Sunday, December 15, 2024

Khotbah Minggu 9 Oktober 2022

 Minggu Kedelapan Belas Setelah Pentakosta tahun 2022

 

BERSYUKUR DAN IMAN YANG MENYELAMATKAN (Luk. 17:11-19)

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 29:1, 4-7 atau 2Raj. 5:1-3, 7-15c; Mzm. 66:1-12 atau Mzm. 111; 2Tim. 2:8-15

 

Pendahuluan

Minggu ini kembali kita diberikan nats yang berhubungan dengan iman. Kalau dalam dua minggu lalu tentang buah iman yakni Lazarus diselamatkan dan dipangku Abraham, dan minggu lalu tentang pertambahan iman serta iman yang memindahkan pohon, maka minggu ini kita diberikan tentang iman yang dikaitkan dengan kerendahan hati dan keselamatan kekal. Kisahnya tentang perjalanan Tuhan Yesus menuju Yerusalem, Ia menyembuhkan sepuluh orang kusta namun hanya satu yang kembali tersungkur untuk menyatakan syukur dan terima kasihnya atas kesembuhan yang diberikan, dan dia justru orang Samaria. Melalui nats tersebut, kita diberikan pelajaran hidup sebagai berikut.

 

Pertama: mencari dan datang di saat perlu (ayat 11-13)

Tuhan itu ada dan berkuasa atas ciptaan-Nya, alam semesta beserta seluruh isinya. Keberadaan dan kuasa-Nya tidak tergantung kepada pengakuan manusia. Ia adalah pemilik, pengatur dan pemelihara semuanya. Kejatuhan manusia pada dosa membuat manusia tidak lagi sempurna bahkan penuh kelemahan, termasuk penyakit dan kelemahan fisik. Penyakit kadang dianggap sebagai kutukan yang kemudian menjelalah tubuh manusia dan sering membuat manusia itu menderita dan putus asa. Salah satu penyakit yang dianggap kutukan adalah kusta, jenis penyakit yang menggerogoti tubuh manusia dengan membusuk dan sangat menular. Di era itu perkembangan metode pengobatan belum sebaik saat ini sehingga sangat sulit disembuhkan. Karena itu juga oleh para imam, penderita penyakit ini harus dikucilkan dari lingkungan, dan hanya boleh dianggap sembuh dan tahir dengan pengesahan imam untuk bisa kembali bergaul dengan penduduk lainnya (Im. 14).

 

Sebagai orang-orang yang dikucilkan dan harus berdiri cukup jauh dari Tuhan Yesus yang lewat di daerah itu, mereka harus berteriak untuk meminta perhatian-Nya (band. Im. 13:45; Bil. 5:2). Tuhan Yesus yang penuh dengan belas kasih hati-Nya tergerak melihat permohonan mereka ini. Tanpa berpikir dua kali dan juga tidak memerlukan obat, media atau sentuhan, kuasa Tuhan Yesus mampu menyembuhkan penyakit mereka dan langsung tahir. Ini adalah kuasa “Firman” yang dilandasi oleh iman yang memohon, bekerja dengan seketika dan inilah yang disebut dengan mukjizat. Tuhan senang memberi mukjizat bagi mereka yang membutuhkan meski Ia tidak mempertanyakan bahwa hasil pekerjaan-Nya berupa kesembuhan (penyakit atau penderitaan) itu akan menghasilkan keselamatan yang kekal bagi orang yang menerimanya.

 

Pertanyaan yang cukup menggoda kemudian adalah: apakah kita semua mengharapkan mukjizat dari Tuhan saat ini? Mungkin segala upaya dan usaha sudah kita lakukan dalam membebaskan dan memulihkan kita dari belenggu penyakit, hutang piutang, hubungan keluarga, hukuman dan penindasan, dan lainnya, dan kita tidak melihat lagi dengan penglihatan mata dan akal pikiran bahwa usaha dan upaya itu akan berhasil. Apakah kita seperti sepuluh orang kusta itu terus berteriak memohon kepada Tuhan Yesus untuk mendapatkan pertolongannya? Atau hal yang lebih prinsip lagi, apakah kita selama ini memang sudah mengandalkan Dia dalam hidup kita, atau berteriak memohon hanya karena terdesak dan putus asa? Namun, percayalah, walau sudah taat selama ini atau baru dan kepepet untuk memohon pertolongan-Nya, Ia adalah Allah yang Mahabaik dan penuh dengan belas kasihan. Kuncinya adalah: apakah kita tetap percaya kepada perkataan Tuhan Yesus meski itu tidak masuk akal pikiran dan firman itu belum bekerja serta kita melihat buktinya? Maka teruslah berteriak dan memohon, hingga melalui kuasa Firman-Nya kita dipulihkan dan disembuhkan dari penderitaan kita saat ini. Mukjizat pasti terjadi.

