Sunday, December 15, 2024

Khotbah Minggu 31 Juli 2022

Minggu Kedelapan Setelah Pentakosta 2022

 ORANG KAYA YANG BODOH (Luk 12:13-21)

 Bacaan lainnya menurut Leksionari: Hos 11:1-11 atau Pkh 1:2, 12-14, 2:18-23;
Mzm 107:1-9, 43 atau Mzm 49:1-12; Kol 3:1-11


Pendahuluan

Tuhan Yesus sering sekali menggunakan perumpamaan dalam menjelaskan maksud-Nya. Ia sering tidak langsung menjawab pertanyaan meski tetap konsisten dengan pokok persoalan. Dalam kisah minggu ini, seseorang mengadu kepada-Nya yang mengaku diperlakukan tidak adil tentang pembagian warisan. Yesus tidak langsung membelanya dan juga tidak menghakiminya, melainkan memberikan perumpamaan tentang ketamakan dan sikap orang kaya yang bodoh. Dari bacaan minggu ini kita diberikan pengajaran berharga sebagai berikut.

 

Pertama: Yesus bukan hakim bagi satu dua orang (ayat 13-14)

Dalam tradisi Yahudi, pembagian warisan sudah ada hukumnya. Anak tertua mendapat dua pertiga dan anak bungsu (dan lainnya) mendapatkan sepertiganya. Secara sekilas memang tampak bahwa pembagian ini bisa dianggap tidak adil sebab tidak merata. Namun budaya Yahudi yang menekankan peran dan kedudukan anak sulung menjadi dasar semua itu. Orang yang mengadu ini tidak mengutarakan alasannya, apakah karena ia tidak mendapatkan warisan sama sekali, atau ia tidak puas terhadap hukum pembagian itu. Ia lantas meminta Tuhan Yesus menjadi hakim bagi mereka.

 

Yesus menolaknya dengan alasan cukup jelas, yakni Ia tidak bisa menjadi hakim di antara mereka berdua. Sudah ada hukum Yahudi yang tertulis tentang hal itu dan semua orang bisa dengan mudah mengikutinya. Tuhan Yesus tidak melihat ada hal prinsip dan pokok penting dalam hukum itu yang berhubungan dengan pembaharuan jiwa manusia dan keselamatan. Ia lebih mengutamakan hal itu dibandingkan dengan urusan harta duniawi, dan kepentingan itu tidak terkait dengan misi pengutusan-Nya. Ia juga tidak terpikat pada jabatan dan mengambil alih tugas orang lain. Ia tahu bahwa harta (dan uang) akan selalu menjadi masalah dan merupakan alat yang ampuh bagi iblis untuk menjerat manusia ke dalam dosa.

 

Hukum positip bisa tidak adil karena kepentingan penguasa atau perilaku petugas hukum. Kita bisa jadi tidak puas bahkan bisa putus asa sebab tidak ada tempat untuk mengadu dalam mencari keadilan. Kadang kala kita menjadi emosi dan ingin menjadi hakim sendiri. Tetapi Alkitab mengajarkan agar kita terhindar dari hal ini. Firman Tuhan menekankan bahwa ketidakadilan yang kita terima di dunia ini biarlah Tuhan yang menjadi hakim dan memberikan pembalasan atas hal itu (Rm 12:19). Keinginan atau pendapat bahwa kita adalah pihak yang benar mungkin perlu dipikirkan berulang-ulang, sebab kita bisa juga tidak seluruhnya benar. Akan tetapi Allah adalah yang Maha Adil dan Bijak. Penghakiman dan penghukuman biarlah menjadi milik-Nya.

 

Kedua: waspadalah terhadap ketamakan (ayat 15-18)

