih yang diberikan. Pemahaman kasih ini sangat penting, sebab kasih adalah kegenapan hukum Taurat dan menjadi hukum utama di dalam kehidupan orang percaya. Untuk dapat mewujudkan kasih dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu meninggalkan dunia lama yakni menanggalkan segala kegelapan, sehingga kasih yang kita lakukan tersebut benar-benar adalah tulus dan bagian dari kasih kita kepada Allah. Kita harus memberi garis pemisah antara kebenaran dan kejahatan, antara hidup lama dengan hidup baru. Hal ini perlu dilakukan segera dan saat ini, sebab waktunya sudah sempit yakni datangnya Tuhan Yesus kembali. Melalui komitmen, kita memerlukan senjata-senjata agar tidak terperosok lagi di dunia kegelapan itu. Oleh karenanya, senjata-senjata terang yang paling ampuh dan efektif adalah bersumber dari Kristus. Mari kita renungkan: Bagaimana kasih nyata di dalam hidupku? Apakah kasihku berpura-pura, tertunda dan kudus? Apakah aku memakai senjata terang dari Kristus? Tuhan Yesus memberkati.
Khotbah Minggu 6 September 2020
Kabar dari Bukit
MENASIHATI SESAMA
”Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat. 18:18)
Beberapa waktu lalu seseorang mempertanyakan dan sekaligus menegur temannya di grup WA. Tentu sudah dapat diduga, keriuhan pun terjadi. Ada yang memprovokasi, dan ada yang dengan tenang membela dan menyarakan agar ditanyakan dahulu seluk beluknya. Bersyukur, masalah dianggap selesai di WA. Tetapi sisa dalam hati dan ingatan susah diduga, dan lazimnya waktulah yang dapat menghapusnya. Pertolongan Roh Kudus tentu dapat mempercepat pemulihannya.
Firman Tuhan hari Minggu ini dari Mat. 18:15-20, diberikan kepada kita sebagai bekal kehidupan tentang menasihati sesama saudara. Ketika ada orang lain berbuat kesalahan, kita menilai dan merasa orang itu perlu dinasihati dan bahkan dihukum. Tetapi perlu diingatkan bahwa mungkin saja orang tersebut bertindak dengan alasan tertentu, kondisional. Atau cara kita melihatnya yang salah, baik sumber informasinya atau analisisnya. Lagian, kita bukanlah dia, dan siapa sih yang suka dinilai buruk dan dihakimi? Dampaknya bagi semua, merusak dan melelahkan pikiran. Dan perlu berefleksi, mungkin kita juga tidak lebih baik.
Melakukan kesalahan itu manusiawi. Kisah di Alkitab tatkala orang-orang ingin menguji Tuhan Yesus tentang perempuan yang berzina, dan menurut hukum Musa harus dilempari dengan batu. Tetapi Tuhan Yesus membungkuk dan menuliskan dengan jari-Nya di tanah, dan kemudian berkata: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (Yoh. 8:7). Ternyata semua orang pergi, karena merasa mereka juga melakukan dosa dan kesalahan. Tuhan Yesus kemudian berkata kepada perempuan itu: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh. 8:10-11).
Nas minggu ini pesannya jelas. Bila ada orang lain berbuat kesalahan atau berdosa, tetaplah peduli. Tapi bicaralah empat mata dalam kasih. Minta dan cari informasi selengkapnya. Jika kita merasa memang ada yang salah, nasihati dan bersyukurlah bila ia menerimanya. Tetapi bila orang itu mengeyel, tidak bersedia dinasihati, maka bawalah saksi lainnya, bisa dua atau tiga orang. Jika orang itu masih mengotot dan terus merasa benar, maka bawalah masalah tersebut kepada jemaat (ayat 15-17a). Tentu ini konteks masalah gerejawi. Jika beda konteksnya, bawalah kepada organisasi. Alangkah lebih bagus, berdiskusilah dahulu dengan ahli dalam bidangnya, terutama pada hamba Tuhan yang terpercaya.
