Sunday, December 15, 2024

Khotbah Minggu 28 Agustus 2022

Minggu Keduabelas Setelah Pentakosta Tahun 2022

YANG MERENDAHKAN DIRI AKAN DITINGGIKAN (Luk. 14:1, 7-14)

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yer. 2:4-13 atau Ams. 25:6-7; Mzm. 81:1,10-16; Ibr. 13:1-8, 15-16

Pendahuluan

Nats yang kita baca minggu ini bercerita tentang Tuhan Yesus saat berbicara di rumah seorang pemimpin Farisi, dan Dia memberi pengajaran kepada tamu maupun kepada tuan rumah. Ada dua perumpamaan yang disampaikan dan keduanya saling berkaitan. Keduanya memperingatkan tentang kecendrungan manusia untuk mencari dan meninggikan status, sebab kedudukan sosial sangat penting bagi masyarakat baik pada waktu itu maupun masa kini. Setiap orang ingin menduduki tempat yang terhormat. Namun, di lain pihak ada kecendrungan untuk melupakan mereka yang miskin, orang catat dan yang berkekurangan. Nats ini terkait juga dengan Luk. 18:14 dan. Mat 23:12. Dari nats ini, kita diberikan pelajaran kehidupan sebagai berikut.

 

Pertama: merendahkan diri (ayat 1, 7-8, 10a)

Kata “rendah” dapat berkonotasi ganda ketika digabung dengan kata lainnya. Pertama, kata rendah memiliki arti negatip ketika kata itu dipadukan menjadi rendah diri. Pengertian rendah diri yakni perasaan yang tidak sesuai dengan hakekat dan kodratnya, merasa inferior atau memiliki derajat kehidupan yang jauh lebih rendah dari orang lain. Menurut pemikiran psikologis, munculnya perasaan rendah diri dapat diakibatkan oleh latar belakang "penindasan" mental pada masa kecil, mungkin sering dilecehkan, dipinggirkan, atau adanya kelemahan atau “cacat” fisik, atau karena peristiwa tertentu yang membuat "harga dirinya" seolah-olah hilang dan terhempas ke titik nadir. Namun kata kerja merendahkan diri dapat juga diartikan positip ketika bermakna sama dengan merendahkan hati.

 

Arti kedua menjadi positip ketika kata “rendah” dipadukan dengan kata “hati” dan menjadi rendah hati. Pengertian ini menjadi positip karena meski ia bersikap merendah (hati), namun kenyataannya kerendahan itu hanyalah di hati, bukan realitas yang sesungguhnya. Artinya, kerendahan hati yang diekspresikan melalui sikap hati, tubuh dan penampilan, itu tidak mencerminkan yang sebenarnya atas dirinya. Ia melakukan itu juga bukan dalam sikap berpura-pura, melainkan didasari perasaan bahwa apa yang dia "capai dan miliki" sebenarnya bukanlah miliknya, melainkan titipan atau amanah, sehingga tidak perlu diperlihatkan, apalagi dibanggakan dan dipertontonkan. Ia juga berpikiran bahwa prestasi atau pencapaiannya saat ini, masih akan ada yang lebih banyak dan lebih baik dari dirinya. Ia menganggap sikap rendah hati itu lebih baik, mencerminkan yang sebenarnya dan menempatkan pihak lain di atasnya, tidak egosentris. Pihak lain itu bisa Allah-nya, pimpinannya, koleganya, ataupun keluarganya.

 

Maka dari kedua itu Allah lebih berkenan kepada arti kedua. Allah menciptakan manusia dalam derajat yang sama dan setara (1Kor. 16:11a). Kalaupun seseorang memiliki kelebihan tertentu maka biasanya selalu ada kekurangan yang menyertainya. Tidak ada manusia yang sempurna, sebab hanya Allah yang sempurna. Maka kita janganlah memiliki perasaan rendah diri, merasa dari kelas yang berbeda, merasa kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena Allah tidak menginginkan demikian. Kita semua menerima mandat yang sama, dan hanya mereka yang mengenal dirinya dengan baik dan dapat mengembangkan pribadinya menjadi "seseorang" yang berguna atau berkarya, melalui kegiatan fisik atau rohani, itulah yang berkenan kepada Allah.

