Sunday, December 15, 2024

Khotbah Minggu 27 Maret 2022

 

Khotbah Minggu Keempat Pra-Paskah

 

BERDOSA KEPADA TUHAN DAN KEPADA MANUSIA (Luk. 15:1-3, 11b-32)

 

 

Bacaan lainnya menurut Leksionari: Yos 5:9-12; Mzm 32; 2 Kor 5:16-21

 

 

Pendahuluan

 

Dalam memasuki minggu keempat pra-paskah ini kita terus diingatkan agar tetap melakukan hal yang berkenan kepada Allah, khususnya dengan cara lebih bersedia berkorban dan menahan keinginan daging untuk sesuatu yang lebih berharga di masa mendatang. Nats minggu ini bercerita tentang seorang ayah yang kaya memiliki dua anak, dan ternyata anak yang bungsu meminta agar dilakukan pembagian warisan meski ayahnya belum meninggal dengan tujuan ia bisa menikmati harta ayahnya tersebut. Anaknya yang sulung sementara tetap bertahan bersama ayahnya dan ikut bekerja bersama ayahnya, sampai kemudian adiknya kembali setelah menghabiskan harta bagiannya.

 

 

Perumpamaan (sebenarnya ini lebih tepat disebut sebagai kisah nyata) yang diberikan oleh Tuhan Yesus memberi kita pelajaran yang sangat berharga sebagai berikut.

 

 

Pertama: Jangan berpikir pendek (ayat 11b-16)

 

Apa yang dilakukan oleh anak bungsu tersebut tidak lain merupakan pikiran jangka pendek. Ia melihat ayahnya memiliki harta yang banyak dan mungkin merasa tidak bebas untuk menggunakan sesuai keinginannya. Ia melupakan bahwa apa yang diperoleh orang tuanya merupakan hasil usaha kerja keras yang panjang dan memerlukan kesabaran dalam memupuk dan menyimpannya. Sementara itu anaknya berpikir bahwa itu adalah hasil yang merupakan haknya, tanpa memperhitungkan bahwa hak tersebut sebenarnya belum saatnya dinikmatinya.

 

 

Tidak dijelaskan alasan mengapa ayahnya menyetujui pembagian tersebut, meski ada dugaan anaknya meminta pembagian harta tersebut dengan cara memaksa dan mengancam. Ada juga kemungkinan ayahnya tidak mau pusing dan berharap dengan pemberian pembagian tersebut, anaknya bisa berubah menjadi orang baik. Sebab menurut hukum Yahudi, anak bungsu hanya memperoleh 1/3 bagian dan biasanya hanya dapat diambil jika ayahnya sudah meninggal (Ul 21:16; band Im 25:23-28). Namun yang kita lihat, anaknya berpikir lebih baik ia menjual harta tersebut dan pindah kota, jauh dari saudara dan ayahnya sehingga bebas untuk menggunakan apa yang sudah dimilikinya.

 

 

 

Sangat mudah ditebak, dengan pengalaman yang sangat minim dalam mengelola uang, dan mungkin disertai keinginan besar untuk berfoya-foya dengan harta yang sudah dikuasainya, maka tidak perlu waktu yang lama untuk menghabiskan harta itu dan menjadikan ia miskin. Akhirnya, untuk bertahan hidup, ia rela bekerja sebagai penjaga ternak babi, sesuatu yang hina dan terkutuk bagi orang Yahudi (Im 11:7). Bahkan untuk makan saja, ia kadang harus mengambil makanan babi yang dijaganya. Benar kata perumpamaan, "laut pun kalau ditimba terus, akan menjadi kering," berlaku dalam kisah ini.

 

 

 

Pelajaran yang kita ambil adalah janganlah pernah berpikiran pendek, terlebih itu untuk kepuasan sesaat. Biasanya pikiran pendek ini lahir dari pendekatan emosi dan bukan akal sehat. Banyak contoh konkrit akibat berpikiran pendek, yang kemudian mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan. Pikiran pendek, seperti berpacaran yang berakibat hamil duluan, pikiran pendek dalam bekerja sehingga korupsi, pikiran pendek yang emosional sehingga terlibat dalam perkelahian, dan sebagainya. Ini semua jelas akan berbuah penderitaan dan kesengsaraan. Oleh karena itulah firman Tuhan mengatakan pentingnya buah Roh yang disebut dengan penguasaan diri (Gal 5:23). Penguasaan diri membuat diri kita bersabar, membuat perencanaan, berfikir logis dan panjang, sehingga bisa berbuah manis. Kita jangan melupakan prinsip dan pepatah yang mengatakan, "berakit-rakit ke hulu, berenang- renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, (barulah) bersenang-senang kemudian.”