Bila itu hanya masalah dua orang, janganlah mengotot membawa ke luar. Lebih baik mengalah. Alkitab mengatakan, orang yang mengalah akan lebih diberkati. Abraham mengalah kepada keponakannya Lot memberi pihan pertama (Kej. 13:7-9). Daud mengalah kepada Saul dan tidak mau menghukumnya (1Sam. 24:1-10). Yesus mengalah kepada orang-orang yang menyakiti-Nya. Ternyata yang mengalah lebih diberkati. Jadi tidak perlu merasa rendah diri, tetapi yang benar kita merendahkan hati. Penulis terkenal Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale dalam bukunya The Power of Ethical Management mengatakan: “People with humility don’t think less of themselves. They just think about themselves less” (Orang dengan kerendahan hati tidak menganggap rendah dirinya. Mereka hanya kurang memikirkan diri mereka sendiri). Dan tidak seorang pun dapat merendahkan diri kita tanpa izin kita.
Mereka yang tidak mau dinasihati, maka jauhkan diri darinya. Anggaplah mereka tidak mengenal Allah atau pemungut cukai (ayat 17b). Bila itu merupakan tempat atau perkumpulan, tinggalkan saja dan kebaskanlah debu dari kakimu (Mat. 10:14-15). Lepaskan, jangan menjadi beban dan ganjalan dalam hati dan pikiran, apalagi sampai terbawa mati. Nasihat minggu ini jelas: “Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga (ayat 18).
Hidup itu dibuat sederhana. Tuhan menginginkan damai sejahtera bagi setiap orang yang mengikuti-Nya. Capailah kesepakatan meski tidak harus sepakat. Bila sepakat, maka haleluya, sebab firman minggu ini berkata, “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (ayat 19-20). Duh, enaknya dan senangnya. Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.
Kabar dari Bukit 30 Agustus 2020
Kabar dari Bukit
JALAN SALIB
Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24).
Saya menyukai memilih tema khotbah Minggu sesuai leksionari. Ada metode dan urutan sesuai kalender gereja. Denominasi gereja-gereja besar umumnya mempunyai referensi global, seperti Lutheran, Methodist, Calvin dan bahkan Katholik. Saya dan Pdt. Charles Sitorus di Gaja Toba tiap hari memakai referensi leksionari dari Vanderbilt yang juga dipakai GKI, sehingga saya tidak kesulitan memilih lagu di malam hari sebelum renungan pagi diposting.
Nas minggu ini bagi kita sesuai leksionari dari Mat. 16:21-28, mengungkapkan “Pemberitahuan pertama tentang penderitaan Yesus dan syarat-syarat mengikut Dia.” Kita tahu nubuatan-Nya benar, Yesus menderita dan mati di kayu salib. Dan entah mengapa nas tiga minggu ini cocok dengan urutan bab dalam bukunya John Stott Why I am a Christian. Dalam bab 3 buku tersebut ia menuliskan tentang Salib Kristus, setelah bab 1 tentang Anjing Pemburu dan bab 2 tentang Penyataan Yesus Kristus yang dibahas minggu-minggu lalu.
Selain ajaran dan teladan-Nya yang unggul dan istimewa penuh kasih, sepanjang sejarah, Yesus memang satu-satunya pemimpin agama yang mati untuk orang lain dan di kayu salib. Kita tahu Sang Buddha meninggal di usia 80 tahun dan Nabi Muhammad di usia 62 tahun dan keduanya meninggal karena sakit. Musa meninggal di usia 120 tahun dan Konfusius di usia 72 tahun karena usia tua. Hanya Yesus yang mati atas kehendak-Nya sendiri dan di usia muda dengan pelayanan 3,5 tahun saja, tetapi memiliki pengikut terbesar di dunia.
Menurut John Stott, jalan salib dipilih Yesus dengan tiga penjelasan dari Alkitab. Pertama, Dia mati untuk menebus dosa-dosa kita. Mulai kitab Kejadian pasal 2:17 sampai ke kitab Wahyu pasal 21:8, dosa dan kematian sering dipertukarkan dan disatukan. Perjanjian Lama penuh dengan konsep penebusan melalui pengganti kematian melalui korban persembahan. Secara alami dosa dan kematian adalah bagian manusia, dan “upah dosa adalah maut” (Rm. 6:23). Adam dan Hawa berdosa, maka mereka diusir dan mati. Kita berdosa, dan kita mati. Dan puncaknya adalah Kristus mati di kayu salib sebagai pengganti dan penebusan dosa-dosa kita.