 

Kedua: yang meninggikan diri akan direndahkan (ayat 9, 11)

Kerendahan hati mencerminkan pengenalan akan status diri sendiri, baik di hadapan Allah maupun sesama. Kerendahan hati bukan karena kita tidak menghargai diri sendiri, melainkan kita mengenal dan tahu menempatkan diri dalam status sebagai anak-anak Allah, khususnya dalam tugas panggilan pelayanan. Tidak dapat disangkal bahwa secara manusiawi semua orang ingin dihargai dan ditinggikan. Memang manusia saat ini cenderung mengejar status sosial. Hal itu bisa diraih dengan mengejar harta atau kedudukan, atau berusaha bergaul dan dekat mereka-mereka yang memiliki hal tersebut. Kadang juga dipaksakan dengan memiliki barang-barang berharga, berupa mobil, perhiasan, gadget, dan lainnya. Akan tetapi persoalannya adalah: apakah penghargaan itu berasal dari penilaiannya sendiri atau penilaian orang lain? Apabila itu berdasarkan penilaian diri sendiri, apalagi yang tidak sesuai dengan hakekatnya, maka itu akan beresiko dipermalukan dan direndahkan kembali.

 

Ini yang terjadi pada kisah perumpamaan Tuhan Yesus. Seseorang yang “merasa” dirinya cukup terhormat dan diundang dalam suatu acara, kemudian mengambil tempat duduk yang paling bagus atau paling depan. Namun tak lama kemudian, tuan rumah memberitahukannya bahwa tempat duduk itu adalah untuk orang lain yang lebih terhormat menurut tuan rumah. Bukankah itu menjadi sesuatu yang memalukan? Apalagi, kemudian, sisa tempat duduk yang tersedia sudah di posisi paling belakang atau paling ujung, maka itu akan memperlihatkan status yang sebenarnya. Hal itu akan berbeda apabila kita menempatkan diri pada posisi yang rendah hati dan mencari tempat duduk yang “bisa-biasa” saja, dan lantas tuan rumah mengatakan kita tidak seharusnya disitu, melainkan harus di depan di tempat terhormat, maka alangkah sukacita dan bangganya kita menerima hal itu. Kerendahan hati memang milik orang-orang besar, meski orang besar ada juga yang tinggi hati, namun biasanya akan berakhir dengan kesedihan.

 

Kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan rasa percaya diri. Itu dua hal yang berbeda. Percaya diri berhubungan dengan pengenalan kemampuan diri yang terbatas namun dikuatkan dengan kemampuan Allah yang tidak terbatas. Percaya diri tidak membuat kita menjadi sombong, sebab kita tahu Allah memakai diri kita untuk melakukan tugas-tugas tententu bagi kemuliaan-Nya. Apabila peran dan tugas itu membawa keberhasilan, maka disadari Allah turut bekerja dalam peran dan tugas itu, sehingga tidak ada yang perlu disombongkan atau ditinggikan. Prestasi tidak selalu berhubungan dengan gengsi pribadi. Gambaran inilah yang dipakai Tuhan Yesus dalam kerajaan Allah. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata, siapa yang merendahkan diri maka ia akan ditinggikan, dan siapa yang meninggikan diri maka akan direndahkan (band. Mat. 23:12). Ini peringatan yang memiliki nilai rohani yang dalam.

 

Ketiga: mengundang yang miskin (ayat 12-13)

Kadang kala untuk memperlihatkan bahwa status dan kedudukan “tinggi” dan “orang penting”, maka apabila seseorang mengadakan pesta atau hajatan, maka biasanya dia akan mengundang teman-teman yang memiliki kedudukan yang tinggi juga, seperti pejabat-pejabat tinggi atau pengusaha kaya. Ini adalah usaha untuk menaikkan citra diri. Apabila mereka hadir maka akan merupakan suatu kebanggaan bagi tuan rumah. Sebenarnya mengundang teman-teman yang berkedudukan “tinggi” tidaklah salah dan merupakan hal yang lumrah. Namun Tuhan Yesus mengingatkan agar kita tidak melupakan teman-teman atau saudara-saudara yang miskin dan berkekurangan, berkedudukan “rendah”, teman-teman biasa, bahkan mereka yang belum beruntung dalam arti kata memiliki keterbatasan.

 

Peristiwa hajatan atau pesta adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Allah dan juga kepada sesama, karena kita diberi kesempatan mendapatkan suatu berkat dan anugerah pencapaian dalam kehidupan ini. Pemberian itu jelas bukan atas kemampuan diri kita semata, melainkan ada berkat dan perkenaan Tuhan yang menyertainya. Pengingkaran peran Allah dalam keberhasilan dan pencapaian jelas merupakan hal yang tidak benar dan tidak berkenan kepada Allah. Allah kita melalui Tuhan Yesus adalah Allah yang hidup dan berkuasa aktif dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila dalam ungkapan rasa syukur dan terima kasih itu, kita jangan melupakan Tuhan yang diekspresikan melalui mereka yang belum beruntung, mereka yang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta, janda-janda, mereka yang tinggal di panti asuhan atau panti jompo, sebab itulah pesan Tuhan bagi kita.