Poin yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah ketamakan. Ia memberi perumpamaan orang kaya yang memiliki tanah yang luas dan hasil panen yang berlimpah. Saking banyaknya hasil panen, lumbung-lumbungnya menjadi tidak muat menampung, sehingga ia berpikir untuk membangun lumbung yang lebih besar lagi. Padahal, sebagaimana kita ketahui, sistim lumbung pada saat itu adalah tempat penyimpanan untuk setahun, jadi tidak perlu membangun tambahan, sebab tahun berikutnya panen yang baru akan datang. Tetapi orang ini tamak serakah, hasil panennya yang melimpah itu ingin ia sendiri menikmatinya, tidak terpikir untuk berbagi dengan mereka yang kurang beruntung atau kurang mampu. Inilah yang tampak dan lazim bahwa harta benda dan kekayaan mudah menjadi batu sandungan untuk mengikut Tuhan.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tamak diartikan “selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri.” Arti kata sejenis yakni loba; serakah; rakus. Ketamakan berarti keinginan untuk selalu memperoleh (harta dsb) sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri. Dengan demikian ketamakan mengandung dua wajah. Wajah pertama adalah berusaha mendapatkan berlebih yang bukan haknya dan bila perlu berlaku curang. Orang seperti ini bisa menghalalkan segala cara demi untuk mendapatkan keinginannya, meski itu merugikan pihak lain. Wajah kedua adalah keinginan memiliki sesuatu yang sebenarnya tidak dia perlukan. Contoh yang terjadi sering kita mendengar banyak orang kaya memiliki banyak rumah, mobil atau motor gede di garasinya. Namun, orang miskin juga dapat bersifat tamak ketika ada kesempatan, ia mempergunakan dengan salah.

 

Menjadi kaya itu bukan dosa. Berusaha mendapatkan penghasilan yang besar itu bukan sesuatu yang dilarang dalam Alkitab. Allah melalui mandat budaya (Kej 1:28-29) menginstruksikan manusia ciptaan-Nya untuk mengolah alam bumi kita ini untuk kepentingan kesejahteraan manusia itu sendiri. Manusia diberi akal pikiran dan hikmat untuk dipergunakan dalam mengelola alam dan kehidupan sehingga menghasilkan yang lebih baik dan lebih banyak. Kita harus berupaya dengan keras dan cerdas untuk meningkatkan hasil usaha dan apabila dari hasil usaha itu kita mendapatkan berkat, maka wajar menerima dan mensyukurinya. Tetapi berkat adalah konsep berbagi. Diberkati untuk memberkati adalah ajaran kristiani sejak Abraham menerima itu pertama kali dari Allah. Maka, ketamakan, mementingkan diri sendiri, tidak mendapat tempat dalam kehidupan sorgawi. Oleh karena itu Tuhan Yesus mengingatkan, agar kita berjaga-jaga, mengawasi hati agar bersih dan tidak menjadi rakus, loba, tamak atau serakah.

 

Ketiga: mengandalkan pada harta (ayat 19-20)

Kaya materi itu merupakan berkat, sepanjang diperoleh dengan cara yang berkenan kepada Tuhan dan tidak melanggar hukum yang berlaku. Berusaha menjadi kaya dan mendapatkan penghasilan yang besar dengan cara melanggar hukum atau kesepakatan dengan mitra usaha, menipu, korupsi, KKN, maka itu jelas melanggar firman Tuhan. Banyak contoh orang kaya dan diberkati dalam Alkitab, mulai dari Abraham, Yusuf, Daud dan Salomo, termasuk dalam perjanjian baru yang mereka menggunakan kekayaannya untuk kemuliaan Tuhan. Alkitab juga mengatakan Allah membenci mereka yang malas.

 

Akan tetapi pikiran bahwa menjadi kaya dan pintar secara otomatis diartikan sebagai orang yang “diberkati”, dan menjadi miskin dan bodoh adalah mereka yang tidak diberkati, harus dijauhkan dari pikiran kita. Memang ada penafsiran dalam perjanjian lama pengertian itu muncul (lih. Ams 10:15; Luk 16:14), tetapi Tuhan Yesus jelas-jelas menolaknya (band. Luk 16:13 dan 18:24-25). Perjanjian Baru dengan jelas mengingatkan agar kita tidak membuat harta benda dan kekayaan sebagai berhala. Alkitab mengatakan bahwa di mana harta kita berada, maka ada kecendrungan hati kita juga ada disana (Mat 6:21; Luk 12:34). Kekayaan tidak mampu memperpanjang umur manusia, meski dengan kekayaan dapat menolong untuk berobat. Umur manusia ada di tangan Tuhan, dan oleh karena itu dalam ayat 15 dikatakan, hidup (manusia) tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.