 

Kedua: sikap tersungkur dalam mengucap syukur (ayat 14-16)

Dari bacaan nats yang ada tampaknya kesepuluh orang kusta itu percaya dan pergi kepada imam tanpa disembuhkan terlebih dahulu. Artinya, penyembuhan terjadi ketika mereka berjalan menuju imam untuk memperlihatkan dirinya masing-masing. Memang akhirnya kesepuluh orang kusta itu menerima kesembuhan dan disahkan oleh para imam serta dapat kembali hidup normal bergaul dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah mukjizat yang nyata telah melepaskan mereka dari penderitaan dan pengucilan yang membuat putus asa. Bagi siapa saja, kesembuhan seperti ini pantas untuk disyukuri dan berterima kasih khususnya kepada yang memberi kelepasan itu.

 

Namun ternyata hanya satu orang yang kembali dan tersungkur untuk menyatakan syukur dan terima kasihnya kepada Tuhan Yesus, sementara sembilan orang lainnya tidak kembali dan melupakannya. Mereka mungkin langsung berkumpul dengan keluarga dan lingkungannya. Memang Tuhan Yesus tidak menuntut rasa syukur dan pujian dari kita, meski Ia mempertanyakan dan pasti merasa senang apabila kita melakukannya. Kunci jawabannya adalah, apabila kita melakukannya dengan mengucap syukur, maka kita akan semakin diberkati dan semakin mengenal Dia yang memberi semua dalam kehidupan kita ini. Hanya orang yang rendah hati dan mau berterima kasih dan belajar bahwa imannya yang bekerja sehingga anugerah kesembuhan (serta berkat) dan lainnya ia terima dari Allah yang tidak terlihat.

 

Tuhan Yesus melalui nats ini mengajarkan pentingnya mengucap syukur dan berterima kasih kepada mereka yang memberi kebaikan. Sikap itu harus kita perlihatkan nyata dan tidak dalam hati saja selagi memang ada kesempatan. Kita harus melihat bahwa ucapan terima kasih adalah hutang yang perlu dibayar. Melalui rasa syukur dan terima kasih itu kemudian orang percaya menyadari betapa baiknya Tuhan dalam kehidupan kita. Pujilah Dia dan jangan lupakan kebaikan-Nya (Mzm. 103:2). Ini juga dapat kita perbandingkan dengan ucapan terima kasih pada orangtua, atau ucapan terima kasih kepada sesama yang pernah berbuat baik dalam kehidupan kita. Perlu kita renungkan, apakah mungkin suatu saat mereka yang berbuat kebaikan ini (termasuk orang tua) akan kita anggap sebagai pengganggu kenyamanan kehidupan kita, ketika mereka membutuhkan pertolongan kita?

 

Ketiga: kita dan orang asing (ayat 17-18)

Dari sepuluh orang yang disembuhkan, satu-satunya orang yang kembali mengucapkan terima kasih dan rasa syukur justru orang Samaria. Padahal, mereka adalah bangsa yang direndahkan yang dibenci oleh orang Yahudi dan sama sekali tidak dihargai karena dianggap sudah tidak "asli dan murni" Yahudi, akibat perkawinan campuran. Tetapi mengapa justru mereka yang berterima kasih? Mengapa bukan sembilan orang Yahudi itu? Semua ini tentu karena adanya kesombongan rohani, mereka mau menerima kebaikan Allah tetapi tidak merespons dengan iman dan ucapan syukur. Hati mereka tidak tersentuh dan mungkin dalam hatinya malah membenci Yesus sebab ikut menyembuhkan orang Samaria itu. Apakah kita juga bersikap demikian?

 

Memang memungkinkan seseorang menerima anugerah dari Allah yang Mahakuasa tanpa perlu merasa bersyukur atau berterima kasih. Banyak orang melakukan hal itu, yang beranggapan "nothing to do with God", gak ada urusan sama Tuhan. Semua adalah proses alam atau usaha sendiri. Ini sama seperti sembilan orang tadi yang tidak memperlihatkan sikap rendah hati melalui perbuatan dan tindakan yang memuliakan Allah, seperti yang didemonstrasikan oleh orang Samaria itu. Ini merupakan tantangan bagi kita, sebab firman Tuhan berkata bahwa hal yang harus kita lakukan justru harus melebihi mereka yang tidak mengenal dan menerima kasih Tuhan Yesus (band. Mat 5:20, 47).