 

Kalau kita mengaku bahwa Tuhan yang memberikan berkat bagi kita dan dengan sadar dan sengaja melupakan pesan-Nya, maka sebenarnya kita sudah bersikap munafik. Hati kita tidak sesuai dengan kenyataannya. Tuhan Yesus mengingatkan agar kemunafikan diganti dengan kepedulian kepada mereka yang perlu mendapatkan kasih dan perhatian. Itu bisa dilakukan secara paralel, tidak harus bertentangan, sukacita yang bersamaan. Demikian juga sikap merendahkan hati jangan dipakai untuk memanipulasi demi mendapatkan perhatian orang lain. Bersikap apa adanya saja. Yang penting kita sadari, Kerajaan Allah dengan damai sejahteranya itu harus dihadirkan bagi semua orang.

 

Keempat: menerima hormat dan buahnya (ayat 10b, 14)

Penghargaan bukanlah sesuatu yang perlu dicari atau dipertontonkan. Itu melekat dan akan datang sendiri dan akan diperlihatkan apabila tiba waktunya yang pas sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya orang yang picik dan miskin hikmat dan pengalaman yang menganggap dirinya hebat, penting dan perlu dipertontonkan. Mereka yang memiliki hikmat dan berjiwa besar menyadari kenyataan bahwa di atas langit masih ada langit. Pengetahuan dan roda pencapaian dalam kehidupan akan berkembang terus. Mereka menyadari karya manusia tidak sebanding dengan karya Tuhan dan buah ciptaan tangan-Nya? Kita harus selalu membandingkan kesempurnaan dan kebesaran-Nya yang abadi dengan apa yang kita raih yang suatu saat mungkin tidak akan berharga.

 

Maka sebaiknya janganlah kita mencari puji-pujian atau kepentingan sendiri yang sia-sia. Alkitab berkata hendaklah setiap orang rendah hati dan menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri (Flp. 2:3; Ef. 5:21). Sebagaimana digambarkan dalam nats minggu ini, Tuhan Yesus kelak akan bertindak sebagai tuan rumah bagi kita anak-anak-Nya dalam masa penghakiman (band. Luk. 1:51-53). Kita diadili berdasarkan sikap kita terhadap orang lain, khususnya mereka yang berkekurangan dan membutuhkan. Sebab firman Tuhan berkata, barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga (Mat. 18:4).

 

Hukum rohani memang menyatakan bahwa memberi dengan berharap kembali lebih banyak itu salah. Kita memberi harus dengan motif yang baik dan benar. Pemberian sebagai rasa syukur atau hanya kompensasi pengakuan atau memperlihatkan kesombongan? Janganlah membalas kebaikan karena kebaikan (band. Luk. 6:32-35). Berbuat kebaikan bagi mereka yang lemah jelas tidak akan mengharapkan balas jasa, sebagaimana dipesankan pada ayat 14 (band. Luk. 6:20-23). Akan tetapi, ayat ini juga tidak boleh ditafsirkan, bahwa seolah-olah hanya orang benar saja yang akan dibangkitkan. Mereka yang hidup sesuai kehendak Allah dan dibenarkan, mereka akan berhak atas kebangkitan itu. Maka carilah tempat kedudukan untuk melayani yang lebih besar dan luas bagi kerajaan-Nya dengan rendah hati, maka kita akan mendapatkan kehormatan dan kebesaran itu.

 

Kesimpulan

Tuhan Yesus melalui contoh kehidupan sehari- hari telah memberikan gambaran tentang kehidupan rohani dan kerajaan sorga kelak. Kita tidak perlu mengejar status dan pengakuan yang tinggi di dunia ini. Mereka yang mencoba meninggikan diri maka akan direndahkan. Kerendahan hati sangatlah penting di mata Tuhan, dan jangan menjadi munafik. Sikap Kristiani kita haruslah sejalan dengan sikap dan tindakan kita kepada sesama khususnya mereka yang lemah, berkekurangan dan membutuhkan kasih lebih besar. Orang masuk ke dalam Kerajaan Allah bukan dinilai karena tingginya status, melainkan dari sikap keseluruhan dalam kaitannya dengan tugas pelayanan yang diberikan Tuhan bagi kita. Hanya dengan itu kita menjadi orang benar dan mendapatkan kebangkitan kembali untuk menerima segala mahkota kebesaran yang disediakan-Nya.

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 255 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8563804
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
1852
73300
75152
8223859
715089
883577
8563804

IP Anda: 162.158.171.22
2024-12-16 02:54

Login Form