Kedua, Kristus mati untuk menunjukkan karakter Allah. Melalui kematian Kristus, Allah menyatakan keadilan dan kasih-Nya kepada semua. Yesus tidak berdosa tapi Ia mati. Ayub (dan kadang kita juga) mempertanyakan, mengapa yang jahat lebih maju dan mengapa yang tidak bersalah selalu menderita? Jawabannya adalah pembuktian theodicy, yaitu pembelaan atas keadilan Allah, pembenaran bagi umat manusia yang kelihatannya seperti ketidakadilan Allah. Alkitab menjawab hal ini dengan mengatakan adanya penghakiman terakhir di masa mendatang, tatkala semua yang tidak benar akan dibenarkan. Hal lainnya, ketiadaan tindakan Allah di hadapan kejahatan bukanlah karena perbedaan moralnya, namun karena kesabaran yang ditahan-Nya sampai Kristus datang kedua kali. Maka percaya dan bersabarlah.
Ketiga, Kristus mati untuk menaklukkan kuasa kejahatan. Kristus mati di kayu salib lalu dikuburkan, tetapi bangkit di hari ketiga. Salib bukan lagi sebagai simbol kutuk melainkan simbol kebangkitan dan kemenangan. Melalui jalan salib, Kristus menjadi “Allah yang disalib” sesuai pernyataan filsuf Nietzsche, tetapi hal itu justru menyatakan kredibilitas-Nya. “Kemenangan, penaklukan, sukacita besar, kekuatan besar menjadi kosa kata pengikut Kristus”, tulis John Stott. Kita bangga dan hormat serta tidak pernah malu atas kematian Yesus di kayu salib.”Maut telah ditelan dalam kemanangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, dimanakah sengatmu?” (1Kor. 15:54b-55; Yes. 25:8).
Jalan salib telah dipilih Yesus. Salib dipilih gereja sebagai simbol Kekristenan: bukan palungan, tahta, atau burung merpati, Maka diingatkan John Stott yang mengutip Gustav Aulen, kita orang Kristen jangan terlalu menekankan tema kemenangan dan melupakan tema penebusan dan penyataan-Nya. Jalan pengorbanan adalah pilihan kita untuk menyatakan kasih kepada Tuhan dan sesama. Marilah kita tidak seperti Petrus yang dicela Yesus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ayat 23).
Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (ayat 24). Perlu kita ketahui, nilai dari pemberian kasih diukur dari pengorbanan sang pemberi, dan dengan tingkatan di mana penerima layak menerimanya. Bagaimana, apakah kita sudah layak menerima kasih-Nya? Apakah kita sudah sepenuh hati mengikut Dia dan ikut memikul salib-Nya dengan memberi yang terbaik bagi-Nya dari hidup kita? “Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya (ayat 27). Selamat hari Minggu dan selamat beribadah. Tuhan memberkati kita sekalian, amin.
Berita Terbaru
Khotbah
-
Khotbah Minggu 15 Desember 2024 - Minggu Adven IIIKhotbah Minggu 15 Desember 2024 - Minggu Adven III KAPAK...Read More...
-
Khotbah (3) Minggu 15 Desember 2024 - Minggu Adven IIIKhotbah Minggu 15 Desember 2024 - Minggu Adven III PEMULIHAN...Read More...
-
Kabar dari Bukit, Minggu 8 Desember 2024Kabar dari Bukit DOA UNTUK ANAK DAN PEMIMPIN (Mzm. 72:1-7,...Read More...
- 1
- 2
- 3
- 4
Renungan
-
Khotbah Utube Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1Membalas Kebaikan Tuhan Bagian 1 Khotbah di RPK https://www.youtube.com/watch?v=WDjALZ3h3Wg Radio...Read More...
-
Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015Khotbah Tahun Baru 1 Januari 2015 Badan Pengurus Sinode Gereja Kristen...Read More...
-
Khotbah Minggu 19 Oktober 2014Khotbah Minggu 19 Oktober 2014 Minggu XIX Setelah Pentakosta INJIL...Read More...
- 1
Pengunjung Online
We have 71 guests and no members online