 

 

 

Kedua: Penyesalan tidak pernah terlambat (ayat 17-19)

 

Hal yang positip dari si bungsu ini, ketika menyadari bahwa dirinya sudah tidak memiliki apa-apa, ia rela bekerja demi sesuap nasi, bahkan untuk ukuran yang hina bagi orang Yahudi. Ia tidak putus asa dan mengambil jalan pintas misalnya berbuat kejahatan atau bunuh diri. Ia menyadari betapa "bodoh"nya harus bertindak seperti itu. Ia berpikir kalau ia kembali, pasti ayahnya mau mempekerjakan dia sebagai hamba dan bisa menerima upah. Tidak seperti keadaannya sekarang untuk makan pun kadang-kadang mengambil jatah babi peliharaannya. Ia menyesal atas kekeliruannya dan memutuskan kembali kepada ayahnya. Dalam tahapan ini ia menyadari keberadaannya, yakni bagaimanapun juga ia adalah tetap anak ayahnya.

 

 

 

Pelajaran dari situasi ini adalah, seseorang baru menyadari keberadaan dan statusnya yang baik dan benar hanya ketika ia ada di dalam jalan Allah. Di dalam jalan Allah kita berpikir menjadi terang benderang, tidak terselimuti kabut gelap dari si iblis, sehingga kehilangan arah dan tujuan hidup. Ketika seseorang berpikiran jahat dan "picik", maka mata rohaninya akan tertutup, ia kehilangan pengenalan akan jati dirinya, tidak menyadari statusnya yang benar sebagai ciptaan baik dengan maksud tujuan baik.

 

 

 

Penyesalan tidak pernah terlambat. Better late than never. Dengan rasa takut-takut anak bungsu ini mencoba kembali ke tempat ayahnya, sambil berharap dari jauh semoga ayahnya mengasihinya, memberi kesempatan kerja, walau sebagai hamba orang upahan. Tetapi apa yang terjadi adalah, ayahnya cepat melihatnya dari jauh, yakni sebagai tanda berharap dan kerinduan anaknya yang hilang kembali. Begitu ayahnya melihatnya, hati ayahnya bersukacita dan menyambutnya dengan penuh syukur dan sambutan yang luar biasa. Pertobatan membuahkan hasil. Ayaknya member pengampunan, sebagaimana Allah merindukan setiap orang yang keluar dari jalan Allah untuk kembali kepada-Nya. Pintu pengampunan Allah tersedia. Inilah yang disampaikan dalam bacaan lain minggu ini, "Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN…." (Mzm 32:1-2).

 

 

 

Ketiga: Berdosa kepada Tuhan dan kepada manusia (ayat 20-24)

 

Sikap penyesalan anak bungsu ini didasari kesadaran bahwa ia telah berdosa kepada Bapanya di sorga dan juga kepada ayahnya. Ia menyadari sikapnya yang menuntut pembagian harta warisan yang belum pada saatnya dan menghabiskan uang penjualannya, jelas merupakan tindakan yang tidak berkenan kepada Allah. Hukum Allah telah diatur sedemikian saat itu bahwa selama ayahnya masih hidup, semua manfaat harta dan kekayaan mereka masih dinikmati dan diatur oleh ayahnya, sampai kemudian ia meninggal dan pembagian harta diperkenankan. Anak bungsunya lupa bahwa Allah memberi sesuatu atau berkat kepada seseorang pasti untuk tujuan menjadi alat sukacita dan berkat bagi orang lain, bukan untuk dirinya sendiri, sehingga nama Allah dimuliakan.

 

 

 

Anak bungsu ini sadar. Ia sadar mendukakan hati Bapa di sorga, sekaligus mendukakan hati ayahnya karena menghabiskan harta warisan dan menjadi miskin. Ia telah telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapanya. Kesadaran berdosa kepada Bapa di sorga biasanya lebih mudah dilakukan orang dengan datang untuk mohon pengampunan. Justru hal yang paling sulit dilakukan orang adalah menyadari bahwa ia juga bersalah dan "berdosa" kepada manusia serta berani datang untuk mohon pengampunan. Hal inilah yang bisa ditarik sebagai pelajaran dari cerita ini, ketika kita menyadari kesalahan kepada Bapa di sorga, maka mungkin kita harus menyadari adanya kesalahan kepada manusia yang perlu diselesaikan. Mari kita selesaikan kekurangan kita bukan saja kepada Allah di sorga, tetapi juga kepada manusia sehingga semuanya menjadi lebih mulus dan bersih.