 

Kekayaan mungkin dapat menolong untuk menjadikan manusia lebih berbahagia. Iklan produk di media begitu gencarnya sehingga kita merasa barang itu dibutuhkan, membuat kita lebih senang, bahagia dan lainnya, tetapi itu hanya kebahagiaan sekejap dan semu. Kekayaan memang hanya salah satu “alat” saja, meski kalau tidak hati-hati dapat menjadi sumber bencana. Banyak rumah tangga berantakan karena penghasilan yang besar semakin mendorong untuk individualis dan mengabaikan kesetiaan dalam rumah tangga. Sebagaimana dikatakan pada ayat 19, kita tidak bisa mengatakan kepada jiwa kita: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah! Ini jelas hal yang palsu. Mereka yang menyandarkan kekayaan sebagai sumber kebahagiaan dan jaminan hidup kekal adalah manusia yang bodoh (ayat 20). Marilah kita berkonsentrasi pada hubungan dengan Allah yang baik dan akrab. Good life nothing related with money.

 

Keempat: kaya di hadapan Allah (ayat 21)

Manusia dianjurkan untuk menabung. Tetapi kita harus bertanya, mengapa kita perlu menyimpan uang, untuk apa? Mempersiapkan untuk anak, pensiun dan masa tua adalah perbuatan baik dan bijak. Tetapi kalau kita menabung atau menyimpan untuk menghilangkan kekuatiran dan menjadikan kekayaan itu sebagai jaminan hidup, maka itu menjadi salah. Simpanan kekayaan di dunia ini jelas tidak cukup. Perlu ditanyakan, bagaimana dengan persiapan kita untuk kehidupan setelah kematian? Perjalanan hidup manusia di dunia belum tanda titik, tetapi masih tanda koma, masih berlanjut hingga nanti ada pertanggungjawaban dan penghakiman.

 

Sikap hidup yang lebih mengandalkan harta daripada percaya kepada Tuhan sangat berbahaya. Kita harus lebih percaya pada pemeliharaan Allah di dalam Tuhan Yesus. Inilah hakekat iman. Orientasi hidup yang mengandalkan Tuhan haruslah berusaha mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu, bukan keamanan duniawi. Tuhan Yesus bahkan menantang secara radikal seorang pemimpin kaya untuk memperoleh hidup yang kekal, yakni dengan menjual seluruh hartanya dan mengikut Dia (Mat 19:16-26; Mrk 10:17-27; Luk 18:22), serta mengatakan betapa susahnya orang kaya masuk sorga. Akan tetapi Alkitab justru menekankan berita sukacita bagi mereka miskin yang dihadapan Allah yang akan empunya Kerajaan Sorga (Mat 5:3).

 

Oleh karena itu, ketika kita berdoa dalam meminta atau membawa sesuatu persoalan kita kepada-Nya,  maka Tuhan akan terlebih dahulu menanyakan sikap kita terhadap permohonan atau persoalan itu sendiri. Doa kita mungkin tidak dijawab secara langsung, akan tetapi petunjuk Tuhan bisa efektip dalam menolong kita menemukan jawaban atas persoalan yang ada. Kekayaan sejati bagi orang Kristen adalah dalam iman, pelayanan dan ketaatan, dan itulah adalah kunci menjadi kaya di hadapan Tuhan. Orang yang benar-benar kaya adalah mereka yang sudah membebaskan diri dari segala ketakutan dan soal duniawi, serta menyerahkan hidupnya sepenuhnya pada pemeliharaan Allah. Yesus menantang kita untuk perbuatan lebih banyak bagi kerajaan-Nya dan kita menjadi orang kaya di hadapan Allah.

 

Kesimpulan

Dalam minggu ini kita diajarkan tentang orang kaya yang bodoh dengan memperlihatkan ketamakannya. Kita diminta agar waspada berjaga-jaga dan tidak berlaku egois dengan menempatkan Tuhan Yesus bagi kepentingan diri sendiri. Ketamakan, loba, keserakahan dan kerasukan tidak mendapat tempat dalam kerajaan Allah. Mereka yang mengandalkan diri pada harta benda duniawi tidak menyadari bahwa semua itu adalah pepesan kosong dan semu. Justru Allah menghendaki bagaimana setiap orang percaya menjadi kaya di hadapan Allah dengan cara selalu bersikap “miskin” dan memberi lebih banyak bagi perluasan kasih dan kerajaan-Nya.

 

Tuhan Yesus memberkati. Amin

 

Pdt. Ramles M. Silalahi

 

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 544 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8565080
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
3128
73300
76428
8223859
716365
883577
8565080

IP Anda: 172.70.189.120
2024-12-16 03:32

Login Form