 

Penyembuhan orang Samaria ini juga membuktikan kasih Allah ada pada semua orang dan semua bangsa (band. Mat. 5:45). Yesus tidak memilih bahwa yang menerima anugerah-Nya adalah mereka yang berbangsa Yahudi saja. Ia datang bagi semua orang. Hal lain yang perlu dilihat secara khusus di sini yakni terjadinya persamaan kepentingan orang Yahudi dan orang Samaria. Mereka jadi bersatu dalam memohonkan kepentingan mereka yang sama. Pertentangan yang ada selama ini dalam hati mereka menjadi cair.  Memang penderitaan dan kemalangan bersama dapat meruntuhkan batas-batas perbedaan itu, baik itu perbedaan pandangan politik atau SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan). Itu bisa kita lihat saat terjadi bencana alam, maka perbedaan menjadi hilang dan justru yang terjadi saling membantu. Namun sikap itu seharusnya tidak hanya terjadi pada saat kepepet dan insidentil saja, melainkan sudah harus menjadi pandangan hidup yang melekat dalam sikap dan perbuatan setiap hari. Sebab Allah baik bagi semua orang maka kita pun haruslah demikian.

 

Keempat: imanmu telah menyelamatkan engkau (ayat 19)

Kesembuhan pada sepuluh orang itu terjadi karena iman. Mereka percaya bahwa Yesus sanggup menyembuhkan meski belum melihat dan kemudian pergi kepada imam dan akhirnya terjadi kesembuhan. Keyakinan mereka akan kuasa Yesus sungguh besar. Itulah iman. Akan tetapi bagi sembilan orang yang tidak kembali, kesembuhan fisik adalah hal yang utama, bukan Tuhan Yesus yang telah menyembuhkannya. Mereka menerima kasih ilahi akan tetapi tidak menganggap sentuhan ilahi. Mereka kehilangan kepekaan rohani dan lebih mengutamakan hasil yang diperoleh bagi dirinya sendiri, bukan fokus pada pemberi karunia itu untuk kepentingan yang lebih panjang. Di sinilah bedanya diselamatkan dari persoalan (penyakit, beban pikiran, dan lainnya) tetapi tidak diselamatkan dalam kehidupan yang kekal.

 

Kita kemudian dapat melihat siapa yang sungguh-sungguh beriman dan diselamatkan. Iman adalah segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr. 11:1), yakni menyangkut keyakinan akan hal-hal yang belum terjadi dan terlihat. Seseorang dapat mengatakan bahwa ia percaya dan beriman hidupnya suatu saat akan menjadi pilot yang berhasil, pengusaha yang sukses, memiliki karir hingga puncak, dan sebagainya. Allah juga kadang memberikan kebaikan pada orang seperti itu. Akan tetapi ia melihat semua itu terjadi karena usaha kerja keras dan kerja cerdasnya. Maka perlu kita catat bahwa ini adalah iman duniawi, iman yang berlandaskan dan berasal dari kekuatan dirinya sendiri atau pertolongan keluarga atau kerabat lainnya.

 

Berbeda dengan iman yang berasal dari Allah dan berdasar kepada Allah. Ia bisa mempercayai sesuatu yang belum terjadi dan kelihatan, dan itu akan terjadi dalam hidupnya, akan tetapi ia mengandalkan Tuhan yang bekerja dalam hidupnya untuk mewujudkannya. Ia hanyalah sebagai alat dan Allah yang bekerja dalam dirinya untuk membuatnya demikian. Ia akan bersyukur apabila hal itu terjadi dan tetap bersyukur apabila itu juga tidak terjadi, sebab baginya Allah selalu memberikan yang terbaik. Kesembuhan atau keberhasilan bukan yang terutama akan tetapi melihat Allah bekerja dalam hidupnya dan akan memberikan kepadanya kehidupan kekal selamanya. Itulah iman yang menyelamatkan dan itulah yang terjadi pada orang Samaria itu, sebab imannya telah menyelamatkannya.

 

Kesimpulan

Dalam kelemahan dan kekurangan bahkan keputus-asaan kita, biasanya kita datang kepada Allah untuk meminta pertolongan-Nya. Sering kemudian Allah memberi pertolongan namun kita melupakan kebaikan-Nya itu dengan tidak menyatakan syukur dan terima kasih kepada-Nya. Kalaupun kita melakukannya mungkin hanya sekejap dan lupa dalam langkah berikutnya. Untuk itu kita jangan datang hanya saat perlu saja, melainkan menjadikan Allah sebagai sumber kekuatan dan pedoman hidup kita. Kita diminta melihat kebaikan-Nya dan terus bersyukur melalui doa dan sikap perbuatan sehari-hari. Kita harus lebih baik dari mereka yang tidak mengenal Tuhan Yesus dan harus menjadi saksi untuk memuliakan-Nya. Dengan demikian itu membuktikan bahwa iman kita adalah iman yang menyelamatkan, bukan saja di dunia ini tetapi kekal selama-lamanya.

 Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 321 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8565234
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
3282
73300
76582
8223859
716519
883577
8565234

IP Anda: 172.70.143.24
2024-12-16 03:41

Login Form