 

 

 

Kita bisa berandai-andai apabila anak bungsu tersebut hanya datang kepada Bapa di sorga dan tidak datang kepada bapanya untuk meminta belas kasihan, maka pemulihan yang dialami anak tersebut tidak bisa total. Pemulihan total akan berbuah maksimal. Ini yang dialami anak bungsu itu, ayahnya memperlihatkan sukacita yang besar, diberi pemulihan yakni kehormatan (lambang jubah), kemenangan dan kuasa (lambang cincin), kebebasan dan status anak (lambang sepatu), serta peneguhan dan rasa syukur (lambang pesta). Sikap ayahnya ini merupakan cermin sikap Bapa di sorga yang menyambutnya juga dengan sukacita, tidak ada penghukuman dan tuduhan-tuduhan, melainkan lebih menekankan kepada kembalinya seorang anak yang bertobat dan mengakui kesalahannya.

 

 

 

Keempat: Cara pandang yang salah (ayat 25-32)

 

Hal buruk yang tidak boleh ditiru dalam kisah ini adalah sikap dan perilaku anak sulung, yang memiliki sifat tidak mengasihi. Ketika ia mengetahui bahwa adiknya kembali dan ayahnya menyambutnya dengan pesta meriah, ia memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan. Anak sulung ini bahkan berkata, mengapa ia yang taat, melayani ayahnya dan tidak menuntut warisan, justru belum pernah disambut ayahnya dengan cara demikian? Sementara menurutnya, anaknya yang sudah menghabiskan harta ayahnya disambut dengan pesta meriah?

 

 

 

Sikap anak sulung ini jelas memperlihatkan apa yang dilakukannya selama ini terhadap ayahnya lebih merupakan "tugas dan kewajiban", bukan kasih kepada ayah dan saudaranya. Ia menekankan ketaatan dan bukan kasih. Ini yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus bahwa kisah ini mencerminkan sikap orang Farisi dan orang Israel, yang merasa mereka adalah “anak sulung” dan "anak yang dikasihi", tetapi sebenarnya lebih fokus pada dirinya, bukan menjadi teladan dan berkat sebagaimana rencana Allah bagi umat Israel. Anak sulung ini tidak dapat melihat bahwa adiknya telah kembali, saudaranya telah dipulihkan, dan adiknya yang mati telah kembali dihidupkan di hadapan Allah.

 

 

 

Anak sulung ini memperlihatkan sikap yang buruk, sepertinya ia menginginkan adiknya dihukum karena sudah menghabiskan harta ayahnya. Ia senang apabila adiknya dihukum. Apakah kita juga memiliki sifat demikian, yang senang melihat saudara kita atau orang lain dihukum? Mari kita belajar dari kasih Bapa yang telah mengalahkan dosa dengan kemenangan, maka kita juga harus dapat mengalahkan kesalahan dan kecemburuan dengan kasih yang sudah kita peroleh dari Allah. Allah telah mengasihi kita (terlebih dahulu) maka kita wajib mengasihi saudara kita (1Yoh 4:19). Kita diajar untuk melupakan kekurangan dan kesalahan orang lain yang sudah menyesalinya. Kita harus mengikuti firman Tuhan dalam bacaan lain minggu ini, "Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor 5:16-17).

 

 

 

Kesimpulan

 

Nats minggu ini merupakan kisah nyata yang dapat terjadi dalam kehidupan kita. Orang sering berpikir pendek dan mengambil kesimpulan tanpa menyadari dampak jangka panjangnya. Berfikir emosional tanpa penguasaan diri akan berakibat kesengsaraan. Hal itu dapat menimbulkan penyesalan dan semoga saja penyesalan itu tidak terlambat sehingga dapat dipulihkan, baik oleh Bapa di sorga maupun oleh sesama kita manusia. Tidak ada istilah terlambat untuk pertobatan dan tidak ada istilah dosa yang berat untuk tersedianya pengampunan. Kita juga diajar harus menghilangkan sifat marah dan cemburu, membanding-bandingkan, melakukan sesuatu sebagai suatu kewajiban, dan hitung-hitungan. Kisah minggu ini membuat mata kita terbuka dan menyadari maksud Allah yang baik dalam diri kita.

 

 

 

Tuhan Yesus memberkati, amin.

Khotbah

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4

Renungan

Pengunjung Online

We have 37 guests and no members online

Statistik Pengunjung

8568884
Hari Ini
Kemarin
Minggu Ini
Minggu Lalu
Bulan Ini
Bulan Lalu
Keseluruhan
6932
73300
80232
8223859
720169
883577
8568884

IP Anda: 162.158.170.133
2024-12-16 06:45

Login Form